Gambar: Ilustrasi ketidakmampuan makhluk (termasuk Jin dan Iblis) untuk menjadi saksi atas keagungan Penciptaan. Allah Maha Tunggal.
Surah Al-Kahfi (Gua) adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang mengandung empat kisah utama yang sarat dengan ujian dan pelajaran tauhid: kisah Ashabul Kahfi (ujian iman), kisah pemilik dua kebun (ujian harta), kisah Nabi Musa dan Khidr (ujian ilmu), dan kisah Dzulqarnain (ujian kekuasaan). Ayat 51 berfungsi sebagai peringatan tegas yang disisipkan di tengah-tengah narasi tentang perbandingan antara orang-orang yang beriman dan mereka yang ingkar, khususnya setelah Allah SWT menyebutkan perseteruan abadi antara manusia dan Iblis.
Ayat ini mematahkan segala argumen yang mungkin diklaim oleh makhluk, termasuk Iblis, untuk menuntut kedudukan setara atau peranan dalam tatanan ilahi. Secara eksplisit, Allah SWT menyatakan dua poin fundamental yang saling terkait:
Pernyataan ini adalah landasan tauhid rububiyyah (ketuhanan) dan uluhiyyah (peribadatan), yang menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta tunggal, tanpa sekutu, tanpa saksi, dan tanpa kekurangan. Implikasinya sangat besar: jika Iblis dan golongannya adalah makhluk yang bahkan tidak memahami hakikat asal usul mereka sendiri, bagaimana mungkin manusia berani mengambil mereka sebagai pelindung, sekutu, atau sumber otoritas, apalagi menggantikan peran Allah dalam hati dan kehidupan?
Fase pertama dari ayat 51, "مَا أَشْهَدْتُهُمْ خَلْقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَا خَلْقَ أَنْفُسِهِمْ" (Aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi, dan tidak pula penciptaan diri mereka sendiri), adalah deklarasi mutlak mengenai keesaan Allah dalam tindakan penciptaan. Ini adalah bantahan keras terhadap segala bentuk syirik yang meyakini adanya kekuatan lain yang turut andil, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam pembentukan alam semesta.
Penciptaan langit dan bumi adalah puncak manifestasi kekuasaan Allah yang tak terbatas. Ayat ini menempatkan Iblis dan jin pada posisi yang seharusnya: mereka adalah makhluk yang diciptakan setelah seluruh arsitektur kosmos ditetapkan. Mereka tidak memiliki hak untuk mengklaim pengetahuan, partisipasi, atau otoritas atas proses penciptaan. Seluruh tata surya, galaksi, hukum fisika, dan elemen alam semesta dibentuk oleh kehendak Ilahi semata. Tidak ada makhluk yang menyaksikan permulaan kosmik tersebut. Ini berarti pengetahuan mereka tentang asal-usul alam sangatlah terbatas, bergantung pada apa yang diwahyukan oleh Allah. Manusia yang mencari perlindungan pada jin, yang bahkan tidak menyaksikan penciptaan diri mereka, telah melakukan kesalahan logika yang fatal.
Bagian yang lebih mengejutkan adalah penafian terhadap kesaksian penciptaan diri mereka sendiri ("وَلَا خَلْقَ أَنْفُسِهِمْ"). Ini menunjukkan bahwa Iblis, yang diciptakan dari api, tidak memiliki pemahaman mendalam tentang bagaimana proses penciptaan dirinya oleh Allah. Ia tidak diminta bersaksi atas materi, bentuk, atau esensi dari keberadaannya sendiri. Jika seorang makhluk, yang memiliki kecerdasan dan kemampuan spiritual yang besar seperti Iblis, tidak mengetahui awal dan akhir penciptaan dirinya, maka seluruh keberadaannya sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah. Argumen Iblis tentang keunggulannya (diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah) menjadi lemah di hadapan fakta bahwa ia tidak pernah menyaksikan atau menguasai proses penciptaannya sendiri. Penguasaan mutlak hanya milik Sang Khaliq.
Dalam sejarah spiritualitas manusia, sering kali muncul praktik menyembah atau meminta bantuan kepada entitas gaib, termasuk jin, dengan anggapan bahwa mereka memiliki kekuatan supernatural atau pengetahuan tersembunyi. Ayat 51 menghancurkan klaim ini sepenuhnya. Jin dan Iblis tidak dapat memberikan bantuan yang substansial karena mereka sendiri adalah makhluk yang lemah, yang tidak memiliki kontrol atas asal usul mereka. Klaim bahwa mereka adalah ‘penolong’ atau ‘sekutu’ adalah ilusi yang ditanamkan oleh Iblis sendiri untuk menyesatkan manusia. Jika mereka tidak bisa menguasai penciptaan mereka, bagaimana mungkin mereka menguasai nasib orang lain?
Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ayat ini memperkuat kisah Adam dan perintah sujud, yang mana Iblis menolak. Iblis menolak karena kesombongan, tetapi ayat 51 menunjukkan bahwa ia menolak bukan berdasarkan ilmu pengetahuan atau wewenang, melainkan keangkuhan kosong. Manusia, meskipun diciptakan dari tanah, diberi tanggung jawab sebagai khalifah. Ayat ini mengingatkan manusia: jangan sampai mengambil makhluk yang sombong dan buta akan penciptaannya sendiri sebagai teman atau penolong, karena perbuatan itu sejajar dengan pengingkaran terhadap keesaan Allah yang menciptakan segala sesuatu tanpa saksi.
Pernyataan ‘tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan’ menegaskan perbedaan mutlak antara Ilmu Allah (Ilmu Azali) yang mencakup segala sesuatu dari awal hingga akhir, dan ilmu makhluk yang bersifat parsial, temporal, dan terbatas. Iblis, meskipun memiliki jangka hidup yang panjang dan kemampuan bergerak di dimensi gaib, tetap terikat pada batasan yang ditetapkan oleh Penciptanya. Mereka tidak mengetahui rahasia takdir atau hakikat ilahi. Oleh karena itu, manusia dilarang mengambil petunjuk dari entitas yang ilmu pengetahuannya sangat inferior dibandingkan Kebijaksanaan Ilahi.
Ayat ini berfungsi sebagai dalil teologis utama yang membantah semua bentuk ritual atau kepercayaan yang melibatkan pemujaan, pemanggilan, atau pengambilan bantuan supranatural dari jin atau setan. Praktik-praktik tersebut didasarkan pada asumsi yang salah bahwa entitas tersebut memiliki kekuatan otonom yang dapat mempengaruhi takdir. Al-Kahfi 51 menggarisbawahi: mereka hanya ciptaan, tanpa kesaksian, tanpa otoritas, dan tanpa kemampuan untuk lepas dari kehendak Sang Pencipta.
Konsep kesaksian (إشهاد) di sini bukan hanya berarti kehadiran fisik, tetapi juga pemahaman mendalam dan otoritas untuk memverifikasi proses. Ketika Allah menyatakan bahwa tidak ada yang menyaksikan, ini berarti bahwa keagungan penciptaan adalah rahasia mutlak Allah. Hal ini mencakup rincian penciptaan galaksi, pembentukan unsur, dan penetapan hukum alam. Iblis dan jin tidak memiliki akses ke ‘cetak biru’ kosmik ini, yang semakin menunjukkan ketidaklayakan mereka sebagai sandaran spiritual bagi manusia.
Ayat ini secara implisit memperkuat sifat Qidam (Keazalian) Allah SWT, yang berarti Allah telah ada sebelum segala sesuatu. Karena Allah adalah Yang Awal, tidak mungkin ada saksi pada saat permulaan Penciptaan, sebab saksi itu sendiri adalah makhluk yang diciptakan. Iblis dan jin adalah makhluk yang kemudian, oleh karena itu mereka tidak memiliki pengetahuan tentang permulaan, apalagi otoritas atasnya. Keterbatasan waktu dan ruang adalah bukti bahwa Iblis adalah makhluk, sementara Allah adalah Zat yang melampaui waktu dan ruang.
Dengan menafikan peran saksi dalam penciptaan, Allah menunjukkan sifat Al-Ghani (Maha Kaya dan Tidak Membutuhkan). Allah tidak memerlukan notaris kosmik untuk memvalidasi tindakan-Nya. Penciptaan terjadi melalui firman-Nya, "Kun fayakun" (Jadilah, maka jadilah ia). Ayat 51 menghilangkan konsep bahwa Allah membutuhkan validasi, pengakuan, atau bahkan kehadiran makhluk tertentu untuk menjalankan kehendak-Nya.
Penyisipan ayat ini pada Surah Al-Kahfi, yang penuh dengan kisah ujian dan godaan, berfungsi sebagai peringatan bahwa sumber utama godaan (Iblis) tidak layak dijadikan sekutu. Setelah kisah dua kebun (yang pemiliknya sombong dan mengira harta akan kekal), peringatan ini datang untuk menunjukkan bahwa kesombongan Iblis, yang menjadi akar kekufuran, didasarkan pada premis yang salah tentang asal-usul dan kekuasaannya sendiri. Manusia yang sombong dan lupa diri harus ingat bahwa bahkan Iblis pun tidak memiliki dasar untuk kesombongannya.
