Gambar: Simbol Tauhid dan Kepercayaan Mutlak (Alt: Simbol Tauhid dan Kepercayaan Mutlak)
Surah Al-Kahfi, yang dikenal sebagai salah satu pelindung dari fitnah Dajjal, memuat empat kisah inti yang sarat makna. Salah satu kisah yang paling menyentuh adalah perumpamaan dua orang yang dianugerahi kebun (Ashabul Jannatain). Kisah ini membentangkan dialog fundamental antara kekayaan material yang membutakan dan kekayaan spiritual yang menenangkan.
Ayat 38 hadir sebagai klimaks moral dari dialog tersebut. Ayat-ayat sebelumnya (32-37) menggambarkan seorang pria kaya yang memiliki dua kebun anggur dan kurma yang subur, dialiri sungai, dan dikelilingi kemakmuran yang tak terhingga. Pria ini, dalam kesombongannya yang menggebu-gebu, mulai menyekutukan Tuhannya dengan hasil jerih payahnya dan menganggap kekayaan itu abadi, bahkan meragukan Hari Kebangkitan. Ia berkata kepada temannya yang miskin namun beriman: "Aku lebih banyak darimu dalam harta dan lebih kuat dalam pengikut."
Di sinilah, Ayat 38 menjadi jawaban penyeimbang, sebuah respons yang dilandasi keyakinan yang teguh. Jawaban ini bukan sekadar sanggahan, melainkan pernyataan iman yang murni, membedakan secara tegas antara pandangan hidup materialistik dan pandangan hidup teosentris. Sang teman yang miskin, dengan ketenangan seorang mukmin, membalikkan seluruh premis argumentasi temannya yang kaya.
Kalimat pertama, "لَٰكِنَّا۠ هُوَ ٱللَّهُ رَبِّى" (Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku), adalah sebuah deklarasi iman yang murni. Kata "Allah" merujuk pada *Tawhid Uluhiyah* (ketunggalan dalam penyembahan), sementara kata "Rabbī" (Tuhanku) merujuk pada *Tawhid Rububiyah* (ketunggalan dalam kepengurusan dan penciptaan).
Ketika teman yang beriman ini mengucapkan "Rabbī", ia tidak hanya mengakui Allah sebagai Pencipta, tetapi juga sebagai Penguasa tunggal yang mengatur rezeki, hidup, dan mati. Pengakuan ini secara langsung menolak klaim tersirat temannya yang kaya, yang seolah-olah menganggap dirinya sendiri sebagai penguasa dan pemilik mutlak kebunnya.
Kontras ini menjadi pelajaran berharga: harta benda yang dimiliki si kaya telah mengubah pandangannya tentang kepemilikan. Ia melihat dirinya sebagai pemilik final dan tidak lagi menyadari bahwa kepemilikan sejatinya hanyalah titipan sementara dari Allah, Rabb semesta alam. Sebaliknya, meskipun miskin dan tidak memiliki kebun, teman yang beriman tersebut memiliki penguasaan hati yang sempurna, menempatkan Allah sebagai satu-satunya Rabb dalam kehidupannya.
Deklarasi ini adalah bentuk perlindungan spiritual. Seorang mukmin, walau dihadapkan pada kekayaan yang mencolok dan keangkuhan yang memprovokasi, harus tetap berpegang pada keyakinan bahwa kekuasaan, kekuatan, dan rezeki adalah hak mutlak Allah. Hal ini menegaskan bahwa nilai seseorang tidak diukur dari apa yang ia miliki di dunia, tetapi dari kualitas tauhid yang tertanam di hatinya.
Rabbī adalah sebuah ikrar personal yang sangat mendalam, menandakan hubungan pribadi dan kepasrahan total. Keindahan kalimat ini terletak pada bagaimana ia menanggapi kesombongan dengan kerendahan hati yang berbasis pada kebenaran tertinggi. Kekuatan kata Rabbī menjadi benteng yang kokoh, tidak tergoyahkan oleh gemerlapnya emas dan suburnya perkebunan.
