Kisah perjalanan Nabi Musa ‘alaihissalam bersama seorang hamba Allah yang memiliki ilmu khusus, yang dikenal sebagai Khidr, merupakan salah satu narasi paling kaya hikmah dalam Al-Qur’an, termaktub dalam Surah Al Kahfi. Kisah ini mengajarkan bahwa pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang nabi sekalipun, terbatas di hadapan kebijaksanaan dan perencanaan Ilahi yang menyeluruh. Inti dari ujian ini adalah kesabaran (sabr), sebuah kualitas yang terus menerus diuji sepanjang episode perjalanan mereka.
Ayat 75 adalah titik penting dalam rangkaian dialog tersebut. Ayat ini menandai teguran kedua yang Khidr sampaikan kepada Musa, tepat setelah insiden yang paling mengejutkan: pembunuhan seorang anak muda yang tidak bersalah. Teguran ini bukan hanya pengulangan peringatan, melainkan penegasan tentang batasan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memahami kedalaman makna dari Ayat 75, kita harus menelaah konteks, struktur linguistik, dan implikasi teologisnya secara menyeluruh.
Setiap kata dalam ayat pendek ini membawa beban makna yang signifikan, terutama dalam konteks dialog yang intens antara guru dan murid ini:
Ayat 75 diucapkan Khidr setelah Musa menyaksikan perbuatan kedua Khidr yang secara lahiriah tampak keji dan bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Musa. Kejadian pertama adalah melubangi perahu milik orang miskin, yang memicu Ayat 72. Kejadian kedua, yang memicu Ayat 75, adalah pembunuhan seorang anak muda.
Ketika Khidr membunuh anak tersebut, Nabi Musa bereaksi dengan sangat keras. Reaksi ini muncul dari fitrah kenabian Musa sebagai pembawa syariat yang melindungi nyawa. Bagi Musa, membunuh jiwa yang tidak berdosa adalah kejahatan besar yang tidak dapat dibenarkan tanpa sebab yang jelas dan lahiriah.
Dalam pandangan Musa, tindakannya Khidr melanggar prinsip dasar keadilan. Khidr telah melubangi perahu (harta benda) dan kini merenggut nyawa (darah). Reaksi Musa termaktub dalam Ayat 74:
“Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu kemungkaran yang besar.’”
Perbedaan antara teguran pertama (perahu) dan kedua (pembunuhan) adalah tingkat keparahan pelanggaran syariah. Melubangi perahu adalah merusak harta, tetapi membunuh adalah dosa yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, reaksi Musa dalam Ayat 74 menggunakan frasa "kemungkaran yang besar" (شيئا نكرا - syai'an nukrā), menunjukkan betapa terkejutnya beliau.
Menghadapi keterkejutan dan tuduhan Musa, Khidr tidak membela diri dengan menjelaskan motifnya saat itu juga. Sebaliknya, ia langsung merujuk kembali pada perjanjian mereka. Inilah fungsi utama Ayat 75. Khidr menggunakan teguran retoris "Bukankah sudah kukatakan kepadamu?" untuk mengingatkan Musa bahwa keterbatasan sabar dan pemahaman Musa sudah diprediksi sejak awal pertemuan mereka.
Khidr seolah berkata: “Kamu terkejut karena kamu menilai dengan standar syariat yang kamu pegang, padahal aku sudah mengingatkanmu bahwa syarat untuk menemaniku adalah meninggalkan penilaian lahiriah itu, sebab tindakanku adalah manifestasi dari ilmu yang berbeda.”
Sebagaimana disebutkan, partikel لَن (Lan) memiliki bobot makna yang sangat besar dalam Ayat 75. Memahami ‘Lan Tastatī’a’ (kamu sekali-kali tidak akan sanggup) adalah kunci untuk membuka makna teologis ayat ini.
Dalam bahasa Arab, jika Khidr hanya ingin mengatakan Musa tidak akan sabar, dia bisa menggunakan 'Laa Tastatī'u' (tidak sanggup). Namun, penggunaan ‘Lan’ menambahkan unsur penegasan yang kuat (ta'kid), menunjukkan bahwa ketidakmampuan Musa untuk bersabar adalah kepastian yang mutlak, bukan sekadar kemungkinan.