Fase kedua dari Ayat 51 adalah ancaman dan peringatan keras: "وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّينَ عَضُدًا" (Dan Aku tidak mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong). Ini adalah klimaks teologis yang menyimpulkan pelajaran dari fakta bahwa Iblis bukan saksi penciptaan. Jika Iblis dan golongannya adalah ciptaan yang tidak berdaya, mengapa Allah harus mengambil mereka sebagai penolong? Jawabannya adalah, Allah tidak akan pernah melakukannya.
Kata Al-Mudhillin secara harfiah berarti 'orang-orang yang menyesatkan'. Dalam konteks ini, merujuk kepada Iblis, para jin yang ingkar, dan seluruh kelompok yang bertugas menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus. Peringatan ini menegaskan bahwa Iblis adalah musuh yang ditetapkan, dan Allah tidak mungkin mengambil musuh-Nya sebagai sekutu atau penolong (عضدًا - ‘adhudan). Kata ‘adhudan sering diartikan sebagai lengan atau penopang, yang mengindikasikan bantuan yang sangat vital. Allah menolak peran ini untuk para penyesat.
Walaupun Allah tidak mengambil mereka sebagai penolong, ironisnya, banyak manusia justru mengambil Iblis dan pengikutnya sebagai pelindung (Auliya'). Ayat ini secara tidak langsung menampar mereka yang mencari pertolongan kepada Iblis atau jin. Ketika manusia mengambil Al-Mudhillin sebagai wali (pelindung atau sekutu), mereka secara sadar atau tidak sadar, merendahkan kekuasaan Allah dan meniru kesalahan Iblis: yaitu kesombongan spiritual yang berujung pada penyekutuan.
Ayat ini berfungsi untuk memuliakan Allah dengan menafikan segala bentuk kebutuhan terhadap bantuan makhluk. Allah adalah Al-Qawiyy (Maha Kuat) dan Al-Aziz (Maha Perkasa). Mengambil makhluk yang bertugas menyesatkan sebagai penolong berarti mengasumsikan Allah memiliki kekurangan atau kelemahan yang perlu ditutupi oleh bantuan Iblis. Asumsi ini adalah kekafiran itu sendiri. Peringatan ini menekankan bahwa Iblis hanyalah alat ujian yang diizinkan beroperasi, bukan mitra dalam pemerintahan ilahi.
Pilihan kata ‘adhudan sangat kuat. Ini bukan sekadar 'pembantu' (mu'in), tetapi lebih spesifik merujuk kepada ‘penolong kuat’ atau ‘pendukung utama’, seperti lengan yang menopang. Allah, dengan menolak penolong yang menyesatkan ini, secara definitif memutus segala hubungan atau afiliasi antara otoritas ilahi dan kekuatan kegelapan. Kekuatan Iblis hanya sebatas menggoda; ia tidak memiliki kekuatan eksekutif atau operasional dalam kehendak Allah.
Dalam dimensi tafsir sosial, ayat ini juga memberikan pelajaran tentang kepemimpinan. Pemimpin atau individu yang mengambil orang-orang zalim, fasik, atau menyesatkan (yang dalam konteks lebih luas adalah Al-Mudhillin) sebagai penasihat dekat atau sekutu strategis, telah melanggar prinsip ilahi yang termaktub dalam ayat 51. Allah tidak bersekutu dengan kejahatan; demikian pula seharusnya hamba-hamba-Nya.
Ayat 51 mendesak manusia untuk secara radikal mengevaluasi siapa yang mereka ambil sebagai ‘wali’ atau pelindung. Jika Allah menolak Iblis sebagai penolong, bagaimana mungkin manusia bisa mengambilnya? Pertolongan yang sejati hanya datang dari Allah (Surah Al-Kahfi, ayat 44: “Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Yang Maha Benar.”). Menggantungkan diri pada Iblis adalah kebalikan dari tauhid dan merusak janji perlindungan dari Allah.
Penting untuk ditekankan bahwa penolakan Allah terhadap Iblis sebagai penolong didasarkan pada sifat abadi Iblis sebagai ‘penyesat’. Iblis tidak memiliki potensi untuk perbaikan atau pertobatan. Sifatnya adalah dhalal (kesesatan). Allah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana tidak akan pernah bersekutu dengan sifat kesesatan. Manusia yang berakal seharusnya juga tidak bersekutu dengan penyesat, karena bersekutu dengan mereka adalah merangkul kesesatan itu sendiri.