Kalimat kedua, "وَلَآ أُشْرِكُ بِرَبِّىٓ أَحَدًۭا" (dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun), adalah penolakan terhadap *shirk* (menyekutukan Allah). Dalam konteks kisah ini, *shirk* yang dilakukan oleh teman kaya adalah *shirk* tersembunyi (*Shirk Khafi*) yang muncul melalui keangkuhan dan pengagungan diri sendiri.
Ketika pemilik kebun berkata, "Aku tidak mengira kebun ini akan binasa selamanya," ia telah menyekutukan Allah dengan mengandalkan kekuatannya sendiri dan mengabaikan kekuasaan Ilahi. Ia menuhankan kemapanan duniawi, menjadikan harta sebagai sumber keamanan dan keabadian, padahal hanya Allah yang kekal dan Maha Pemberi keamanan.
Teman yang beriman tersebut memahami bahaya terbesar dari kekayaan: ia bisa mengalihkan fokus dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya. Oleh karena itu, ia menyatakan secara eksplisit bahwa ia tidak akan pernah menyandarkan harapannya atau memberikan bagian dari kekagumannya kepada entitas lain selain Allah, Sang Rabb yang memelihara.
Pernyataan ini merupakan pengajaran universal. *Shirk* tidak hanya terbatas pada menyembah patung, tetapi juga menyangkut menjadikan harta, kedudukan, atau bahkan kehebatan diri sendiri sebagai penentu kebahagiaan dan keselamatan, melebihi atau menyamai kebergantungan kita kepada Allah. Mukmin sejati menolak anggapan bahwa ada kekuatan lain yang setara dengan kekuasaan Rabb-nya.
Kata "أَحَدًۭا" (sesuatu pun/siapapun) mencakup segala bentuk asosiasi, baik itu benda mati, makhluk hidup, jabatan, atau hawa nafsu. Ini adalah janji suci seorang hamba untuk menjaga kemurnian tauhidnya dari segala bentuk kontaminasi, khususnya di tengah godaan dunia yang seringkali menjebak manusia dalam kesombongan materialistik.
Ayat 38 bukanlah sekadar respons verbal; ia adalah manifestasi dari hati yang dipenuhi keyakinan. Dalam situasi tersebut, teman yang beriman berada di posisi yang secara material sangat lemah. Namun, justru dalam kelemahan fisik inilah, kekuatan spiritualnya bersinar terang, melebihi gemerlap kebun-kebun si kaya.
Kesombongan si kaya adalah provokasi yang dirancang untuk merendahkan teman miskinnya. Namun, jawaban dalam Ayat 38 menunjukkan bahwa provokasi materi tidak mampu menembus perisai iman. Teman yang beriman tersebut tidak mencoba berdebat tentang rezeki atau kekayaan; ia langsung menyerang akar masalah: kekosongan spiritual dan kesesatan tauhid.
Respon ini mengajarkan kepada kita bahwa ketika dihadapkan pada fitnah dunia—entah itu kekayaan berlebihan atau kesulitan hebat—tanggapan terbaik seorang mukmin selalu kembali kepada poros tauhid. Memperkuat hubungan dengan Allah adalah cara paling efektif untuk meredam hiruk pikuk perbandingan duniawi.
Si kaya melihat kebunnya sebagai entitas permanen yang ia peroleh dengan kekuatannya sendiri. Ini adalah ilusi akut tentang kepemilikan. Sebaliknya, teman yang beriman tersebut melihat bahwa semua yang ada di bumi ini bersifat sementara dan hanya pinjaman. Kesadaran akan kefanaan dunia adalah kunci kerendahan hati dan pencegah utama dari *shirk*.
Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan apa yang ia miliki, ia akan secara otomatis menoleh kepada Dzat yang Maha Kuasa. Ayat 38 adalah ekspresi dari kesadaran penuh ini: segala sesuatu berasal dari Allah, dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya.
Penting untuk direnungkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh si sombong tidak pernah memberikannya kedamaian, sebaliknya, ia membawa kecemasan akan kebinasaan dan kepastian bahwa ia tidak akan mati. Iman, meskipun disertai kemiskinan, memberikan ketenangan abadi dan kepastian akan janji-janji Allah.
Gambar: Kontras kekayaan dunia dan keyakinan hati (Alt: Kontras kekayaan dunia dan keyakinan hati)
Ajaran yang terkandung dalam Ayat 38 relevan bagi setiap individu, terlepas dari tingkat kekayaan mereka. Ayat ini memanggil kita untuk melakukan introspeksi mendalam mengenai sumber kekuatan dan harapan kita.
