Surah Al Kahfi adalah permata dalam khazanah Al-Qur'an, yang sarat dengan kisah-kisah penuh hikmah mengenai ujian keimanan, pengetahuan, kekuasaan, dan akhir zaman. Salah satu narasi yang paling menarik perhatian dan memicu spekulasi luas adalah kisah perjalanan Dzulqarnain, seorang pemimpin bijaksana yang dianugerahi kekuasaan besar di muka bumi. Kisah ini mencapai puncaknya ketika Dzulqarnain bertemu dengan suatu kaum yang terancam oleh keganasan entitas misterius yang dikenal sebagai Ya'juj wa Ma'juj.
Fokus utama artikel ini adalah ayat yang menjadi titik balik dramatis dalam interaksi tersebut, yaitu Surah Al Kahfi ayat 94. Ayat ini tidak hanya menyajikan permasalahan yang dihadapi oleh kaum tersebut, tetapi juga meletakkan dasar bagi respons etis dan material yang luar biasa dari Dzulqarnain, sebuah respons yang mendefinisikan kepemimpinan sejati dalam Islam.
Ayat 94 Surah Al Kahfi ini memuat beberapa elemen penting yang harus diurai untuk memahami kedalaman maknanya. Pertama, identifikasi pelaku: Ya’juj wa Ma’juj. Kedua, sifat mereka: mufsidūna fil-arḍ (pembuat kerusakan di muka bumi). Ketiga, dilema kaum setempat. Keempat, solusi yang mereka tawarkan: kharjan (upah atau imbalan materi) untuk pembangunan saddan (benteng atau penghalang).
Frasa “mufsidūna fil-arḍ” menekankan sifat dasar entitas Ya'juj wa Ma'juj. Mereka bukan hanya musuh fisik, tetapi juga perusak tatanan sosial, lingkungan, dan spiritual. Kerusakan yang mereka timbulkan bersifat menyeluruh, mencerminkan ancaman eksistensial bagi kaum yang meminta pertolongan tersebut. Hal ini menggarisbawahi bahwa masalah yang dihadapi Dzulqarnain bukan sekadar konflik wilayah biasa, melainkan upaya melindungi peradaban dari kekacauan total.
Kemudian, munculnya tawaran “kharjan”. Ini adalah inti pragmatis dari ayat ini. Kaum tersebut, yang berada di antara dua bukit, menyadari biaya besar yang dibutuhkan untuk membangun benteng permanen. Mereka menawarkan sumbangan finansial, harta, atau kerja paksa sebagai imbalan bagi jasa Dzulqarnain. Tawaran ini menunjukkan adanya sistem ekonomi dan penghargaan dalam masyarakat tersebut, namun juga menguji motivasi Dzulqarnain: apakah dia bergerak karena kekayaan atau karena tugas ilahiah?
Bila dilihat dari konteks linguistik, pemilihan kata saddan (benteng) menunjukkan permintaan untuk sebuah struktur yang permanen, kokoh, dan tidak dapat ditembus oleh kekuatan perusak yang masif. Mereka tidak meminta perlindungan sementara atau perjanjian damai, melainkan pemisahan total dan abadi dari Ya'juj wa Ma'juj.
Respons Dzulqarnain yang tercantum dalam ayat berikutnya (V. 95) – di mana ia menolak upah material dan hanya meminta bantuan tenaga – merupakan salah satu pelajaran kepemimpinan paling fundamental dalam Al-Qur'an. Penolakan ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati yang didukung oleh karunia Tuhan (Rabb) tidak termotivasi oleh keuntungan duniawi, melainkan oleh tanggung jawab moral dan keadilan. Kesejatian Dzulqarnain terletak pada kemampuannya membedakan antara kebutuhan pribadi dan misi sucinya.
Pemahaman mengenai Ya'juj wa Ma'juj adalah kunci untuk memahami urgensi pembangunan tembok. Dalam tafsir klasik, mereka sering digambarkan sebagai suku-suku ganas yang memiliki populasi tak terbatas, bergerak cepat, dan selalu membawa kehancuran ke manapun mereka pergi. Kerusakan mereka meliputi penjarahan, pembunuhan, dan pelanggaran batas-batas moral serta hukum alam.