Syirik adalah kesalahan logika paling mendasar. Ayat 51 mengungkap kesalahan logika syirik: bagaimana mungkin menyekutukan Allah dengan entitas yang diciptakan, tidak bersaksi atas penciptaannya sendiri, dan yang sifat dasarnya adalah kesesatan? Setiap tindakan penyembahan berhala, mencari bantuan dukun, atau praktik spiritual yang melibatkan jin adalah manifestasi dari kegagalan memahami kelemahan mendasar Al-Mudhillin ini.
Terdapat hubungan kausal yang kuat antara dua bagian Ayat 51: Karena mereka (Iblis) tidak menyaksikan penciptaan—yang membuktikan keterbatasan mutlak mereka—maka Allah tidak mengambil mereka sebagai penolong. Kelemahan ontologis (asal-usul keberadaan) mereka secara langsung membatalkan kelayakan fungsional mereka sebagai penolong atau mitra ilahi. Keterbatasan yang mereka miliki saat diciptakan merupakan bukti bahwa mereka tidak layak menjadi sekutu.
Peringatan ini tidak terbatas pada Iblis dan jin saja, tetapi meluas kepada setiap orang yang melakukan kesesatan dan menyesatkan orang lain. Siapa pun, baik manusia maupun jin, yang memilih jalan penyesatan, tidak akan pernah menjadi penolong sejati. Ayat ini berfungsi sebagai barometer moral dan teologis: identifikasi penyesat, dan jauhi mereka sebagai sumber bantuan atau kekuatan.
Para mufasir klasik dan kontemporer memberikan penekanan yang seragam mengenai keutamaan tauhid dan penolakan terhadap entitas gaib sebagai sekutu berdasarkan ayat ini. Analisis linguistik kata kunci juga memperkuat pesan teologis Surah Al-Kahfi.
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang meyakini bahwa Iblis atau kelompoknya adalah sekutu Allah. Beliau menjelaskan bahwa makna ‘Aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan’ adalah untuk menegaskan bahwa para penyesat ini tidak berhak mendapat bagian sedikit pun dalam urusan penciptaan, karena mereka tidak pernah hadir di awal. Oleh karena itu, bagi Allah, mengambil mereka sebagai ‘penolong’ adalah mustahil karena mereka adalah musuh yang lemah dan terlaknat, tidak memiliki hak apa pun atas kekuasaan-Nya.
Imam Ath-Thabari menyoroti bahwa ayat ini adalah penegasan kepemilikan mutlak Allah atas segala sesuatu, dan bahwa tidak ada satu pun makhluk pun yang memiliki otoritas mandiri. Baik langit, bumi, maupun entitas spiritual seperti jin, semuanya diciptakan tanpa campur tangan mereka. Ini adalah bukti bahwa segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan yang mutlak, dan oleh karena itu, Iblis dan golongannya tidak layak disembah atau dijadikan mitra.
Dalam bahasa Arab, ‘adhud berarti lengan bagian atas. Metafora ini melambangkan kekuatan utama dan dukungan yang substansial. Ketika seseorang menjadi ‘adhud bagi yang lain, ia memberikan kekuatan vital yang tanpanya pihak pertama akan melemah. Dengan menggunakan kata ini, Al-Qur'an secara dramatis menolak gagasan bahwa Allah membutuhkan dukungan fisik atau spiritual dari Iblis atau siapa pun. Penolakan ini menegaskan bahwa Allah adalah Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri), yang tidak bergantung pada makhluk-Nya.
Ayat 51 datang setelah Allah menceritakan penolakan Iblis untuk sujud kepada Adam, yang menyebabkan Iblis terusir dan bersumpah menyesatkan manusia. Ayat ini berfungsi sebagai justifikasi ilahi atas pemecatan Iblis. Pemecatan itu sah karena Iblis hanyalah ciptaan yang tidak memiliki klaim atas kekuasaan atau pengetahuan yang melampaui batasnya. Dengan demikian, penyesatan Iblis adalah tipu daya belaka, bukan pertempuran setara antara dua kekuatan.
Iblis menolak sujud karena kesombongan (kibru) yang berasal dari anggapannya bahwa api lebih mulia daripada tanah. Ayat 51 membatalkan sumber kesombongan ini. Bagaimana Iblis bisa sombong atas elemen penciptaannya jika ia bahkan tidak menyaksikan proses penciptaan dirinya sendiri? Kesombongan Iblis adalah kesombongan yang didasarkan pada ketidaktahuan (jahiliyyah), yang semakin menunjukkan bahwa mengambilnya sebagai penolong adalah tindakan yang sangat bodoh dan berbahaya.