Meskipun Ayat 38 sendiri fokus pada pernyataan tauhid, ia merupakan fondasi yang mendasari ucapan penting di ayat berikutnya (Ayat 39), yaitu "Mā Shā Allāh Lā Quwwata Illā Billāh" (Apa yang dikehendaki Allah, maka itulah yang terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah). Ayat 38 adalah landasan tauhid, dan Ayat 39 adalah aplikasi praktis dari tauhid tersebut saat melihat karunia dunia.
Dengan menegaskan "Aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun," seorang mukmin dipandu untuk selalu mengembalikan pujian dan pengakuan atas segala nikmat kepada Allah. Setiap keberhasilan, setiap harta, setiap kesehatan, dan setiap bakat harus disikapi dengan kesadaran bahwa itu semua adalah anugerah, bukan hasil murni dari kehebatan diri sendiri.
Kisah ini menunjukkan bahwa baik kekayaan maupun kemiskinan adalah ujian. Si kaya gagal dalam ujian kekayaan karena ia membiarkan hartanya menjadi Tuhannya. Si miskin berhasil dalam ujian kemiskinan karena ia menjadikan imannya sebagai harta terbesarnya.
Bagi mereka yang berlimpah, Ayat 38 mengingatkan agar kekayaan diimbangi dengan kerendahan hati dan sedekah, serta pengakuan bahwa mereka hanyalah pengelola sementara. Bagi mereka yang kekurangan, ayat ini memberikan penghiburan bahwa nilai diri sejati terletak pada keimanan, bukan pada kekosongan dompet.
Ketika teman yang beriman menyatakan bahwa ia tidak menyekutukan Tuhannya, ia sedang berbicara tentang menjaga *Ikhlas* (kemurnian niat). *Shirk* yang paling halus adalah *Riya'* (pamer) atau mencari pengakuan dari manusia. Meskipun kisah dua kebun ini berpusat pada *shirk* yang lebih besar (keangkuhan terhadap karunia), semangat Ayat 38 adalah memurnikan setiap aspek kehidupan dari segala bentuk penyekutuan.
Keberhasilan dalam menjaga tauhid berarti bahwa setiap tindakan, dari yang terkecil hingga terbesar, dilakukan semata-mata karena Allah. Ini adalah perjuangan seumur hidup melawan godaan ego dan pujian duniawi. Dalam kehidupan kontemporer, di mana citra diri seringkali diagungkan di atas segala-galanya, prinsip Ayat 38 menjadi semakin krusial.
Pernyataan "Dialah Allah, Tuhanku" adalah sebuah komitmen untuk menjadikan perintah-Nya sebagai prioritas mutlak. Komitmen ini harus meresap ke dalam perilaku, keputusan bisnis, interaksi sosial, dan bahkan perencanaan masa depan. Tanpa komitmen tauhid ini, manusia akan mudah terseret ke dalam arus kesesatan, sebagaimana yang dialami oleh pemilik kebun yang sombong.
Rabbī adalah pengakuan bahwa Allah adalah yang mendidik, yang memelihara, yang memberikan rezeki, dan yang mengakhiri segalanya. Pengakuan yang menyeluruh ini menghilangkan rasa khawatir yang berlebihan terhadap urusan dunia, karena seorang mukmin yakin bahwa semua urusannya diatur oleh Penguasa terbaik, Yang tidak akan meninggalkannya dalam kesia-siaan.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman moral Ayat 38, kita harus melihat konsekuensi dari kegagalan si kaya untuk menerima kebenaran tauhid. Ayat-ayat selanjutnya (khususnya Ayat 42) menceritakan bahwa kebun-kebun yang megah itu akhirnya dihancurkan oleh bencana. Semua kemegahan, keangkuhan, dan kepastian semu yang dipegang si kaya sirna dalam sekejap. Dia pun menyesali perbuatannya, membolak-balikkan kedua tangannya (sebagai ekspresi penyesalan yang mendalam) atas harta yang telah lenyap.