Para penafsir modern dan historis telah mengajukan beberapa identifikasi potensial untuk Ya'juj wa Ma'juj, meskipun tidak ada konsensus mutlak. Beberapa mengaitkannya dengan bangsa Mongol atau Tartar yang melakukan invasi besar-besaran dari timur, sementara yang lain melihatnya sebagai suku-suku nomaden dari stepa Asia Tengah yang secara berkala menyerbu peradaban mapan. Namun, pemahaman yang paling kuat dan universal adalah bahwa Ya'juj wa Ma'juj melambangkan kekuatan destruktif yang terus-menerus mengancam stabilitas dan perdamaian di bumi.
Dalam konteks eskatologi Islam, identitas mereka melampaui suku historis; mereka adalah tanda-tanda besar Hari Kiamat. Mereka akan dilepaskan dari benteng pada akhir zaman, dan kehancuran yang mereka bawa pada saat itu akan menjadi puncak dari segala kerusakan yang pernah mereka timbulkan sebelumnya. Oleh karena itu, permintaan bantuan dalam ayat 94 adalah permohonan untuk menunda takdir yang mengerikan, sebuah permohonan yang dijawab oleh Dzulqarnain dengan teknologi dan spiritualitas.
Permintaan kharjan (upah) dalam ayat 94 memberikan panggung bagi Dzulqarnain untuk menunjukkan etos kepemimpinannya. Bayangkan besarnya tawaran yang mungkin dia terima; kaum yang terancam tersebut pasti bersedia menyerahkan kekayaan yang sangat besar demi keamanan abadi. Namun, penolakan tegas Dzulqarnain (disebutkan dalam V. 95) mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bersumber dari anugerah Tuhan, bukan dari akumulasi harta benda.
Dzulqarnain menjawab, “Apa yang Rabb-ku teguhkan padaku adalah lebih baik (dari upah kalian).” Ini adalah deklarasi moral yang fundamental. Ia memiliki sumber daya internal (iman) dan eksternal (kekayaan dan kekuatan militer yang diberikan Allah) yang jauh melampaui apa pun yang bisa ditawarkan oleh kaum tersebut. Dengan menolak upah, Dzulqarnain memastikan bahwa proyek pembangunan benteng itu murni didasarkan pada altruisme dan ketaatan kepada perintah Ilahi, bukan atas dasar kontrak komersial.
Keputusan ini menggarisbawahi pentingnya integritas dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin yang menerima kekuatan dari Tuhan harus menggunakannya untuk kebaikan publik tanpa mengharapkan imbalan pribadi yang berlebihan. Ini adalah antitesis terhadap korupsi dan ambisi materialistik yang sering merusak kekuasaan. Dzulqarnain hanya meminta bantuan fisik: tenaga kerja dan alat-alat dasar yang dibutuhkan untuk konstruksi yang monumental itu. Ini menunjukkan pembagian tanggung jawab; ia menyediakan teknologi dan visi, sementara kaum tersebut menyumbangkan keringat dan partisipasi mereka dalam perlindungan diri mereka sendiri.
Proyek pembangunan benteng ini menjadi model kolaborasi yang sempurna. Dzulqarnain tidak tampil sebagai penyelamat yang superior, melainkan sebagai fasilitator yang menggerakkan potensi masyarakat. Permintaan kerjanya menunjukkan bahwa perlindungan dari kerusakan memerlukan usaha kolektif. Rakyat harus berpartisipasi aktif dalam penciptaan keamanan mereka sendiri, bukan hanya menjadi penerima pasif dari jasa yang dibeli.
Pembangunan benteng yang disajikan dalam Surah Al Kahfi adalah representasi dari proyek pembangunan peradaban yang berlandaskan spiritualitas. Kekuatan teknologi (penggunaan besi dan tembaga cair) dipadukan dengan kekuatan spiritual (motivasi yang murni dari Rabb). Tanpa salah satu dari unsur ini, benteng tidak akan mampu bertahan sebagaimana yang dimaksudkan dalam rencana Ilahi.
Meskipun ayat 94 hanya menyebutkan keinginan untuk saddan (benteng), detail pelaksanaan yang diberikan dalam ayat-ayat berikutnya memberikan wawasan tentang skala dan kecanggihan teknologi Dzulqarnain. Pembangunan benteng menggunakan balok-balok besi dan tembaga cair (qithr).