Para ahli tata bahasa (Nahw) sepakat bahwa ‘Lan’ memberikan penafian untuk masa depan. Dalam konteks ini, Khidr memastikan bahwa di masa depan (selama perjalanan berlangsung), Musa tidak akan mampu menahan diri dari intervensi. Ini bukan hanya teguran, melainkan pernyataan profetik bahwa Musa, dengan sifat kenabian dan penegakan hukumnya, secara fundamental tidak cocok untuk menyaksikan ilmu batin Khidr tanpa protes.
Ketidakmampuan bersabar yang dimaksud Khidr tidak bersifat umum. Musa adalah nabi yang sangat sabar dalam menghadapi Bani Israil. Kesabaran yang dipertanyakan di sini adalah kesabaran spesifik, yaitu: kesabaran untuk menahan diri dari penilaian syariat lahiriah terhadap tindakan yang didasari oleh ilmu gaib (Ladunni).
Ini membedakan jenis kesabaran yang diminta Khidr dari kesabaran yang biasa dipraktikkan oleh para nabi. Musa mampu sabar menghadapi penderitaan fisik atau ejekan, tetapi ia tidak mampu sabar melihat ketidakadilan yang tampak, karena tugas kenabiannya melarangnya berdiam diri.
Penting untuk melihat bagaimana Khidr menggunakan ‘Lan’ ini pertama kali dalam Ayat 67 saat mereka baru bertemu:
“Dia (Khidr) berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’” (Q.S. Al Kahfi: 67)
Dalam Ayat 75, Khidr hanya mengulangi dan menegaskan kembali perkataan awal tersebut, seolah menegaskan bahwa prediksinya (yang didasari ilmu Ladunni) adalah benar dan tak terelakkan. Musa, sebagai manusia, terikat pada keterbatasan ini.
Para mufasir klasik memberikan penekanan berbeda terhadap makna implisit dari Ayat 75, berfokus pada sifat lupa (nasiyan) Musa dan sifat ilmu Khidr.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa meskipun Musa seorang nabi, ia tidak bisa menahan diri karena tugasnya sebagai pembawa syariat. Reaksi Musa adalah reaksi yang benar dari sudut pandang syariat (hukum yang terlihat). Ketika Musa melihat pembunuhan, insting kenabiannya untuk mencegah kemungkaran langsung aktif, melupakan janji yang didasarkan pada ilmu gaib.
Ayat 75 berfungsi sebagai peringatan bahwa tugas kenabian Musa dan ilmu batin Khidr tidak dapat berjalan beriringan. Khidr mengetahui akibat dari tindakan Musa (protes) dan oleh karena itu, ia harus terus mengingatkan Musa tentang batas perjanjian.
Al Qurtubi fokus pada bagaimana Khidr menggunakan bahasa yang sopan namun tegas. Meskipun Khidr lebih unggul dalam jenis ilmu ini, ia tidak merendahkan Musa. Khidr hanya mengingatkan Musa bahwa keterbatasan kesabaran adalah bagian integral dari sifat manusia ketika dihadapkan pada misteri takdir yang belum terungkap.
Qurtubi juga menjelaskan bahwa insiden pembunuhan anak ini adalah ujian yang jauh lebih berat daripada insiden perahu. Protes Musa pada insiden kedua menunjukkan bahwa ia telah mencapai batas toleransi moral tertinggi, batas di mana syariat lahiriah menuntut tindakan, meskipun Khidr telah melarangnya bersuara.
Al-Sya'rawi menyoroti bahwa 'sabran' (kesabaran) di sini adalah kesabaran untuk tidak menilai. Ini adalah kesabaran intelektual dan spiritual, bukan kesabaran fisik. Khidr menunjukkan bahwa Musa gagal dalam 'sabr' jenis ini karena Khidr tahu Musa tidak bisa mematikan mesin syariat (penegakan hukum) yang ada dalam dirinya. Ayat 75 adalah penegasan bahwa kegagalan Musa bukan karena kelemahan moral, melainkan karena tabiat kenabiannya.