Penggunaan negasi dalam ayat ini sangat absolut: "مَا أَشْهَدْتُهُمْ" (Aku tidak menghadirkan mereka) dan "وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ" (Dan Aku tidak mengambil). Bentuk negasi yang tegas ini memastikan bahwa tidak ada ruang interpretasi yang membolehkan adanya kemitraan atau partisipasi makhluk dalam urusan ilahi, baik di masa lalu (penciptaan) maupun di masa kini (pemerintahan kosmos).
Beberapa ulama menggunakan analogi kekuasaan di dunia: Seorang Raja yang absolut tidak akan mengambil penasihat dari kalangan pengkhianat atau pemberontak yang jelas-jelas berniat merusak kerajaannya. Apalagi Allah, Raja di atas segala raja. Mengambil Iblis, sang penyesat abadi, sebagai penolong adalah hal yang mustahil bagi Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak.
Ayat ini memberikan pemahaman yang jelas tentang status dan batasan alam jin. Mereka hidup di dimensi gaib, tetapi bukan berarti mereka memiliki pengetahuan gaib (ilmu ghaib). Pengetahuan gaib mutlak adalah milik Allah semata. Keterbatasan mereka sebagai ciptaan yang bahkan tidak mengetahui asal usul penciptaannya sendiri harus menjadi pegangan bagi manusia agar tidak tertipu oleh tipu daya mereka yang mengklaim kekuatan atau pengetahuan khusus.
Dalam bagian akhir Surah Al-Kahfi, kisah Dzulqarnain menunjukkan seorang pemimpin yang diberikan kekuasaan besar. Meskipun demikian, ia selalu menyandarkan kekuatannya pada Allah dan mengakui bahwa segala daya adalah milik Tuhannya. Ayat 51 berfungsi sebagai kontras: Iblis adalah makhluk yang menolak kekuasaan Allah dan gagal mengakui asal usulnya, sementara Dzulqarnain adalah contoh pemimpin yang saleh dan mengakui Ke-Mahakuasaan Allah.
Ayat 51 merupakan manifestasi nyata dari beberapa Asmaul Husna, terutama: Al-Awwal (Yang Maha Awal), yang menegaskan bahwa Allah ada sebelum segala sesuatu; Al-Khaliq (Sang Pencipta), yang menegaskan ketiadaan sekutu dalam penciptaan; dan Al-Hakam (Yang Maha Bijaksana), yang tidak akan pernah mengambil penyesat sebagai sekutu atau penolong dalam mengatur alam semesta yang telah ditetapkan dengan sempurna.
Ayat 51 Al-Kahfi bukan sekadar pelajaran teologis; ia membawa implikasi praktis yang mendalam bagi cara seorang mukmin menjalani hidup, memilih teman, dan menentukan sumber otoritas spiritual mereka.
Implikasi utama ayat ini adalah pembersihan akidah dari segala bentuk takhayul dan syirik kecil maupun besar. Jika Iblis dan golongannya adalah ciptaan yang tidak berdaya, memohon kepada mereka untuk kesembuhan, kekayaan, atau perlindungan adalah tindakan yang sia-sia dan bertentangan dengan tauhid. Mukmin harus sepenuhnya bergantung pada Allah yang Maha Kuasa dan tidak perlu takut pada ancaman dari makhluk yang terkekang.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi mereka yang mencari wali (pelindung) di kalangan Iblis. Dalam konteks ayat sebelumnya (Al-Kahfi 50), disebutkan bahwa Iblis adalah dari golongan jin dan durhaka terhadap perintah Tuhannya. Manusia diingatkan, "Patutkah kamu mengambil dia dan keturunan-keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagimu?" Ayat 51 memperkuat bahwa permusuhan Iblis adalah faktual, dan Allah sendiri tidak pernah menganggapnya sebagai sekutu.
Ayat 51 mengajarkan kerendahan hati. Manusia, seperti jin dan Iblis, tidak menyaksikan penciptaan diri mereka sendiri. Ini adalah pengingat bahwa pengetahuan kita terbatas, dan kita harus tunduk pada petunjuk Ilahi. Manusia yang mencoba menguasai atau mengendalikan alam gaib tanpa petunjuk yang benar sering kali jatuh ke dalam perangkap Iblis, karena mereka melupakan batasan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Jika Allah menolak mengambil ‘orang-orang yang menyesatkan’ sebagai penolong, maka mukmin juga harus menerapkan prinsip yang sama dalam kehidupan sosialnya. Kita harus berhati-hati dalam memilih teman, penasihat, atau mitra yang secara moral menyesatkan. Bersandar pada orang yang fasik, zalim, atau munafik adalah bentuk kecil dari mengambil Al-Mudhillin sebagai penolong, yang akan membawa kita jauh dari jalan kebenaran.
