Memahami inti sari pesan kenabian yang menjadi penutup Surah Al-Kahf
Surah Al-Kahf, yang dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal, ditutup dengan sebuah ayat agung yang merangkum seluruh esensi akidah dan tuntutan syariat. Ayat 110 dari surah ke-18 ini bukan hanya berfungsi sebagai penutup, melainkan sebagai manifesto universal yang mengikat setiap mukmin yang mengharapkan keselamatan di dunia dan perjumpaan mulia dengan Rabb-nya di akhirat.
Ayat ini dimulai dengan perintah ilahi kepada Nabi Muhammad SAW: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ ("Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu"). Penegasan ini memiliki kedalaman teologis yang luar biasa. Ia adalah garis pemisah antara keyakinan tauhid yang murni dengan praktik kultus individu yang berlebihan yang sering menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam kesyirikan.
Nabi Muhammad SAW adalah manusia. Beliau makan, minum, menikah, merasakan sakit, dan wafat. Namun, kemanusiaan beliau dibedakan oleh satu hal esensial: يُوحَىٰ إِلَيَّ (yang diwahyukan kepadaku). Beliau adalah manusia yang menerima wahyu, menjadikannya Rasul. Peran beliau bukan sebagai entitas ilahi yang disembah, melainkan sebagai pembawa risalah dan model ketaatan yang sempurna. Pengakuan ini membatasi segala bentuk pengagungan yang melewati batas, sekaligus menetapkan bahwa sumber ajaran adalah murni dari Allah, bukan berasal dari filosofi pribadi beliau.
Dengan menegaskan kemanusiaannya, Nabi SAW menolak potensi pengkultusan yang dapat mengarah pada kesyirikan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Isa AS dalam tradisi Kristiani. Beliau menetapkan pondasi bahwa fokus ibadah harus tetap tunggal: kepada Allah SWT semata.
Pesan yang diwahyukan itu sangat lugas dan tanpa kompromi: أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ (Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa). Ini adalah fondasi dari seluruh agama Islam, yakni Tauhid Uluhiyyah—pengesaan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Setelah membahas berbagai kisah dalam Al-Kahf—pemuda Ashabul Kahfi yang lari dari kesyirikan, kisah Musa dan Khidir, hingga kisah Dzulqarnain yang kekuasaannya hanya disandarkan pada kehendak Tuhan—ayat penutup ini kembali menegaskan bahwa tujuan akhir dari segala upaya dan cobaan hidup adalah penegakan keesaan Allah.
Ilustrasi visualisasi Wahyu dan cahaya petunjuk yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.
Tauhid Uluhiyyah menuntut bahwa setiap niat, doa, harapan, rasa takut, penyembelihan, dan nazar harus ditujukan semata-mata kepada Allah. Ayat ini menempatkan fondasi teologis yang tidak dapat diganggu gugat sebelum beralih ke dimensi praktis dari keimanan.
Paruh kedua ayat 110 Al-Kahf adalah inti dari pembahasan fiqih amal dan spiritualitas. Ini adalah jawaban atas pertanyaan: Bagaimana caranya seseorang mencapai perjumpaan mulia dengan Rabb-nya? Jawabannya terbagi menjadi dua kondisi mutlak yang harus dipenuhi secara simultan:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ (Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya), ini adalah motivasi tertinggi dan target spiritual seorang mukmin.
Maka, dia harus melaksanakan dua hal: فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا (maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh) dan وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya).
Para ulama sepakat bahwa dua frasa terakhir ini merumuskan syarat sah diterimanya segala bentuk amal ibadah, yaitu:
Jika salah satu syarat ini hilang, amal tersebut tertolak. Jika ikhlas ada tetapi amal tidak sesuai Sunnah, amal itu adalah bid'ah yang tertolak. Jika amal sesuai Sunnah tetapi dilakukan tanpa ikhlas (misalnya karena riya atau ingin dipuji), amal itu tertolak karena kesyirikan tersembunyi (syirk asghar).