Kisah ini menegaskan apa yang telah diikrarkan oleh teman yang beriman: hanya Allah yang memiliki kekuatan sejati. Kepemilikan manusia adalah sementara, dan bergantung padanya adalah kebodohan spiritual. Kehancuran kebun itu adalah pelajaran nyata bahwa ketika seseorang melupakan Rabb-nya karena disibukkan oleh rezeki-Nya, rezeki itu sendiri dapat ditarik kembali dalam sekejap.
Pernyataan tauhid dalam Ayat 38 adalah kunci untuk meraih keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan menolak *shirk* dalam bentuk apa pun, dan dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb yang memelihara, seseorang menempatkan dirinya di bawah naungan perlindungan dan keridhaan Ilahi, yang jauh lebih berharga daripada seluruh kebun dan kekayaan di dunia ini.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang banyaknya harta yang kita kumpulkan, melainkan tentang kualitas hubungan kita dengan Sang Pencipta harta tersebut. Ketenangan sejati didapatkan bukan dari keamanan material, melainkan dari kedamaian hati yang meyakini keesaan dan kekuasaan mutlak Allah.
Filosofi di balik pernyataan "Aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun" adalah pembebasan jiwa. Ketika seseorang mengaitkan keberhasilannya dengan faktor-faktor selain Allah (keberuntungan, koneksi, kecerdasan semata), ia menjadi budak dari faktor-faktor tersebut. Ia takut kehilangan keberuntungan, ia khawatir hubungannya terputus, dan ia cemas kecerdasannya menurun. Ini adalah bentuk perbudakan modern yang sangat berbahaya.
Sebaliknya, seorang mukmin yang teguh pada Ayat 38 membebaskan dirinya dari perbudakan materi dan kekhawatiran manusia. Ia tahu bahwa tidak ada entitas lain yang dapat memberi manfaat atau bahaya kecuali dengan izin Allah. Ketenangan yang dimiliki oleh teman yang miskin ini adalah buah dari kebebasan spiritual, di mana hatinya telah menetap pada satu titik tumpu yang abadi: Allah, Rabb semesta alam.
Dalam menghadapi dunia yang semakin kompetitif dan materialistik, banyak orang jatuh ke dalam *shirk khafi* (syirik tersembunyi), di mana mereka bekerja keras demi pengakuan manusia (pujian, gelar, status sosial) daripada keridhaan Allah. Ayat 38 berfungsi sebagai cermin untuk memeriksa niat kita. Apakah kita melakukan sesuatu karena Rabb kita, atau karena ingin diakui oleh "sesuatu pun" yang lain?
Kekuatan kalimat "Rabbī" menunjukkan kedekatan dan keintiman hamba dengan Tuhannya. Rabb adalah Dzat yang selalu hadir, yang merencanakan yang terbaik, bahkan ketika rencana itu tampak menyakitkan atau tidak sesuai dengan keinginan fana kita. Keimanan ini menghasilkan daya tahan (sabar) dan rasa syukur (syukur) yang tak tergoyahkan, dua sifat yang sepenuhnya absen dari karakter pemilik kebun yang sombong.
Pelajaran yang terus bergema dari kisah ini adalah bahwa pandangan hidup yang didominasi oleh kekayaan adalah pandangan yang rapuh dan mudah hancur. Pandangan yang didominasi oleh tauhid adalah pandangan yang kokoh, bahkan jika ia harus melalui badai kemiskinan dan penderitaan. Fondasi iman yang kuat inilah yang menjadi warisan abadi bagi kita semua.
Maka, setiap kali kita merenungkan kesuksesan, setiap kali kita melihat pencapaian, dan setiap kali kita merencanakan masa depan, kita harus senantiasa kembali kepada inti dari Ayat 38: Pengakuan bahwa hanya Dialah Allah, satu-satunya Rabb yang menguasai segalanya, dan bahwa kita tidak akan pernah mengaitkan kekuatan atau kekuasaan abadi kepada selain Diri-Nya. Ini adalah esensi dari kehidupan seorang hamba yang sejati.