Secara umum, ulama sepakat bahwa Ayat 75 menunjukkan ilmu Khidr (ilmu Ladunni, yang datang langsung dari sisi Allah) beroperasi pada dimensi yang berbeda dari ilmu syariat yang dibawa oleh Musa. Ilmu Khidr melihat akhir dari segala sesuatu (konsekuensi jangka panjang), sementara ilmu Musa beroperasi pada apa yang terlihat dan harus ditegakkan saat ini.
Ketika Khidr mengucapkan Ayat 75, ia tidak menghakimi protes Musa; ia hanya menyatakan fakta tentang batasan kognitif manusia di hadapan ilmu takdir Ilahi yang telah ditentukan dan harus dilaksanakan tanpa pertanyaan.
Untuk memahami mengapa Musa gagal bersabar dalam konteks Ayat 75, kita harus mengingat alasan tersembunyi (ta’wil) Khidr, yang diungkapkan pada akhir kisah. Pembunuhan anak itu bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan tindakan pencegahan takdir.
Khidr menjelaskan bahwa anak itu, jika dibiarkan hidup, akan menjadi penjahat yang kejam dan menyebabkan orang tuanya (yang beriman) menderita kekufuran dan kesesatan. Khidr membunuhnya untuk menyelamatkan akidah dan kebahagiaan orang tuanya, dan Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih shaleh (Q.S. Al Kahfi: 81).
Musa, melihat kejadian itu dengan mata syariat, hanya melihat pembunuhan. Khidr, melihat dengan mata takdir, melihat pencegahan kekufuran dan penderitaan di masa depan.
Ayat 75 menegaskan kesenjangan ini. Musa hanya memiliki kapasitas untuk bersabar jika tindakannya Khidr tidak melanggar syariat secara terbuka. Namun, karena Khidr bertindak berdasarkan takdir, yang melampaui logika syariat lahiriah, kesabaran Musa pasti runtuh. Khidr mengingatkan, dengan kata 'Lan' yang mutlak, bahwa kesabaran tersebut adalah mustahil.
Jika Khidr tidak mengucapkan Ayat 75, Musa mungkin berpikir bahwa ia akan berhasil sabar di masa depan. Namun, penggunaan ‘Lan’ mengakhiri harapan itu. Ini mengajarkan kita bahwa takdir adalah sebuah dimensi waktu yang luas, di mana apa yang terlihat jahat hari ini bisa jadi merupakan kebaikan mutlak yang melindungi dari kejahatan yang lebih besar di masa depan.
Kisah Musa dan Khidr, yang puncaknya diulang dalam Ayat 75, adalah pelajaran utama tentang kerendahan hati (humilitas) di hadapan pengetahuan Ilahi. Musa, nabi terhebat di zamannya, melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Namun, ia menemukan bahwa ada jenis ilmu yang di luar jangkauan para nabi sekalipun, ilmu yang hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Ayat 75 adalah pengingat keras bahwa apa yang kita ketahui hanyalah setetes air di lautan ilmu Allah. Ketika kita dihadapkan pada takdir yang tampak tidak adil atau menyakitkan, kita diperintahkan untuk menunjukkan kesabaran jenis ini—kesabaran untuk menerima bahwa ada hikmah yang tersembunyi, meskipun kita tidak dapat melihatnya.
Salah satu kontribusi terbesar dari Ayat 75 adalah memperjelas perbedaan antara dua ranah operasi Ilahi:
Musa gagal bersabar (Ayat 75) karena ia tidak bisa menanggalkan kacamata syariatnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang manusia tidak boleh bertindak berdasarkan ilmu batin tanpa izin khusus dari Allah, karena tugas utama manusia adalah menegakkan syariat yang terlihat.