Penolakan terhadap kesyirikan adalah hal pertama yang disebutkan dalam syarat penerimaan amal. Ini menunjukkan betapa pentingnya pemurnian niat. Ikhlas adalah ruh dari ibadah. Tanpa ikhlas, ibadah hanyalah gerakan fisik kosong yang tidak memiliki bobot spiritual di hadapan Allah.
Ikhlas (الْإِخْلَاصُ) secara bahasa berarti memurnikan atau membersihkan. Dalam konteks agama, ikhlas adalah memurnikan tujuan ibadah hanya untuk mencari wajah Allah dan negeri akhirat, tanpa mencampurnya dengan motivasi duniawi seperti pujian manusia, ketenaran, kekayaan, atau jabatan.
Ayat 110 secara eksplisit menolak segala bentuk syirik, baik syirik akbar (besar), yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, maupun syirik ashghar (kecil), seperti riya (pamer) dan sum'ah (mencari popularitas). Syirik ashghar, meski tidak mengeluarkan dari Islam, dapat merusak amal sepenuhnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil." Ketika ditanya tentang syirik kecil, beliau menjawab, "Itu adalah riya." (HR Ahmad). Ayat Al-Kahf 110 menjadi landasan teologis untuk memahami bahaya riya, karena ia adalah bentuk mempersekutukan orang lain dalam ibadah kepada Rabb. Seseorang yang shalat karena ingin dipuji telah menjadikan pujian manusia sebagai 'sekutu' bagi tujuan utamanya beribadah kepada Allah.
Ikhlas bukanlah pencapaian statis, melainkan perjuangan (jihad) yang berlangsung sepanjang hayat. Nafsu dan setan senantiasa berusaha menyusupkan riya dan kepentingan duniawi ke dalam hati. Untuk menjaga ikhlas, seorang hamba harus terus-menerus melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap niatnya sebelum, selama, dan setelah beramal.
Jika niatnya tergelincir setelah beramal, ia harus segera bertaubat dan menguatkan kembali niatnya bahwa amal tersebut murni untuk Allah. Para salafus saleh dikenal sangat menyembunyikan amal kebaikan mereka, bahkan amalan yang paling ringan, karena mereka memahami betapa rapuhnya keikhlasan di hadapan pujian dunia.
Ikhlas menuntut ketulusan yang paripurna. Ia menuntut agar hati benar-benar kosong dari harapan selain Ridha Allah. Segala bentuk ketergantungan kepada makhluk, baik dalam urusan rezeki, pertolongan, maupun kekuasaan, harus dibersihkan, sehingga hati hanya bergantung kepada Sang Pencipta saja. Pemurnian ini adalah manifestasi tertinggi dari pengakuan "Laa ilaaha illallah."
Setelah memastikan niatnya murni, seorang mukmin harus memastikan bahwa perbuatannya adalah عَمَلًا صَالِحًا (amal yang saleh). Apa standar kesalehan sebuah amal? Standar itu bukanlah perasaan baik (istihsan) atau tradisi, melainkan kesesuaian dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Amal saleh (عمل صالح) didefinisikan oleh para ulama sebagai amal yang sesuai dengan petunjuk Nabi SAW (Mutaba'ah). Ini didasarkan pada Hadits terkenal Aisyah RA, di mana Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak." (HR Muslim).
Jika amal tidak sesuai Sunnah (Mutaba'ah), maka ia jatuh pada kategori bid’ah (inovasi dalam agama) yang tertolak, meskipun niat pelakunya mungkin tulus (ikhlas). Ayat 110 dengan tegas mewajibkan kesesuaian syariat. Ini mencakup enam dimensi kesesuaian:
Pengabaian terhadap Mutaba'ah adalah pintu masuk menuju penyelewengan akidah. Ayat ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan. Kesalehan amal tidak diukur dari seberapa keras kita berusaha, melainkan seberapa tepat kita meniru teladan Rasulullah SAW.