Kombinasi besi dan tembaga cair ini sangat penting. Besi (zubar) memberikan kekuatan struktural dan daya tahan, sementara tembaga cair (ditempa dengan panas yang sangat tinggi hingga melebur dan mengalir di antara balok-balok besi) berfungsi sebagai perekat yang tak tertandingi dan pelapis anti-korosi. Hasilnya adalah struktur homogen yang tidak dapat dihancurkan dengan peralatan atau teknik konvensional pada masa itu. Ini adalah simbolisasi perlindungan maksimal, sebuah keajaiban rekayasa yang mencerminkan kekuasaan yang dianugerahkan Allah kepada Dzulqarnain.
Penggunaan besi dan tembaga tidak dipilih secara acak. Besi (al-hadid) disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai bahan yang diturunkan (anzalna) dan mengandung kekuatan yang hebat serta banyak manfaat bagi manusia. Ini mengisyaratkan bahwa proyek ini memiliki dimensi transenden. Benteng ini bukan hanya solusi teknis, melainkan perwujudan intervensi Ilahi melalui agen manusia (Dzulqarnain) untuk menanggulangi kejahatan kolektif.
Kaum tersebut awalnya menawarkan imbalan materi; Dzulqarnain menolaknya tetapi meminta material mentah (besi) dan tenaga kerja. Ini menciptakan keseimbangan moral: benteng itu dibiayai oleh sumber daya alam yang dianugerahkan Allah, digerakkan oleh niat tulus pemimpin, dan dibangun oleh tenaga kerja kolektif kaum yang bersangkutan. Proyek ini sepenuhnya bebas dari motif keuntungan pribadi, menjadikannya berkah yang berkelanjutan.
Pencarian lokasi fisik benteng Dzulqarnain telah menjadi topik perdebatan selama berabad-abad. Ayat 94 menjelaskan bahwa Ya'juj wa Ma'juj berada di luar kaum tersebut, dan penghalang dibutuhkan untuk memisahkan mereka. Teks menunjukkan bahwa benteng dibangun di antara dua bukit, yang menyempit dan membentuk celah (bayn as-sadafayn).
Beberapa teori lokasi populer mencakup:
Terlepas dari lokasi fisik yang sebenarnya, esensi dari ayat 94 dan proyek bentengnya adalah pelajaran bahwa kejahatan (Ya'juj wa Ma'juj) dapat dibendung oleh kekuatan (Dzulqarnain) yang dipimpin oleh keadilan dan ketaatan. Benteng tersebut adalah manifestasi fisik dari ‘amar ma'ruf nahi munkar’ (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam skala monumental.
Meskipun benteng besi dan tembaga itu sangat kokoh, Dzulqarnain sendiri, setelah selesai membangunnya, tidak mengambil pujian atas kekuatannya. Dalam ayat berikutnya, ia menyatakan bahwa kekuatan benteng tersebut adalah rahmat dari Rabb-nya. Ini adalah pernyataan spiritual yang sangat mendalam, memisahkan Dzulqarnain dari para penguasa dunia yang mengagungkan kekuatan dan kemampuan pribadi mereka.
Pernyataan ini mengajarkan bahwa solusi teknologis dan kekuatan militer, sekokoh apa pun, pada akhirnya bersifat sementara dan tunduk pada Kehendak Ilahi. Tembok itu akan tetap berdiri sampai waktu yang ditentukan Allah tiba, yaitu ketika Ya'juj wa Ma'juj akan dilepaskan sebagai bagian dari skenario akhir zaman.
Benteng Dzulqarnain berhasil menunda kehancuran yang ditimbulkan Ya'juj wa Ma'juj. Ayat 94 mencerminkan ketakutan abadi masyarakat terhadap kekuatan tak terkendali yang mengancam eksistensi mereka. Dzulqarnain memberikan penangguhan, sebuah periode damai dan stabilitas. Namun, Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa benteng tersebut bukan solusi permanen. Benteng itu adalah peringatan bahwa kejahatan tidak pernah benar-benar mati, hanya tertahan, dan akan muncul kembali pada waktu yang telah ditetapkan sebagai ujian akhir bagi umat manusia.
Konsep penundaan ini penting. Ia memberi kesempatan bagi peradaban untuk tumbuh, berkembang, dan mempersiapkan diri. Kaum yang dilindungi oleh Dzulqarnain mendapatkan kesempatan untuk membangun peradaban yang lebih baik, bebas dari ancaman yang terus-menerus. Jika mereka menggunakan periode ini dengan baik, mereka telah memenuhi tujuan dari intervensi Dzulqarnain.