Kesabaran yang dituntut oleh Khidr adalah 'Sabr Al-Muṭlaq,' kesabaran absolut, yang berarti tidak hanya menahan diri dari protes lisan, tetapi juga menahan keraguan dan penilaian di dalam hati. Musa berhasil menahan protes lisan untuk waktu yang singkat (antara kejadian pertama dan kedua), tetapi ia gagal menahan protes hati ketika ia melihat pembunuhan. Kegagalan ini, yang dikonfirmasi dalam Ayat 75, menunjukkan sulitnya mencapai tingkat kepasrahan total ini.
Kata 'Sabran' (kesabaran) adalah poros utama dalam dialog Musa dan Khidr, diulang dalam beberapa ayat kunci. Dalam Ayat 75, pengulangan ini berfungsi untuk menekankan bahwa kesabaran bukanlah sekadar menahan amarah, tetapi menahan intervensi kognitif terhadap realitas yang tidak dapat dipahami.
Dalam konteks Ayat 75, Musa diuji dalam tiga tingkatan kesabaran:
Kegagalan Musa, yang diulang dan ditegaskan oleh Khidr dalam Ayat 75, memberikan izin Khidr untuk mengakhiri kemitraan mereka. Namun, sebelum perpisahan itu, Khidr harus memenuhi janjinya: memberikan penjelasan atau 'ta’wil'. Jika Musa berhasil sabar hingga akhir (insiden ketiga), Khidr mungkin tidak akan terikat untuk menjelaskan ta’wil tersebut, karena tujuan utamanya adalah menguji kepasrahan mutlak Musa.
Dengan kata lain, kegagalan Musa (Ayat 75) justru yang membuka pintu bagi kita—para pembaca—untuk memahami misteri di balik tindakan Khidr. Keterbatasan Musa menjadi sumber pengetahuan bagi umat manusia.
Penggunaan ‘Innaka’ (sesungguhnya kamu) setelah pertanyaan retoris 'Alam Aqul' (Bukankah sudah kukatakan?) berfungsi sebagai penekanan ganda. Khidr tidak hanya mengingatkan Musa tentang perkataannya, tetapi juga menekankan bahwa ketidakmampuan sabar itu adalah sifat yang melekat pada Musa dalam kondisi tersebut.
Ini bukan celaan terhadap karakter Musa, melainkan pengakuan terhadap tabiat ilahiah Musa sebagai Nabi Syariat. ‘Innaka’ mengunci status Musa sebagai penegak keadilan segera, yang membuatnya secara kodrati tidak bisa bersabar terhadap tindakan takdir yang menunggu penjelasan di masa depan.
Frasa أَلَمْ أَقُلْ (Alam Aqul)—Bukankah sudah kukatakan?—adalah jantung emosional Ayat 75. Ini adalah teknik komunikasi yang kuat yang digunakan untuk menegaskan fakta yang seharusnya sudah diketahui.
Dengan mengucapkan 'Alam Aqul', Khidr secara efektif menghilangkan alasan apapun yang mungkin digunakan Musa untuk membenarkan protesnya. Musa tidak bisa berdalih lupa atau tidak mengerti, karena Khidr telah menggunakan ‘Lan Tastatī’a’ di awal perjalanan, menegaskan ketidakmampuan mutlak Musa.
Pada teguran pertama (Ayat 72), Khidr menggunakan frasa yang lebih lembut, yaitu ‘Alam Aqul’ saja. Pada teguran kedua (Ayat 75), ia menambahkan penekanan ‘Innaka Lan Tastatī’a Sabran’, menunjukkan peningkatan kepastian dan ketegasan. Ini menunjukkan bahwa keseriusan pelanggaran Musa telah meningkat dari insiden perahu ke insiden pembunuhan.
Musa sebelumnya berjanji, “Janganlah Engkau menghukumku karena kelupaanku” (Ayat 73). Ketika Musa melanggar lagi dalam Ayat 75, Khidr tidak lagi menerima alasan lupa. Khidr menyatakan bahwa ini bukan lagi soal lupa, tetapi soal ketidakmampuan yang telah ditetapkan ('Lan Tastatī’a'). Kelupaan hanya bisa dimaafkan sekali; pengulangan menunjukkan kelemahan mendasar dalam menghadapi misteri takdir.