Ayat ini memerintahkan sikap yang tegas terhadap kekuatan yang menyesatkan. Iblis harus diperlakukan sebagai musuh (فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا). Tidak boleh ada kompromi, persekutuan, atau ketakutan yang berlebihan terhadapnya. Kekuatan Iblis terletak pada bisikan dan janji palsu, bukan pada otoritas fisik atau penciptaan. Mengingat ayat 51, kekuatan Iblis hanyalah ilusi semata.
Secara intelektual, ayat ini menantang pandangan filosofis atau ilmiah yang mengklaim pengetahuan absolut tentang asal-usul alam semesta tanpa merujuk pada kehendak Ilahi. Karena tidak ada makhluk yang menjadi saksi, setiap teori harus diakui sebagai interpretasi terbatas. Ayat ini mengarahkan ilmuwan dan pemikir agar selalu menyadari bahwa di balik penemuan mereka, ada kehendak Yang Maha Pencipta yang melampaui kemampuan kita untuk menyaksikannya secara utuh.
Ketidakmampuan Iblis untuk bersaksi atas penciptaan dirinya sendiri adalah akar dari ketidakpastian spiritual dan moralnya. Ini menjelaskan mengapa ia begitu mudah menentang perintah Allah. Ia tidak memiliki landasan pengetahuan yang kuat tentang kekuasaan mutlak Tuhannya. Manusia harus mengambil pelajaran dari hal ini: fondasi iman yang kuat harus didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang Allah, bukan pada bisikan makhluk yang tidak berdasar.
Meskipun Allah tidak mengambil Iblis sebagai penolong, Iblis tetap diizinkan hidup dan menyesatkan sebagai bagian dari ujian bagi manusia. Kebebasan memilih (ikhtiar) diberikan kepada manusia. Ayat 51 berfungsi sebagai pedoman: dalam memilih, ingatlah bahwa Allah, Yang Maha Benar, tidak memilih penyesat. Pilihan kita untuk mengikuti petunjuk Allah atau mengikuti penyesat adalah pilihan antara kebenaran dan kesesatan yang telah ditolak oleh Allah sendiri.
Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, yang mencakup masa lalu, kini, dan masa depan. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Ketika Allah menyatakan bahwa Iblis dan jin tidak bersaksi, itu adalah fakta yang absolut. Penegasan ini membimbing mukmin untuk mencari pengetahuan dari sumber yang absolut (Al-Qur'an dan Sunnah) dan menjauhi sumber pengetahuan yang relatif dan menyesatkan, yang sering diklaim oleh para dukun atau peramal yang bersekutu dengan jin.
Secara sosial, mengambil Al-Mudhillin sebagai pelindung atau panutan akan mengakibatkan kehancuran masyarakat. Jika individu atau komunitas mengadopsi nilai-nilai yang ditanamkan oleh kesesatan (seperti kesombongan, ketamakan, dan pengingkaran), mereka akan menuai kehancuran, sebagaimana pemilik dua kebun dalam kisah sebelumnya. Ayat 51 adalah filter sosial yang menyaring siapa yang harus dihormati dan siapa yang harus dijauhi.
Ayat 51 Surah Al-Kahfi adalah salah satu ayat terpenting dalam memagari akidah Islam dari penyimpangan spiritual. Pesan intinya adalah penegasan kekuasaan tunggal Allah (Tauhid Al-Qayyumiyyah) dan peringatan eksplisit terhadap mengambil musuh Allah sebagai penolong. Kehidupan seorang mukmin harus dibangun di atas pemahaman bahwa Iblis dan golongannya adalah makhluk yang lemah, tidak berdasar, dan hanya memiliki daya pikat ilusi.
Poin pertama dan terpenting yang harus diambil dari ayat ini adalah pengulangan dan penegasan bahwa Allah Maha Kuasa, Maha Tahu, dan tidak membutuhkan bantuan apa pun. Penciptaan langit dan bumi, yang merupakan keajaiban terbesar, dilakukan tanpa saksi dari makhluk. Fakta ini harus mengakar kuat dalam hati setiap mukmin, menghilangkan segala keraguan tentang kemampuan Allah untuk melindungi dan mencukupi hamba-Nya.
Iblis dan jin tidak hanya durhaka, tetapi mereka juga fundamentalnya lemah karena mereka tidak memiliki pengetahuan atau kontrol atas asal-usul mereka sendiri. Jika mereka lemah dalam memahami diri mereka, mereka pasti lebih lemah dalam mengendalikan alam semesta atau menolong manusia. Kesimpulan ini menghilangkan aura misteri dan kekuatan yang sering dilekatkan pada entitas gaib oleh budaya atau takhayul.