Mari kita kembali menganalisis implikasi dari tawaran upah (kharjan) yang diajukan oleh kaum tersebut. Dalam konteks sosial-politik, tawaran ini mencerminkan mentalitas bahwa keamanan dan kebaikan publik dapat dibeli. Dzulqarnain mengubah mentalitas ini menjadi mentalitas partisipasi dan tanggung jawab bersama.
Jika Dzulqarnain menerima kharjan, pembangunan benteng akan menjadi transaksi komersial. Dampaknya adalah:
Penolakan kharjan dan permintaan tenaga kerja malah menanamkan rasa kepemilikan. Kaum itu membangun benteng itu bersama Dzulqarnain; itu adalah benteng mereka, bukan proyek yang dibayar tunai. Nilai gotong royong dan kesadaran diri dalam menghadapi musuh menjadi warisan moral yang jauh lebih berharga daripada tumpukan emas atau perak yang mungkin ditawarkan.
Proyek ini mengajarkan bahwa pembangunan infrastruktur besar yang bertujuan untuk kebaikan kolektif harus didasarkan pada fondasi moral yang kuat. Ketika pemimpin bertindak tanpa pamrih, respons masyarakat cenderung lebih tulus dan penuh semangat, menghasilkan solusi yang lebih tahan lama, baik secara fisik maupun spiritual.
Ayat 94 berfungsi sebagai ujian karakter bagi Dzulqarnain. Setelah melakukan perjalanan ke timur dan barat, bertemu berbagai suku, dan dianugerahi kekuasaan atas segala sebab di bumi, tawaran upah ini adalah ujian terakhir terhadap kemurnian niatnya. Ia lulus dari ujian tersebut dengan kemuliaan yang luar biasa. Kekayaan dan kekuasaan yang ia miliki tidak pernah mengaburkan matanya dari kebenaran bahwa semua itu adalah amanah.
Model kepemimpinan Dzulqarnain yang tergambar dari responsnya terhadap tawaran kharjan adalah model yang harus diteladani dalam setiap lini kehidupan: kepemimpinan yang berorientasi pada hasil (membangun benteng), tetapi tanpa pamrih (menolak upah), dan kolaboratif (meminta tenaga kerja). Ini adalah sintesis sempurna antara kekuatan materi, teknologi, dan integritas spiritual.
Kepemimpinan adil (al-adlu) yang diwujudkan oleh Dzulqarnain bukan hanya tentang membagi kekayaan secara merata, tetapi juga tentang menggunakan kekuasaan untuk melindungi yang lemah tanpa mengambil keuntungan dari kerentanan mereka. Inilah inti dari Surah Al Kahfi 94—mengubah situasi bahaya menjadi kesempatan untuk menegakkan keadilan dan membuktikan bahwa pertolongan sejati datang dari Allah.
Jika kita menginterpretasikan Ya'juj wa Ma'juj bukan hanya sebagai suku fisik tetapi sebagai metafora untuk kekuatan kerusakan moral, sosial, dan lingkungan, maka relevansi ayat 94 menjadi sangat kontemporer. Permintaan kaum tersebut untuk “benteng” dapat diartikan sebagai kebutuhan mendesak masyarakat modern akan penghalang moral, hukum, dan etika untuk menahan arus globalisasi yang merusak, penyebaran kebohongan (fasad), dan eksploitasi sumber daya alam.
Kharjan (upah) yang ditawarkan bisa melambangkan upaya masyarakat untuk membayar mahal untuk “keamanan” melalui militerisasi berlebihan, sistem pengawasan, atau sekadar membeli produk-produk yang menjanjikan ketenangan sementara. Ayat ini mengingatkan kita bahwa benteng sejati harus dibangun dari besi ketaatan dan tembaga keikhlasan, digerakkan oleh pemimpin yang menolak imbalan duniawi dan memprioritaskan kepentingan kolektif.
Proyek Dzulqarnain adalah panggilan untuk menginvestasikan tenaga dan sumber daya kita—bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk membangun struktur peradaban yang dapat menahan gelombang kerusakan yang terus-menerus muncul. Benteng kita hari ini mungkin bukan terbuat dari besi, tetapi dari sistem pendidikan yang kokoh, institusi hukum yang adil, dan media yang jujur. Semua ini membutuhkan pemimpin dengan integritas seperti Dzulqarnain, yang menolak tawaran “kharjan” pribadi demi kemaslahatan umat.