Ikhlas adalah aspek batiniah (motivasi dan niat), dan Amal Saleh (Mutaba'ah) adalah aspek lahiriah (metode dan bentuk). Keduanya seperti dua sayap burung yang harus seimbang agar amal dapat terbang menuju penerimaan Ilahi. Ayat 110 menyandingkan kedua syarat ini untuk menekankan bahwa kesempurnaan ibadah hanya dicapai melalui perpaduan keduanya.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa syarat pertama (tidak mempersekutukan) terkait dengan hak Allah, yaitu Tauhid dan Ikhlas, sementara syarat kedua (amal saleh) terkait dengan hak Rasulullah SAW, yaitu ittiba’ (pengikutan) dan kepatuhan terhadap Sunnah. Siapa pun yang menggabungkan keduanya, maka amalnya diterima, dan ia berhak mendapatkan perjumpaan dengan Rabb-nya.
Frasa فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ (Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya) adalah motif tertinggi dan paling mulia bagi seorang hamba. Harapan perjumpaan ini bukan sekadar cita-cita romantis, tetapi janji serius bagi mereka yang memenuhi syarat ibadah yang telah ditetapkan.
Perjumpaan dengan Allah SWT (Liqa’ullah) mencakup beberapa makna, termasuk:
Para mufassir menekankan bahwa harapan tertinggi bagi mukmin adalah melihat wajah Allah di surga, sebagaimana firman-Nya yang lain: "Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat." (Q.S. Al-Qiyamah: 22-23). Ayat Al-Kahf 110 menjadikan amal yang murni dan benar sebagai harga yang harus dibayar untuk meraih kemuliaan abadi tersebut.
Tingkat keikhlasan dan kesesuaian amal seseorang di dunia akan menentukan tingkat kesempurnaan perjumpaan dan kebahagiaannya di akhirat. Seseorang yang hidupnya dipenuhi dengan perjuangan melawan riya dan bid'ah demi memurnikan ibadahnya, dialah yang paling berhak untuk meraih ganjaran paling besar, yaitu visi Ilahi yang mulia.
Harapan akan Liqa’ Rabbih menjadi motivator fundamental. Ini menuntut kesabaran dalam menghadapi kesulitan amal dan kesiapan untuk meninggalkan segala godaan duniawi yang dapat mengotori niat. Ketika seorang mukmin menyadari bahwa setiap kesulitan dalam shalat, puasa, atau jihad adalah investasi untuk melihat Wajah-Nya, maka kesulitan tersebut menjadi ringan.
Ayat 110 Surah Al-Kahf adalah pelajaran intensif tentang Tauhid dalam aspeknya yang paling praktis dan mendalam. Ayat ini mengajarkan bahwa Tauhid bukan hanya pengakuan lisan, tetapi merupakan syarat fungsional bagi diterimanya amal.
Tauhid yang dituntut dalam ayat ini mencakup tiga dimensi utama:
Ayat 110 menggarisbawahi bahwa Syirik tidak hanya terjadi dalam pemujaan berhala fisik. Syirik yang paling berbahaya adalah syirik tersembunyi (riya), di mana hamba beribadah kepada Allah tetapi juga mengharapkan keuntungan atau pujian dari makhluk. Ini adalah pertentangan langsung dengan inti Tauhid Uluhiyyah yang diwahyukan kepada Nabi SAW.
Kajian mendalam terhadap ayat ini memperkuat prinsip bahwa Tauhid harus diaplikasikan ke dalam setiap sendi kehidupan, baik yang bersifat publik maupun yang bersifat sangat pribadi, tersembunyi di dalam hati. Keikhlasan adalah pengawal Tauhid di gerbang ibadah.
Syirik kecil (seperti riya) sering dianggap remeh karena tidak membatalkan keislaman secara total, namun dampaknya pada amal sangat fatal. Riya mengubah niat yang seharusnya transenden (mencari wajah Allah) menjadi imanen (mencari perhatian manusia). Amal yang dilakukan dengan riya akan dibatalkan di Hari Kiamat, dan pelakunya akan dipanggil untuk mengambil balasan dari orang yang ia pamerkan amalnya di dunia.