Pemurnian tauhid yang diikrarkan oleh sang mukmin miskin adalah investasi yang jauh melampaui segala bentuk keuntungan duniawi. Kekayaan dapat hilang, kebun dapat musnah, tetapi iman yang murni kepada Allah adalah harta yang akan dibawa ke alam baka. Pernyataan ini adalah perisai pelindung yang menjamin kebahagiaan abadi, sebuah kontras nyata dengan kesengsaraan sementara yang dialami oleh si kaya setelah kebunnya hancur luluh.
Teguran yang diutarakan oleh teman yang beriman ini bukan hanya ditujukan kepada individu yang sombong itu, melainkan kepada setiap jiwa yang mungkin tergoda untuk menuhankan harta. Dalam keangkuhan si kaya terdapat peringatan universal bagi umat manusia: waspadalah terhadap jebakan materi yang bisa menggeser posisi Allah dari pusat kehidupanmu.
Kesempurnaan tauhid yang ditunjukkan oleh Ayat 38 adalah pemahaman bahwa meskipun kita melakukan upaya terbaik, hasil akhirnya mutlak berada di tangan Allah. Tidak ada hasil yang dapat kita klaim secara independen dari kehendak-Nya. Ketika kita mengucapkan, "Aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun," kita menegaskan kembali totalitas kebergantungan kita pada Sang Pencipta.
Sikap hati yang demikianlah yang membedakan seorang mukmin sejati. Dia mungkin tidak memiliki apa-apa secara fisik, tetapi dia memiliki segalanya secara spiritual. Kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, yang diukur dengan tingkat ketenangan dan keyakinan dalam menghadapi ujian dunia. Ayat 38 menawarkan peta jalan menuju kekayaan jiwa yang tak ternilai harganya itu.
Melalui perenungan mendalam terhadap Surah Al-Kahfi Ayat 38, kita diajak untuk terus memeriksa diri: seberapa kokohkah fondasi tauhid kita? Apakah kita telah membiarkan bisikan kesombongan atau ketakutan duniawi merusak kemurnian ikrar kita kepada Allah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kita berada di sisi pemilik kebun yang celaka atau di sisi teman yang beriman dan teguh.
Prinsip tauhid yang ditekankan dalam ayat ini adalah dasar bagi seluruh sistem nilai Islam. Tanpa tauhid yang benar, amal ibadah menjadi sia-sia, dan keberuntungan duniawi menjadi bencana. Oleh karena itu, pengakuan bahwa "Dialah Allah, Tuhanku" harus menjadi napas setiap muslim, sebuah filter yang menyaring segala motivasi dan ambisi kita.
Mari kita jadikan pernyataan iman ini sebagai pegangan hidup, sebuah pengingat abadi bahwa kemuliaan sejati hanya datang dari pengakuan dan kepatuhan mutlak kepada Allah, Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu di langit dan di bumi. Dengan demikian, kita akan selamat dari fitnah kekayaan dan kesombongan, serta menggapai kebahagiaan hakiki yang dijanjikan bagi para kekasih-Nya.
Kejernihan spiritual yang terpancar dari lisan teman yang beriman ini menunjukkan bahwa iman adalah benteng terakhir melawan kesesatan. Ketika segala sesuatu di sekitar kita runtuh atau gagal memenuhi harapan, tauhid dalam Ayat 38 adalah satu-satunya tiang yang tetap berdiri tegak. Ia adalah sumber kekuatan yang tak terbatas, menopang jiwa di tengah badai kehidupan. Ini adalah pelajaran yang harus diinternalisasi oleh setiap muslim di setiap zaman, mengulanginya bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan seluruh eksistensi jiwa dan raga.
Penyekutuan yang dihindari oleh teman yang beriman ini adalah pelajaran yang sangat mendalam. Ia menyadari bahwa jika ia mengagungkan harta temannya, atau iri terhadap kebun itu, ia telah memberikan bagian dari hatinya kepada selain Allah. Maka, penolakan "Aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun" adalah deklarasi cinta yang eksklusif, di mana hati hanya tertuju pada satu Dzat yang layak disembah dan diandalkan.
Kesadaran ini membuahkan ketenangan yang luar biasa, sebuah kebalikan dari rasa gelisah yang dialami oleh si kaya yang paranoid terhadap kehilangan hartanya. Kekayaan si kaya memberinya rasa aman palsu, yang pada akhirnya runtuh. Keimanan si miskin memberinya rasa aman hakiki, yang kekal dan tak tergoyahkan. Perbedaan antara kedua jenis keamanan ini adalah perbedaan antara surga dunia yang fana dan surga spiritual yang abadi.