Setelah benteng selesai dibangun, Dzulqarnain mengucapkan frasa yang menandai keterbatasan pencapaian manusia: “Maka Ya’juj dan Ma’juj tidak akan sanggup mendakinya, dan tidak sanggup (pula) melobanginya.” Pernyataan ini adalah pengakuan atas kesempurnaan rekayasa yang dicapai. Namun, langsung diikuti oleh peringatan bahwa benteng ini akan runtuh ketika “janji Rabb-ku telah tiba”.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan antara usaha keras manusia (ikhtiar) dan takdir Ilahi (qadar). Manusia diwajibkan berusaha maksimal, menggunakan kecerdasan, teknologi, dan sumber daya yang diberikan Allah (seperti besi dan tembaga). Pembangunan benteng adalah puncak dari ikhtiar. Namun, kesuksesan benteng ini bersifat temporer. Ia tidak memberikan ilusi keabadian bagi peradaban yang dilindungi.
Tembok Dzulqarnain adalah monumen peringatan bahwa setiap benteng, setiap sistem, dan setiap peradaban pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Ia berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa keamanan mutlak hanya milik Allah. Ya'juj wa Ma'juj yang tertahan itu adalah simbol dari kejahatan laten yang tidak pernah bisa dimusnahkan sepenuhnya oleh kekuatan manusia, hanya dapat ditahan hingga hari perhitungan tiba.
Surah Al Kahfi ayat 94, meskipun singkat, memuat seluruh drama ketakutan manusia, tawaran materi, dan integritas kepemimpinan yang mengatasi ambisi pribadi. Kaum yang terancam mengajukan pertanyaan yang bersifat universal: “Bagaimana kami bisa membeli keamanan kami?” Dzulqarnain memberikan jawaban yang bersifat spiritual dan praktis: “Keamanan tidak dijual; ia harus dibangun melalui integritas, kolaborasi, dan ketaatan kepada Tuhan.”
Kisah ini menjabarkan peta jalan bagi setiap individu dan masyarakat dalam menghadapi Ya'juj wa Ma'juj modern—baik itu ancaman militer, kerusakan moral, atau krisis lingkungan. Penghalang yang kita butuhkan adalah konstruksi yang kuat, dibangun dengan material etika dan didorong oleh penolakan tegas terhadap motif keuntungan yang korup. Penolakan “kharjan” oleh Dzulqarnain adalah prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang memegang kekuasaan: bahwasanya layanan kepada umat harus selalu berada di atas imbalan pribadi, dan kekuasaan adalah sarana untuk menegakkan keadilan, bukan alat untuk mengumpulkan kekayaan.
Keagungan kisah Al Kahfi 94 terletak pada bagaimana ia merangkai teknologi rekayasa yang canggih (peleburan besi dan tembaga) dengan teologi yang mendalam (penolakan harta). Kisah ini adalah bukti bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan hati yang bersih, yang mencari keridhaan Ilahi di atas semua ganjaran duniawi. Dan benteng itu, yang berdiri kokoh di antara dua bukit, akan terus menjadi simbol usaha manusia yang tertinggi dalam menanggulangi kerusakan, seraya menunggu janji Rabb yang pasti akan tiba.
Perenungan mendalam terhadap ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati terhadap tawaran yang tampaknya menguntungkan namun mengorbankan integritas moral. Dzulqarnain memberikan pelajaran abadi bahwa kontribusi terbesar seorang pemimpin adalah kemampuan untuk melihat melampaui kepentingan materiil dan fokus pada mandat spiritual dan sosialnya. Benteng itu adalah hadiah, bukan transaksi; sebuah rahmat, bukan komoditas yang diperjualbelikan. Warisan ini adalah inti dari keberhasilan peradaban yang dicita-citakan oleh Surah Al Kahfi.
