Pelajaran Abadi tentang Kerja Keras, Kontinuitas, dan Kepasrahan Hati
Surah Al-Insyirah, yang sering dikenal dengan sebutan Alam Nasyrah, adalah oase spiritual yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW di tengah kesulitan dan tekanan dakwah. Surah ini memberikan jaminan ketenangan hati dan penegasan bahwa setiap kesulitan pasti dibarengi dengan kemudahan. Meskipun ayat-ayat awal surah ini berfokus pada penghiburan ilahi dan pengangkatan beban kenabian, klimaks spiritual surah ini ditemukan pada dua ayat penutup yang menjadi fokus utama kita: ayat 7 dan 8.
Dua ayat ini, "Fa idza faraghta fainshab," dan "Wa ila Rabbika farghab," bukan hanya sekadar instruksi penutup, melainkan sebuah formula paripurna bagi kehidupan seorang mukmin, merangkum prinsip keseimbangan antara aksi duniawi dan aspirasi ukhrawi. Keduanya mengajarkan kita bagaimana menghadapi siklus kehidupan yang tak pernah berhenti—siklus antara penyelesaian satu tugas, inisiasi tugas berikutnya, dan yang terpenting, penyelarasan niat hanya kepada Sang Pencipta. Ini adalah peta jalan menuju ketenangan sejati, yang menggabungkan etos kerja keras dengan spiritualitas murni.
(Visualisasi Sinergi Aksi dan Aspirasi)
Dalam tulisan ini, kita akan menyelami lautan tafsir dari ayat 7 dan 8, membahas implikasi linguistik, spiritual, dan praktis dari perintah-perintah ilahi ini, serta bagaimana kita dapat mengintegrasikannya dalam menghadapi tantangan modern.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (Q.S. Al-Insyirah: 7)
Ayat ini tersusun dari tiga kata kunci yang sangat padat makna:
Para ulama tafsir klasik dan kontemporer menawarkan beberapa interpretasi yang kaya mengenai apa yang dimaksud dengan ‘selesai dari suatu urusan’ dan ‘mengerjakan urusan yang lain dengan sungguh-sungguh’:
Pendapat yang kuat di kalangan ulama salaf, termasuk Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid, menafsirkan ayat ini dalam konteks beban kenabian yang dipikul Rasulullah SAW:
Jika engkau (Muhammad) telah selesai dari urusan dakwah dan peperangan dengan kaum musyrikin, maka tegakkanlah dirimu dalam ibadah (yaitu salat, doa, dan zikir).
Dalam pandangan ini, "Faraghta" merujuk pada tugas-tugas profetik yang melelahkan, sementara "Fainshab" adalah perintah untuk segera beralih kepada ibadah, khususnya salat dan berdiri malam (Qiyamul Lail). Ayat ini menjadi penegas bahwa waktu luang seorang Nabi, atau seorang mukmin secara umum, harus segera diisi dengan komunikasi langsung kepada Allah. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan atau berdiam diri tanpa tujuan.
Sebagian mufassirin menafsirkan ayat ini secara lebih spesifik dalam konteks ibadah ritual. Jika seseorang telah menyelesaikan salat wajib (fardhu), maka ia harus segera menyibukkan diri dengan berdoa, berzikir, atau mengerjakan salat sunnah. Ini menekankan pentingnya memanfaatkan momentum spiritual yang baru didapatkan.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencantumkan pandangan bahwa ini adalah perintah umum untuk senantiasa sibuk dalam ketaatan. Apabila selesai dari satu bentuk ketaatan, maka harus segera beranjak ke bentuk ketaatan lain. Konsep utamanya adalah anti-kemalasan.