Ayat 51 secara spiritual menggarisbawahi bahwa konsekuensi dari mengambil penyesat (Al-Mudhillin) sebagai pelindung adalah kehancuran yang pasti. Ini adalah pengingat bahwa kesetiaan harus mutlak kepada Allah. Mencari pertolongan dari Iblis adalah seperti meminta bantuan dari seorang pengkhianat yang telah dipecat—ia hanya akan membawa Anda pada kejatuhan yang sama.
Kisah-kisah dalam Al-Kahfi—kekuatan harta, ilmu, dan kekuasaan—adalah ujian-ujian duniawi. Ayat 51 mengingatkan bahwa sumber utama yang menggagalkan manusia dalam semua ujian ini adalah Iblis. Untuk berhasil melewati ujian duniawi, kita harus secara tegas menolak Iblis sebagai sumber otoritas atau pertolongan, dan sebaliknya, menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong.
Karena kita tidak bersaksi atas penciptaan, kita harus berserah diri sepenuhnya pada ajaran yang diturunkan oleh Yang Maha Menciptakan. Ketiadaan kesaksian kita harus membuahkan kerendahan hati (tawadhu) dan kepatuhan. Sebaliknya, Iblis yang juga tidak bersaksi justru membuahkan kesombongan (takabbur). Ini adalah pelajaran moral yang fundamental.
Ayat ini berfungsi sebagai pernyataan perang spiritual yang abadi antara Allah dan para penyesat. Meskipun Iblis diizinkan untuk menggoda, ia tidak pernah menjadi sekutu ilahi. Mukmin harus memiliki pemahaman yang jelas bahwa tidak ada netralitas; setiap pilihan yang diambil adalah antara bersekutu dengan Allah (melalui ketaatan) atau bersekutu dengan penyesat (melalui pengingkaran).
Penempatan ayat ini di tengah Surah Al-Kahfi, yang sering dibaca untuk perlindungan dari fitnah Dajjal, sangat strategis. Dajjal adalah puncak dari segala fitnah dan penyesatan di akhir zaman. Ayat 51 adalah benteng teologis yang mengajarkan bahwa Dajjal, Iblis, dan segala bentuk kekuatan sesat lainnya adalah makhluk ciptaan yang lemah, dan perlindungan sejati hanya dari Allah, Yang tidak memiliki sekutu yang menyesatkan.
Pernyataan Allah, "Aku tidak mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong," menunjukkan kesempurnaan tata kelola (Tadbir) Allah. Tidak ada cacat, tidak ada kesalahan, dan tidak ada kelemahan dalam keputusan-Nya. Pengaturan alam semesta ini dijalankan berdasarkan Kebijaksanaan dan Kekuatan Mutlak, tanpa memerlukan masukan atau dukungan dari makhluk yang cacat (seperti Iblis).
Dalam konteks perjuangan internal (jihad an-nafs), ayat 51 adalah penguat spiritual. Ketika bisikan Iblis datang, seorang mukmin dapat mengingat bahwa bisikan itu berasal dari entitas yang bahkan tidak mengetahui asal usulnya sendiri dan yang telah ditolak sebagai penolong oleh Allah. Bisikan tersebut hanyalah ilusi yang harus diabaikan, bukan otoritas yang harus ditaati.
Pelajaran akhir dari Al-Kahfi 51 adalah ajakan abadi untuk kembali kepada Allah, Sang Pencipta Tunggal. Kepada siapa lagi kita akan berlindung, jika tidak kepada Yang menciptakan segala sesuatu tanpa bantuan, tanpa saksi, dan Yang menolak penyesat sebagai sekutu? Keselamatan, ketenangan, dan petunjuk sejati hanya ada pada dzat Yang memiliki kekuasaan mutlak atas langit dan bumi, dan atas diri kita sendiri.
Pesan tegas dari Ayat 51 Surah Al-Kahfi ini adalah landasan teguh bagi iman yang murni: Tiada sekutu bagi Allah dalam penciptaan, tiada sekutu bagi Allah dalam kekuasaan, dan tiada penolong yang sejati kecuali Allah SWT.
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan dan keagungan Ayat 51, penting untuk mengulangi dan memperluas pemahaman tentang siapa Iblis dan jin, serta mengapa pengingkaran mereka terhadap penciptaan mereka sendiri menjadi titik lemah terbesar mereka. Ayat ini secara teologis menutup pintu bagi mitos dan legenda yang terlalu memuliakan kekuatan jin. Keterbatasan mereka adalah bukti nyata keesaan Allah.