Al-Kahf 110 mengajarkan kewaspadaan ekstrem. Ketika Allah SWT berfirman: "Janganlah dia mempersekutukan seorang pun," ini mencakup peringatan untuk tidak mempersekutukan diri sendiri atau hawa nafsu dalam tujuan ibadah. Hawa nafsu seringkali mendorong seseorang untuk beramal demi ego atau harga diri, bukan demi pemuliaan Allah.
Frasa "Amalan Shalihan" tidak hanya terbatas pada ritual wajib (shalat, puasa). Ia mencakup seluruh spektrum perbuatan baik, mulai dari berinteraksi dengan sesama, berdagang, menuntut ilmu, berbuat adil, hingga tidur dan makan, asalkan semua itu dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai tuntunan (Sunnah atau prinsip-prinsip syariat umum).
Misalnya, bekerja mencari nafkah bagi keluarga bisa menjadi amal saleh jika niatnya ikhlas (menghindari meminta-minta dan menunaikan kewajiban keluarga) dan caranya sesuai syariat (tidak korupsi atau menipu). Dengan demikian, ayat ini tidak memisahkan antara kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi, melainkan menuntut agar dimensi spiritual Tauhid diintegrasikan ke dalam setiap aspek duniawi.
Karena Al-Kahf 110 adalah perintah praktis, umat Islam perlu strategi nyata untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengingat beratnya menjaga keikhlasan di era media sosial dan publikasi diri ini.
Niat harus diperbaharui dan dimurnikan sebelum memulai suatu amal. Jika amal tersebut bersifat publik (misalnya, berdakwah atau beramal sosial), pastikan niat internalnya adalah untuk menyampaikan kebenaran atau membantu demi Allah, bukan untuk membangun citra diri.
Salah satu cara mujarab adalah mengingat terus-menerus janji "Liqa’ Rabbih". Jika imbalan terbesar adalah melihat Allah, maka imbalan sementara berupa pujian manusia menjadi tidak berarti sama sekali. Pujian manusia adalah kenikmatan fana yang tidak sebanding dengan Ridha Ilahi.
Para ulama salaf sering menyarankan untuk menyembunyikan amalan sunnah, seperti shalat malam atau sedekah rahasia, sebagai pelatihan untuk membunuh riya. Tujuannya adalah melatih hati agar terbiasa beramal hanya di hadapan Allah, tanpa mencari saksi manusia. Abu Hazim pernah berkata, "Sembunyikan kebaikanmu sebagaimana kamu menyembunyikan keburukanmu."
Penyembunyian amal merupakan perisai terhadap godaan riya yang amat halus. Semakin seseorang terbiasa beramal secara rahasia, semakin kuat benteng keikhlasannya, dan semakin mudah baginya beramal tulus ketika harus beramal secara terang-terangan (misalnya, zakat wajib atau shalat berjamaah).
Untuk memastikan amal adalah saleh (sesuai Sunnah), diperlukan ilmu. Ketidakpedulian (jahil) tentang Sunnah seringkali menjadi akar bid’ah.
Kepatuhan (Mutaba'ah) adalah bukti nyata cinta kepada Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman: "Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'" (Q.S. Ali Imran: 31). Ayat ini menyelaraskan ibadah ikhlas dalam Al-Kahf 110 dengan bukti cinta kepada Allah melalui Mutaba'ah kepada Rasul-Nya.
Ayat penutup ini berfungsi sebagai sintesis dari seluruh perjuangan para nabi dan rasul. Setiap nabi diutus dengan seruan dasar yang sama: "Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut." Al-Kahf 110 membingkai seruan ini dalam format yang dapat diaplikasikan oleh setiap individu.
Surah Al-Kahf sendiri menyajikan empat kisah utama yang sarat dengan pelajaran tentang fitnah (cobaan):
Penutupan surah dengan ayat 110 memberikan solusi fundamental untuk menghadapi keempat fitnah tersebut: Solusinya adalah kembali kepada Tauhid yang murni (ikhlas) dan amal yang benar (saleh). Hanya dengan fondasi yang kuat inilah seorang mukmin dapat melewati gelombang fitnah dunia, termasuk fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu Dajjal.