Tafsiran yang lebih luas dan relevan bagi kehidupan sehari-hari (terutama tafsiran kontemporer) melihat ayat ini sebagai prinsip manajemen waktu dan kontinuitas amal saleh secara umum. Jika kita telah selesai dari:
Ayat 7 mengajarkan bahwa istirahat sejati bagi seorang mukmin bukanlah kekosongan, melainkan peralihan aktivitas dari yang melelahkan secara fisik ke yang menenangkan secara spiritual, atau dari kewajiban pribadi ke kewajiban sosial, asalkan niatnya tetap lurus. Seorang mukmin tidak mengenal titik akhir, kecuali kematian. Kehidupan adalah rangkaian tak berujung dari Faraghta (penyelesaian) dan Fainshab (inisiasi baru).
Perintah "Fainshab" mengandung filosofi hidup yang mendalam:
A. Menghindari Kekosongan (Vacuum): Hati manusia, jika dikosongkan dari pekerjaan yang bermanfaat, akan diisi oleh kesibukan yang sia-sia, bahkan keburukan. Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kita untuk selalu mengisi waktu luang dengan usaha keras yang bernilai, menghindari stagnasi mental dan spiritual. Kekosongan spiritual adalah pintu masuk bagi was-was dan kelemahan iman.
B. Konsep Istirahat yang Produktif: Istirahat bukanlah berarti total berhenti dan membuang waktu, melainkan perubahan fokus dan energi. Energi yang lelah karena memecahkan masalah teknis dapat diisi ulang dengan energi yang tenang melalui zikir atau membaca Al-Qur'an. Ini adalah istirahat yang bersifat regeneratif, bukan dekadensi.
C. Integrasi Hidup: Ayat ini menolak pemisahan antara kehidupan dunia dan agama. Seluruh aspek hidup harus dihubungkan dalam satu rantai ketaatan yang berkelanjutan. Ketika kita bekerja keras di kantor, itu adalah Faraghta dari rumah. Ketika kita kembali ke rumah dan mengurus anak-anak, itu adalah Fainshab yang baru—dan semuanya adalah ibadah jika niatnya benar. Ini menjamin bahwa setiap waktu yang kita miliki bernilai di sisi-Nya.
Ayat ini adalah cambuk bagi mereka yang terlalu nyaman dengan kemalasan. Perjuangan hidup tidak selesai hanya karena satu proyek telah rampung. Selalu ada medan amal baru yang menanti, dan kuncinya adalah segera menegakkan diri dan bersungguh-sungguh di dalamnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam melaksanakan perintah "Fainshab" adalah rasa lelah. Namun, ayat ini memberikan jawaban psikologis dan spiritual. Kelelahan yang dialami dalam satu jenis perjuangan (misalnya, mencari nafkah) harus diredakan dengan kelelahan dalam jenis perjuangan lain (misalnya, berdiri lama dalam salat malam). Sekilas ini terdengar kontradiktif—mengganti kelelahan fisik dengan kelelahan spiritual—tetapi secara spiritual, ibadah adalah penyejuk hati yang paling ampuh. Kelelahan ibadah adalah kelelahan yang menghasilkan pahala, menghilangkan kelelahan duniawi, dan mengisi jiwa dengan energi baru.
Maka, kita harus memahami bahwa *Fainshab* adalah tentang menetapkan standar tinggi dalam setiap aktivitas. Jika kita bekerja, kita harus bekerja dengan profesionalisme tertinggi. Jika kita beribadah, kita harus beribadah dengan kekhusyu'an tertinggi. Tingkat kesungguhan (*inshab*) yang kita berikan harus mencerminkan pemahaman kita bahwa waktu adalah aset yang paling berharga dan terbatas yang diberikan oleh Allah SWT. Penyelesaian satu tugas harus diikuti dengan perencanaan dan inisiasi tugas berikutnya, sehingga waktu hidup kita dipenuhi oleh serangkaian kontribusi dan ketaatan yang tiada henti.
Jika kita menunda-nunda perpindahan dari satu urusan ke urusan lain setelah selesai (Faraghta), kita berisiko jatuh ke dalam jurang penyesalan di kemudian hari. Ayat ini mendorong *proaktifitas* yang ekstrem. Seorang muslim sejati tidak menunggu inspirasi datang, tetapi menciptakan inspirasi melalui tindakan berkelanjutan. Ketika seseorang telah menyelesaikan hajat orang lain, ia segera berbalik untuk melaksanakan hajat dirinya kepada Allah. Kontinuitas ini menciptakan karakter yang kuat, yang terbiasa hidup dalam disiplin dan produktivitas, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Ilahi. Inilah rahasia dari ayat 7 yang kerap disalahpahami sebagai sekadar nasihat bekerja, padahal ia adalah fondasi untuk manajemen spiritual.