Setiap detail, mulai dari keputusasaan kaum yang menawarkan upah hingga penolakan Dzulqarnain yang penuh wibawa, mengukuhkan pemahaman kita tentang bagaimana kekuasaan harus dijalankan. Ia harus dijalankan dengan kesadaran penuh bahwa sumber daya terbesar—baik itu kekayaan, kekuatan fisik, maupun kecerdasan—adalah pinjaman sementara dari Tuhan, dan penggunaannya harus selalu diarahkan untuk melindungi kebenaran dan menekan kerusakan. Inilah inti filosofis yang memungkinkan pembangunan saddan, benteng yang kokoh, yang menunda bencana besar hingga akhir masa. Analisis ini terus berlanjut, melibatkan pemikiran tentang bagaimana setiap individu dapat membangun benteng spiritual dalam hati mereka untuk menahan serangan Ya'juj dan Ma'juj versi modern, yaitu nafsu yang merusak, informasi palsu, dan ketidakadilan yang merajalela di dunia kontemporer. Upaya kolektif ini, yang meniru semangat kerja tanpa pamrih yang ditunjukkan Dzulqarnain, adalah satu-satunya cara untuk mencapai stabilitas sejati, hingga tiba waktu yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Kisah tentang pembangunan benteng ini, yang dimulai dengan permintaan kharjan dalam ayat 94, merupakan pelajaran tentang etika pembangunan dan rekayasa moral. Pembangunan tidak boleh diukur dari biaya yang dikeluarkan atau keuntungan finansial yang diperoleh, melainkan dari niat tulus dan dampaknya terhadap kebaikan umat. Kaum tersebut mengajukan pertanyaan ekonomi; Dzulqarnain menjawab dengan prinsip teologis dan etis. Ini adalah pergeseran paradigma dari kapitalisasi kekuasaan menjadi pengabdian sejati, sebuah prinsip yang relevan sepanjang zaman. Benteng yang dibayangkan oleh kaum yang terancam itu adalah harapan untuk sebuah dunia yang aman, dan Dzulqarnain mengubah harapan itu menjadi kenyataan fisik tanpa menuntut harga apa pun selain partisipasi mereka dalam proses pembangunan.
Penggunaan material yang canggih (besi dan tembaga) menunjukkan bahwa spiritualitas dan teknologi tidak harus bertentangan. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah dan rekayasa terbaik harus digunakan sebagai alat untuk memenuhi tugas-tugas agama dan moral. Dalam kasus ini, teknologi metalurgi yang maju digunakan untuk tujuan yang murni, yaitu melindungi yang lemah dari perusak. Ini menolak pandangan bahwa kekuatan Ilahi hanya bermanifestasi melalui keajaiban tanpa usaha manusia; sebaliknya, Allah memberkahi usaha dan kecerdasan manusia yang digunakan untuk kebaikan bersama. Tembok itu adalah bukti kekuatan iman yang dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan yang memadai, sebuah harmoni yang sering dilupakan dalam peradaban modern.
Lebih jauh lagi, penolakan Dzulqarnain terhadap imbalan materi membentuk fondasi bagi konsep ikhlas (ketulusan) dalam pelayanan publik. Ketika motivasi seseorang murni dan tidak tercemar oleh hasrat untuk keuntungan duniawi, hasilnya akan memiliki keberkahan dan ketahanan yang jauh lebih besar. Benteng itu bukan hanya kokoh secara fisik karena besi dan tembaga, tetapi juga kokoh secara spiritual karena dibangun di atas niat yang murni dan penolakan terhadap korupsi. Kaum yang meminta bantuan tersebut, meskipun awalnya berpikir secara transaksional (menawarkan kharjan), akhirnya diajak ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi, yaitu partisipasi dalam proyek yang dimotivasi oleh keadilan Ilahi.
Melalui lensa Surah Al Kahfi 94 dan kelanjutannya, kita diajarkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi peradaban manusia—yaitu ancaman kehancuran kolektif yang dilambangkan oleh Ya'juj wa Ma'juj—membutuhkan solusi yang radikal, tetapi solusi tersebut harus dipimpin oleh hati yang tunduk dan tangan yang jujur. Benteng itu adalah simbol dari otoritas yang sah, yang tidak menggunakan kekuatannya untuk menindas atau memperkaya diri, melainkan untuk menegakkan batas-batas yang melindungi kehidupan dan kehormatan. Penghalang ini akan terus berdiri sebagai pengingat akan kapasitas manusia untuk kebaikan dan kekejaman yang laten di dunia, hingga hari ketika segala penghalang akan dilenyapkan dan kebenaran mutlak akan terungkap.
Oleh karena itu, setiap kali kita merenungkan Surah Al Kahfi 94, kita diingatkan tentang pentingnya memilih pemimpin yang memiliki integritas Dzulqarnain, yang menolak "kharjan" duniawi demi "rahmat" Ilahi, dan yang menganggap kekuasaan bukan sebagai hak istimewa, tetapi sebagai alat untuk mewujudkan keadilan di antara manusia. Ini adalah warisan terpenting dari kisah abadi ini.