Ketika Nabi SAW diperintahkan untuk mengatakan, "Aku hanyalah manusia seperti kamu," hal ini menegaskan bahwa ibadah yang sempurna adalah ibadah yang dapat dicontoh. Jika beliau adalah entitas non-manusia, maka tuntutan ibadah akan terasa mustahil bagi manusia biasa. Namun, karena beliau adalah manusia, maka umat Islam memiliki model yang dapat diikuti dalam segala aspek, dari shalat hingga cara berperilaku.
Oleh karena itu, Mutaba'ah (mengikuti Sunnah) adalah bagian integral dari kesaksian terhadap kenabian Muhammad SAW. Tanpa Mutaba'ah, seseorang gagal memenuhi sebagian dari tuntutan ibadah yang sempurna, meskipun niatnya ikhlas. Keikhlasan yang diiringi kebid'ahan adalah bentuk ibadah yang tidak sempurna dan ditolak, karena ia secara implisit menuduh risalah Nabi tidak lengkap atau tidak memadai.
Penting untuk dipahami bahwa dua syarat dalam Al-Kahf 110 ini bukan hanya berlaku untuk ibadah ritual, melainkan untuk seluruh aspek ketaatan. Setiap niat baik, setiap tindakan kebajikan, setiap pengorbanan, harus melewati saringan ganda: Filter Ikhlas dan Filter Mutaba’ah.
Para ulama kontemporer sering membahas krisis ikhlas di era digital, di mana setiap amal baik, mulai dari sedekah kecil hingga perjalanan haji, cenderung didokumentasikan dan dipublikasikan. Ayat 110 menjadi pengingat keras bahwa nilai amal di sisi Allah tidak ditentukan oleh jumlah ‘likes’ atau pujian, melainkan oleh kemurnian niat yang tersembunyi dari pandangan manusia.
Kesyirikan adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah jika pelakunya meninggal dalam keadaan itu. Ayat 110 memberikan penekanan luar biasa pada penghindaran kesyirikan. Kita harus memahami bahwa syirik memiliki banyak tingkatan dan bentuk, yang paling sulit dideteksi adalah syirik kecil, yang bersembunyi di dalam niat.
Riya adalah beramal untuk dilihat orang, sementara sum'ah adalah beramal untuk didengar orang. Keduanya merusak keikhlasan yang dituntut oleh ayat ini. Mengapa riya begitu berbahaya? Karena ia menyentuh hak prerogatif Allah untuk menjadi satu-satunya yang disembah dan dihormati dalam ibadah. Jika seseorang beramal demi pandangan manusia, ia telah menjadikan pandangan manusia sebagai ‘ilah’ (tuhan) dalam ibadah tersebut.
Ikhlas menuntut kejujuran radikal terhadap diri sendiri. Seseorang harus mampu bertanya: "Jika tidak ada seorang pun yang melihat, apakah aku masih akan melakukan amal ini?" Jika jawabannya "tidak," maka ia perlu memeriksa kembali niatnya.
Salah satu manifestasi kontemporer dari riya adalah "perang kemuliaan" (seeking validation) di media sosial. Seseorang mungkin melakukan sedekah yang besar atau ibadah yang rajin, tetapi jika tujuannya adalah memenangkan persaingan spiritual di mata publik, maka ia telah merusak amal itu dengan syirik kecil.
Ayat 110 mengajarkan bahwa satu-satunya pengamat yang penting adalah Allah SWT. Fokus harus diarahkan sepenuhnya pada Liqa’ Rabbih, bukan pada pandangan makhluk yang fana dan penuh kekurangan.
Meskipun bid'ah seringkali lahir dari niat baik (ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah), ia tetap dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar syarat kedua dari Al-Kahf 110—yaitu amal yang saleh (sesuai Sunnah). Bid'ah secara tidak langsung menuduh syariat Islam tidak sempurna.