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
"Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (Q.S. Al-Insyirah: 8)
Ayat ini merupakan puncak dari Surah Al-Insyirah dan merupakan kunci utama untuk memahami ayat 7. Kata-kata kuncinya adalah:
Dengan demikian, ayat 8 memerintahkan kita untuk mengarahkan seluruh hasrat, cita-cita, dan harapan kita secara eksklusif kepada Sang Pencipta.
Perbedaan antara raghabah (Farghab) dan bentuk harapan lain seperti amal atau raja’ sangat penting. Raghbah adalah keinginan yang aktif dan dinamis. Ini adalah harapan yang mendorong seseorang untuk bertindak, bukan harapan pasif yang hanya menunggu tanpa usaha.
Ayat ini berfungsi sebagai sistem kalibrasi spiritual. Ia memastikan bahwa semua energi yang kita curahkan dalam melaksanakan "Fainshab" tidak sia-sia dan tidak tercemari oleh niat-niat duniawi (riya' atau mencari pujian manusia).
Keindahan Surah Al-Insyirah mencapai puncaknya pada perpasangan dua ayat ini. Ayat 7 adalah perintah untuk Aksi (usaha tanpa henti), sementara Ayat 8 adalah perintah untuk Intensi (harapan murni dan eksklusif).
Hubungan keduanya adalah:
Keseimbangan yang diajarkan Al-Qur'an adalah: Bekerja keraslah seolah engkau akan hidup selamanya (Fainshab), tetapi arahkanlah seluruh harapanmu hanya kepada Allah, seolah engkau akan mati esok hari (Farghab).
Mengapa Allah mendahulukan perintah bekerja (Fainshab) sebelum perintah berharap (Farghab)? Karena harapan yang murni dan benar hanya bisa muncul dari hati yang telah dipenuhi dengan usaha dan ketaatan. Orang yang tidak berusaha tidak memiliki hak untuk berharap. Harapan kepada Allah (Farghab) adalah buah manis dari keringat dan kelelahan (Fainshab).
Ini adalah resep anti-frustrasi. Ketika seseorang menyelesaikan pekerjaan duniawi (Faraghta) dan segera beralih ke ibadah atau tugas lain dengan sungguh-sungguh (Fainshab), dan pada saat yang sama, ia memastikan bahwa tujuannya hanya untuk Allah (Farghab), maka kegagalan duniawi tidak akan meruntuhkan jiwanya, karena orientasi sejati bukanlah pada hasil, melainkan pada penerimaan Allah terhadap usahanya.
Dalam konteks modern yang serba kompetitif, banyak orang jatuh ke dalam perangkap harapan yang salah. Mereka berharap kepada kenaikan jabatan, pengakuan sosial, atau kekayaan semata. Ketika harapan-harapan fana ini tidak terwujud, mereka hancur. Ayat 8 berfungsi sebagai benteng spiritual melawan kehancuran ini. Ia mengajarkan profesionalisme yang berorientasi akhirat.
Bayangkan seorang ilmuwan yang bekerja keras siang dan malam (Fainshab). Jika harapannya hanya kepada penghargaan Nobel, ia berisiko depresi jika gagal. Tetapi jika ia mengarahkan harapannya kepada Allah (Farghab)—bahwa penelitiannya adalah amal jariyah, niatnya untuk memajukan umat, dan harapannya hanya pada ridha Ilahi—maka hasilnya, entah itu sukses atau gagal di mata manusia, tetap merupakan kesuksesan spiritual baginya.