Jin diciptakan dari nyala api (مِنْ نَّارِ السَّمُوْمِ), suatu entitas yang berbeda dari manusia (tanah) dan malaikat (cahaya). Namun, perbedaan material ini tidak memberikan mereka keunggulan spiritual, apalagi otoritas atas Allah. Ayat 51 menegaskan bahwa bahkan proses pembentukan api dan entitas mereka adalah urusan eksklusif Allah, tanpa pengawasan mereka. Mereka tidak dapat bersaksi, membuktikan bahwa meskipun mereka ada di dimensi gaib, mereka tetap tunduk pada batasan waktu dan ruang dalam hal asal usul.
Iblis, sebagai induk dari Al-Mudhillin, adalah makhluk yang paling arogan meskipun paling tidak berdasar. Kesombongannya muncul dari perbandingan material yang dangkal. Ayat 51 secara efektif menghapus validitas perbandingan itu. Bagaimana mungkin ia sombong berdasarkan komposisi material, jika ia tidak menyaksikan komposisi itu dibentuk? Ini adalah pengingat bahwa semua argumentasi yang dibangun di luar tauhid adalah argumentasi yang lemah dan rapuh.
Ayat ini membatasi peran Iblis hanya sebagai penguji. Iblis tidak memiliki kemampuan untuk memaksa manusia melakukan kejahatan, ia hanya bisa membisikkan. Kekuasaan Iblis berakhir pada godaan. Ia tidak memiliki kekuatan penciptaan, tidak memiliki otoritas atas hukum alam, dan tidak bisa menjamin pertolongan. Mengambilnya sebagai penolong adalah mencari bantuan dari seorang penipu ulung yang telah kehilangan semua kekuasaan nyata.
Penolakan Allah terhadap Iblis sebagai penolong adalah penolakan terhadap pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesesatan. Allah hanya bersekutu dengan Hikmah, Kebenaran, dan Keadilan. Manusia yang mencari petunjuk dari Iblis sebenarnya sedang mencari pembenaran untuk mengikuti hawa nafsu mereka sendiri, sebuah jalan yang secara tegas ditolak oleh Ayat 51.
Dalam ilmu kalam (teologi Islam), konsep syahadah (kesaksian) terkait erat dengan pengetahuan yang pasti dan mutlak. Dengan menafikan kesaksian Iblis, Al-Qur'an menafikan pula pengetahuan mutlak Iblis. Seluruh pengetahuannya hanyalah dugaan, kecuali yang diizinkan oleh Allah. Ini adalah fondasi mengapa klaim ilmu ghaib oleh para jin atau pengikutnya selalu menyesatkan.
Ayat 51 adalah deklarasi keesaan Allah yang tak terbagi. Tidak ada bagian dalam penciptaan yang dibagi, tidak ada kekuasaan yang dibagi, dan tidak ada kebutuhan untuk sekutu yang menyesatkan. Ini adalah inti dari Laa ilaaha illaLlah (Tiada Tuhan selain Allah), yang diperkuat melalui penegasan negatif yang kuat tentang peran makhluk.
Ayat ini secara efektif mengkritik pandangan dualistik (seperti Zoroastrianisme atau Marcionisme) yang percaya pada dua kekuatan yang setara: kekuatan baik dan kekuatan jahat. Ayat 51 menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan absolut: Allah. Iblis hanyalah makhluk yang diizinkan beroperasi dalam lingkup yang sangat terbatas, bukan kekuatan setara yang menantang Allah dalam penciptaan.
Keputusan Allah untuk tidak mengambil penyesat sebagai penolong adalah mutlak dan tidak dapat dicabut. Ini menunjukkan bahwa jalan kesesatan tidak akan pernah menghasilkan kebaikan atau dukungan dari Allah. Manusia harus yakin bahwa jika mereka memilih kebenaran, mereka akan didukung oleh Kekuatan Mutlak; jika mereka memilih penyesatan (bersekutu dengan Al-Mudhillin), mereka memilih kekosongan dan kehancuran.
Pemahaman mendalam tentang ayat ini harus tercermin dalam doa dan permintaan perlindungan (isti’adzah). Ketika seorang mukmin memohon perlindungan dari setan yang terkutuk (أعوذ بالله من الشيطان الرجيم), ia memohon perlindungan dari entitas yang lemah dan terputus dari sokongan ilahi. Doa ini adalah pengakuan atas kebensaan Ayat 51.
Peringatan ini, pada akhirnya, adalah manifestasi kasih sayang Allah (Rahmah) kepada hamba-Nya. Allah tidak ingin manusia tertipu oleh makhluk yang lemah dan tersesat. Dengan mengungkapkan status inferior Iblis, Allah memberikan peta jalan yang jelas bagi manusia untuk menghindari perangkap spiritual dan memastikan keselamatan mereka di dunia dan akhirat.