Ayat 38 mengajak kita untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh bahwa kita tidak berada dalam kendali penuh. Kita hanya dapat merencanakan dan berusaha, tetapi kekuasaan mutlak untuk mewujudkan hasil ada pada Allah. Inilah yang dimaksud dengan penolakan terhadap *shirk*: melepaskan diri dari ilusi kontrol diri, dan menyerahkan kendali penuh kepada Rabb semesta alam.
Setiap desahan nafas, setiap denyut jantung, setiap tetes rezeki, dan setiap kesempatan adalah bukti dari Rububiyah Allah. Dengan memahami hal ini, kita akan secara otomatis menolak untuk menyematkan kekuatan ilahi pada benda mati atau makhluk lemah lainnya. Sikap ini adalah bentuk syukur tertinggi, yaitu mengakui bahwa segala kebaikan adalah murni karunia dari Rabb kita.
Maka, kita kembali pada inti pesan Surah Al-Kahfi: penangkal utama terhadap fitnah dunia—apakah itu fitnah kekayaan (kisah dua kebun), fitnah ilmu (kisah Musa dan Khidir), atau fitnah kekuasaan (kisah Dzulkarnain)—adalah Tauhid yang murni. Ayat 38 adalah janji kita untuk mempertahankan kemurnian itu hingga akhir hayat, menjadikannya perbekalan terbaik untuk menghadapi setiap cobaan.
Penegasan "Dialah Allah, Tuhanku" harus menjadi pedoman moral kita dalam setiap interaksi dan setiap keputusan. Ini adalah standar tertinggi yang memisahkan antara kehidupan yang berorientasi pada dunia (materialisme) dan kehidupan yang berorientasi pada akhirat (spiritualitas). Pilihlah jalan yang dipilih oleh teman yang beriman tersebut, dan temukan kedamaian sejati di dalamnya.
Jaminan tauhid yang diikrarkan oleh sang mukmin adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering. Dalam menghadapi musibah atau kehilangan, dia tidak akan pernah merasa sendirian atau kehabisan harapan, karena dia tahu bahwa Allah, Tuhannya, senantiasa bersamanya. Inilah yang membuat iman lebih berharga dari seluruh kekayaan yang dapat dikumpulkan oleh manusia fana.
Kesadaran akan keesaan Allah, seperti yang dinyatakan dalam Ayat 38, adalah benteng yang menghalangi masuknya rasa iri dan dengki. Teman yang beriman tersebut tidak iri kepada temannya yang kaya, karena ia menyadari bahwa apa yang dimiliki temannya hanyalah sementara. Rasa iri dan dengki hanya muncul ketika seseorang lupa bahwa rezeki sepenuhnya di tangan Allah, dan bahwa Rabb memiliki rencana sempurna bagi setiap hamba-Nya.
Seorang mukmin sejati menyadari bahwa fokusnya harus pada peningkatan kualitas ibadah dan tauhidnya, bukan pada penimbunan kekayaan. Fokus inilah yang memberikan kemuliaan abadi. Oleh karena itu, Ayat 38 bukan sekadar respons, melainkan sebuah pernyataan komitmen yang mendefinisikan seluruh identitas seorang muslim: identitas yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, Rabb yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana.
Dengan mengulang dan merenungkan janji "aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun," kita melatih diri untuk senantiasa waspada terhadap godaan. Godaan untuk merasa diri hebat, godaan untuk bergantung pada manusia, atau godaan untuk menuhankan harta. Semua godaan ini adalah manifestasi dari *shirk* yang harus dijauhkan dari hati seorang mukmin.
Akhir dari kisah dua kebun memberikan penekanan dramatis pada kebenaran Ayat 38. Ketika kebun itu hancur, si kaya menyadari kesalahannya, tetapi sudah terlambat. Penyesalan yang mendalam itu seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua: jangan pernah menunda pengakuan penuh terhadap Rububiyah Allah, dan jangan pernah biarkan nikmat dunia membutakan kita dari Sang Pemberi Nikmat. Tauhid adalah kunci keberkahan sejati.