Frasa Ila Rabbika (Hanya kepada Tuhanmu) adalah pedoman yang menghapuskan segala bentuk harapan ganda. Ketika kita berjuang dalam kesulitan ekonomi, kita berusaha keras (Fainshab) dan pada saat yang sama, kita menyadari bahwa rezeki datang hanya dari Allah, bukan dari koneksi, ijazah, atau kecerdasan semata. Keyakinan tunggal ini memberikan kekuatan yang tak terbatas. Inilah yang dinamakan Ikhlas yang Aktif—keikhlasan yang terwujud dalam usaha nyata.
Para sufi menekankan bahwa Farghab adalah tindakan memutus ketergantungan hati pada makhluk. Walaupun kita berinteraksi, berbisnis, dan bergantung secara fisik pada orang lain, hati harus bergantung sepenuhnya kepada Allah. Kualitas tertinggi dari Farghab adalah ketika harapan itu begitu besar, sehingga segala kesulitan yang menimpa di dunia terasa kecil di hadapan janji pahala dan pertemuan dengan-Nya. Inilah esensi dari menjadi hamba Allah yang merdeka; merdeka dari tuntutan dan harapan makhluk, tetapi terikat kuat oleh harapan kepada Sang Khaliq. Semakin besar upaya (Fainshab) yang dilakukan, semakin mendalam dan tulus pula harapan (Farghab) yang tertanam di dalam jiwa.
Mengintegrasikan dua perintah ini dalam kehidupan modern bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Kehidupan modern menuntut kecepatan dan multitalenta, yang ironisnya seringkali berujangan pada burnout (kelelahan ekstrem).
Bagi profesional yang sibuk, "Fa idza faraghta fainshab" adalah formula untuk manajemen stres yang ilahi. Alih-alih mengisi waktu luang dengan hiburan pasif yang justru menguras energi (seperti scrolling media sosial tanpa batas), perintah ini menuntut kita untuk beralih ke aktivitas yang memberi energi spiritual atau manfaat nyata lainnya.
Keseimbangan ini menghilangkan perasaan bersalah yang sering muncul ketika kita beristirahat. Karena istirahat yang sejati bagi mukmin adalah transisi menuju amal lain yang bermanfaat, bukan kemalasan total.
Ikhlas seringkali dianggap sebagai konsep pasif. Namun, Ayat 8 menjadikannya sebagai tindakan aktif yang harus diperbaharui terus-menerus. Setiap kali kita memulai tugas baru (Fainshab), kita harus secara sadar menarik napas dan berjanji, "Aku melakukan ini *Wa Ila Rabbika Farghab*—hanya karena-Mu, ya Tuhan."
Sikap ini melahirkan kemerdekaan sejati, yang mana pujian atau celaan manusia tidak lagi memengaruhi kualitas usaha kita. Karena kita bekerja bukan untuk mereka, melainkan untuk Allah yang Maha Melihat dan Maha Menghitung. Ini adalah bentuk tertinggi dari ketaqwaan dalam etos kerja.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara berkesinambungan, meskipun sedikit." Ayat 7 dan 8 adalah penjelas dari hadis ini. Kontinuitas (Fainshab) dan orientasi (Farghab) membentuk karakter yang stabil. Seorang muslim tidak bekerja keras hanya saat ada tekanan, atau hanya beribadah saat ada masalah. Ia adalah individu yang senantiasa bergerak maju dalam kebaikan, mengisi setiap celah waktu yang luang dengan aktivitas yang bermakna.
Jika kita gagal melaksanakan perintah Fainshab, kita akan menemukan diri kita terjebak dalam lingkaran penundaan, di mana penyelesaian satu tugas justru memicu penundaan pada tugas berikutnya, yang pada akhirnya mematikan semangat harapan kepada Allah (Farghab). Ayat ini adalah perintah untuk melawan prokrastinasi dengan energi yang baru dan tujuan yang lebih tinggi.