Ketika seseorang menambahkan ritual baru atau mengubah cara ibadah yang sudah baku, ia telah melakukan dua kesalahan fatal:
Ayat 110 menekankan perlunya menahan diri dari inovasi dalam agama. Kecintaan sejati kepada Allah dan Rasul-Nya harus diekspresikan melalui ketaatan yang ketat pada batas-batas yang telah ditetapkan. Amalan yang saleh adalah amalan yang selamat dari penambahan dan pengurangan, murni sesuai dengan cetak biru kenabian.
Surah Al-Kahf ayat 110 adalah kesimpulan epik yang menyaring seluruh pelajaran akidah dan amal. Ayat ini memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap jiwa yang mencari kebahagiaan abadi dan yang mendambakan kehormatan tertinggi: perjumpaan dengan Sang Pencipta.
Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan dua pilar utama ini secara sempurna: Ikhlas dalam setiap gerak-geriknya, dan Mutaba’ah yang tiada cela dalam setiap ajarannya. Umatnya diperintahkan untuk meneladani kesempurnaan tersebut.
Pelajaran yang terkandung dalam Al-Kahf 110 adalah abadi. Ia mengingatkan kita bahwa kuantitas amal tidak berarti tanpa kualitas. Dan kualitas amal itu diukur dengan dua timbangan yang tak terpisahkan: keikhlasan total kepada Allah, dan kesesuaian total dengan Sunnah Nabi SAW.
Marilah kita senantiasa merenungkan ayat ini setiap kali kita melakukan amal, besar maupun kecil, agar setiap hembusan nafas dan setiap gerakan kita bernilai di sisi Allah, dan membawa kita semakin dekat kepada harapan termulia: Liqa’ Rabbih, Perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Penekanan berulang pada Tauhid dan Amal Saleh di bagian akhir surah ini merupakan penegasan bahwa tidak ada jalan pintas menuju surga dan perjumpaan dengan Allah selain melalui dua pintu ini. Orang yang berilmu, orang yang kaya, orang yang berkuasa, atau orang yang lemah, semuanya diwajibkan untuk memenuhi dua syarat fundamental ini. Tidak ada pengecualian.
Ikhlas adalah ujian hati; Mutaba’ah adalah ujian kepatuhan. Siapa yang lulus dalam kedua ujian ini, ia telah mengamalkan inti sari dari seluruh wahyu Ilahi.
Amal yang murni dari syirik dan sesuai dengan tuntunan adalah jaminan keberuntungan di hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi bermanfaat, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat (Qalbun Salim). Dan hati yang selamat adalah hati yang dipenuhi Tauhid dan dituntun oleh Sunnah Nabi SAW. Ayat ini adalah panduan kita menuju hati yang selamat tersebut.
Keterangan mendalam tentang Al-Kahf 110 ini harus menjadi landasan pijak spiritual kita. Tidak cukup hanya mengetahui ayat ini; kita harus menjadikannya filter harian bagi setiap tindakan kita, memastikan bahwa motivasi kita bersih dari debu riya dan metode kita bersih dari noda kebid'ahan.
Ayat ini menutup Surah Al-Kahf dengan pesan yang tegas dan lugas: hidup adalah perjalanan menuju perjumpaan. Kualitas perjalanan itu ditentukan oleh keseriusan kita dalam menjaga Tauhid dan komitmen kita pada amal yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Biarlah ini menjadi komitmen abadi bagi setiap mukmin.
Penerapan komprehensif dari pesan Al-Kahf 110 ini memerlukan kedisiplinan spiritual yang tinggi, penolakan tegas terhadap popularitas duniawi yang fana, dan kesediaan untuk selalu merujuk pada Sunnah dalam setiap detail kehidupan. Ini adalah jalan para nabi, jalan yang lurus, yang dijanjikan akan membawa kepada Ridha dan Perjumpaan Ilahi.
Kita menutup pembahasan ini dengan pengakuan bahwa keikhlasan adalah anugerah dari Allah, dan Mutaba’ah adalah hasil dari ilmu yang bermanfaat. Oleh karena itu, kita senantiasa memohon kepada Allah agar dikaruniai hati yang ikhlas dan petunjuk untuk selalu berada di atas Sunnah Nabi-Nya yang mulia.