Perintah 'Fainshab' tidak terbatas pada aktivitas fisik atau profesional semata, tetapi juga mencakup perjuangan batin (Jihad an-Nafs). Ketika kita telah berhasil menyelesaikan sebuah perjuangan melawan hawa nafsu (Faraghta), misalnya menahan diri dari ghibah dalam sebuah majelis, maka kita harus segera memasang diri (Fainshab) untuk perjuangan berikutnya, seperti memerangi sifat sombong yang mungkin timbul dari perasaan telah berhasil menahan diri. Setiap penyelesaian masalah batin harus segera diikuti oleh penempatan diri yang kokoh untuk menghadapi masalah batin yang lain. Ini adalah proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) yang tiada henti.
Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama besar, pernah berkata bahwa Al-Huzn (kesedihan) dan Al-Hamm (kekhawatiran) adalah dua hal yang tidak akan pernah lepas dari hati seorang mukmin yang sadar. Namun, ia tidak boleh berdiam diri dalam kesedihan tersebut. Apabila ia telah selesai meratapi kekurangannya di masa lalu (Faraghta), maka ia harus segera mengerahkan usahanya (Fainshab) untuk memperbaiki hari ini dan esok, sambil sepenuhnya berharap kepada ampunan dan rahmat Tuhannya (Farghab).
Penerapan Ayat 7 dan 8 dalam konteks Jihad an-Nafs mengajarkan bahwa seorang mukmin harus selalu aktif dalam memperbaiki dirinya. Ketika berhasil mengatasi satu dosa, bukan berarti ia berhenti berjuang. Ia harus segera mencari dosa atau kekurangan lain dalam dirinya untuk diperbaiki. Ini adalah kesibukan yang terpuji, yang membedakan seorang hamba yang proaktif dari hamba yang pasif dan menerima takdir tanpa usaha. Usaha yang terus-menerus inilah yang membuat hati layak untuk menjadi wadah bagi harapan yang murni kepada Allah SWT.
Tawakkal, berserah diri, seringkali disalahartikan sebagai meninggalkan usaha. Ayat 7 dan 8 menolak keras pemahaman tersebut. Tawakkal yang sejati adalah buah dari sinergi sempurna: melakukan segala usaha yang mungkin (Fainshab) dan kemudian melepaskan seluruh ikatan hasil dari hati, menyerahkannya kembali kepada Allah (Farghab).
Dalam ilmu tauhid, Farghab adalah penegasan terhadap rububiyah Allah. Kita mengakui bahwa kita hanyalah pelaku, sementara Allah adalah perencana dan penentu hasil akhir. Harapan yang kita panjatkan melalui Farghab adalah bentuk pengakuan total akan kekuasaan-Nya. Jika kita berharap kepada manusia, kita sedang berharap kepada sesuatu yang lemah dan terbatas. Jika kita berharap kepada harta, kita sedang berharap kepada sesuatu yang fana dan tidak pasti. Hanya harapan kepada Allah-lah yang mutlak, abadi, dan memberikan ketenangan sejati.
Oleh karena itu, semakin besar proyek atau kesulitan yang kita hadapi (sehingga menuntut Fainshab yang lebih besar), semakin mendesak pula kebutuhan kita untuk mengorientasikan hati hanya kepada Allah (Farghab). Tanpa Farghab, usaha besar hanya akan membawa pada kesombongan jika berhasil, atau keputusasaan jika gagal. Dengan Farghab, usaha menjadi ringan, karena bebannya telah ditanggung oleh Yang Maha Kuat.
Surah Al-Insyirah secara keseluruhan adalah surah penghibur. Namun, penghiburan ini datang dengan syarat: bukan hanya pasrah, tetapi pasrah yang didahului oleh aksi nyata yang tanpa henti.
Ayat 7 dan 8 adalah penutup yang menakjubkan bagi sebuah surah yang dimulai dengan janji kemudahan setelah kesulitan. Janji tersebut tidak diberikan kepada mereka yang berleha-leha, melainkan kepada mereka yang mengerti bahwa siklus hidup adalah transisi abadi dari satu perjuangan ke perjuangan lain. Dan di tengah transisi yang melelahkan itu, hanya harapan yang terarah murni kepada Sang Pemelihara (Rabb) yang dapat menjadi jangkar spiritual yang kokoh.
Kita belajar bahwa 'istirahat' bagi seorang muslim adalah sebuah proses aktif, yaitu beralih dari satu tanggung jawab kepada tanggung jawab lainnya, memastikan setiap napas dan setiap detik diisi dengan manfaat. Dan kuncinya terletak pada pengarahan hati: apapun yang kita lakukan, tujuan akhirnya adalah Allah.
Marilah kita jadikan Fa Idza Faraghta Fainshab Wa Ila Rabbika Farghab sebagai pedoman harian. Setelah kita selesai salat, kita berdoa dengan sungguh-sungguh. Setelah kita selesai bekerja, kita mengabdikan diri pada keluarga. Setelah kita selesai membantu orang lain, kita segera berbalik untuk meminta pertolongan kepada Allah. Seluruh hidup kita adalah arena Fainshab, dan seluruh harapan kita terpusat pada Farghab. Dengan demikian, kita mencapai ketenangan dan kelapangan hati (Insyirah) yang dijanjikan di awal surah.
Tingkat tertinggi dari Farghab termanifestasi dalam kualitas doa kita. Jika seseorang telah menghabiskan energinya dalam mencari rezeki (Fainshab), maka ketika ia menengadahkan tangan, doanya haruslah mencerminkan keyakinan mutlak bahwa hanya Allah yang mampu memberikan rezeki yang berkah. Doa yang dipanjatkan oleh hati yang telah bekerja keras memiliki bobot spiritual yang berbeda dibandingkan doa yang keluar dari mulut orang yang bermalas-malasan.
Doa yang dipenuhi Farghab adalah doa yang penuh keyakinan dan kerendahan hati. Keyakinan bahwa Allah pasti mendengar dan mampu mengabulkan, dan kerendahan hati karena menyadari bahwa segala usaha (Fainshab) kita tetaplah terbatas dan memerlukan intervensi rahmat Ilahi.
Ketika Rasulullah SAW diperintahkan untuk berdiri malam hingga kakinya bengkak (sebuah bentuk ekstrem dari Fainshab), ini adalah persiapan fisik dan spiritual untuk penyerahan total. Usaha yang melelahkan ini justru menguatkan hati dalam berharap. Keringat dan air mata yang dicurahkan dalam ibadah adalah investasi untuk Raghbah yang hakiki. Kita harus mencontoh upaya ini: bekerja keraslah dalam ketaatan hingga merasa lelah, dan di saat kelelahan itulah, arahkan seluruh jiwa dan ragamu kepada Allah (Farghab).
Konsep Faraghta dan Fainshab mengajarkan kita bahwa tidak ada waktu yang benar-benar 'luang'. Waktu luang hanyalah kesempatan untuk beralih dari satu bentuk ibadah atau manfaat kepada bentuk yang lain. Jika kita menganggap waktu luang sebagai waktu yang kosong tanpa kewajiban, maka kita telah gagal memahami etos Surah Al-Insyirah.
Maka, mari kita tinjau kembali jadwal harian kita. Apakah penyelesaian satu tugas duniawi hanya diikuti oleh waktu yang terbuang sia-sia? Ataukah kita segera mencari jalan untuk *inshab*—mengisi waktu itu dengan zikir, hubungan baik dengan keluarga, atau introspeksi diri?
Waktu yang diisi oleh Fainshab yang tulus akan menghasilkan pahala yang melimpah, dan hati yang sibuk dalam kebaikan akan lebih mudah untuk diarahkan secara eksklusif kepada Allah (Farghab). Dengan demikian, Surah Al-Insyirah ayat 7 dan 8 bukan hanya sekadar ajaran moral, tetapi sebuah manual praktis yang menjamin bahwa energi dan aspirasi seorang hamba akan teralokasi secara sempurna di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Inilah puncak kebijaksanaan Al-Qur'an: usaha (Fainshab) adalah prasyarat untuk keikhlasan (Farghab), dan keikhlasan adalah kunci untuk mendapatkan ketenangan abadi.
"Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (untuk segala hal)."