Pertanyaan retoris 'Alam Aqul' memaksa Musa untuk merefleksikan kembali niat awalnya. Musa bertekad untuk bersabar, tetapi Khidr mengingatkannya bahwa niat baik tidak cukup ketika berhadapan dengan rahasia takdir. Kesadaran ini adalah bagian penting dari proses pembelajaran Musa, yaitu menerima batas-batas kemampuan dirinya.
Dalam konteks spiritual, ‘Alam Aqul’ sering diinterpretasikan sebagai suara hati yang memperingatkan kita ketika kita melanggar janji atau komitmen spiritual kita, terutama komitmen untuk percaya sepenuhnya pada kebijaksanaan Allah, meskipun takdir-Nya tampak gelap atau tidak adil.
Khidr, sebagai guru yang ditunjuk Ilahi, menggunakan pendekatan pedagogis yang unik. Metode pengajarannya dalam konteks Ayat 75 berfokus pada pembatasan dan penegasan awal yang berulang-ulang.
Sejak awal, Khidr menetapkan batas: “Kamu tidak akan sanggup sabar.” Penetapan batas ini memastikan bahwa setiap pelanggaran akan menjadi pelajaran yang sangat mendalam. Teguran dalam Ayat 75 bukan hukuman, melainkan konfirmasi. Khidr tidak marah; ia hanya menegaskan bahwa proses belajar Musa harus berakhir karena syarat fundamentalnya telah dilanggar dua kali.
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa dalam perjalanan menuju ilmu sejati atau makrifat, terkadang seorang murid harus dihadapkan pada kegagalan yang sudah diprediksi untuk benar-benar memahami kedalaman keterbatasan diri mereka.
Teguran ‘Alam Aqul’ adalah alat pengajaran yang efektif. Daripada membiarkan Musa terus menebak dan protes, Khidr menghentikan prosesnya dan memaksa Musa mengakui kebenaran prediksinya. Ini adalah momen kejujuran mutlak antara guru dan murid.
Musa, setelah teguran kedua (Ayat 75), menyadari bahwa ia benar-benar tidak mampu. Reaksi Musa setelah ayat ini adalah memohon satu kesempatan terakhir, dengan janji, “Jika aku bertanya kepadamu lagi sesudah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur (alasan) kepadaku.” (Ayat 76). Ini menunjukkan bahwa teguran di Ayat 75 berhasil menyadarkan Musa sepenuhnya.
Khidr tahu bahwa ilmu yang ia pegang (ilmu takdir) adalah amanah yang sangat berat dan hanya boleh digunakan dalam kondisi tertentu. Protes Musa menunjukkan bahwa Musa tidak dapat menjadi penerima amanah ilmu takdir ini. Khidr harus mengakhiri perjalanan (yang dipicu oleh teguran di Ayat 75) demi melindungi ilmu itu sendiri dan demi kebaikan Musa.
Konflik batin Musa, yang diekspresikan dalam teguran Ayat 75, adalah konflik antara identitasnya sebagai utusan (Rasul) dan keinginannya sebagai pencari ilmu (Talib al-'Ilm).
Sebagai Nabi, Musa memiliki kewajiban untuk:
Ketika Khidr membunuh anak itu, kewajiban Musa untuk melakukan Nahi Munkar langsung aktif. Ia tidak bisa diam. Jika Musa memilih untuk sabar dan diam, ia akan gagal dalam tugas kenabiannya yang utama. Inilah dilema yang membuat Khidr menegaskan bahwa Musa "sekali-kali tidak akan sanggup sabar" (Lan Tastati’a).
Musa datang sebagai murid, berjanji untuk mengikuti tanpa bertanya. Namun, identitasnya sebagai nabi terlalu kuat untuk dikesampingkan. Khidr, melalui Ayat 75, menyimpulkan bahwa meskipun Musa datang dengan kerendahan hati untuk belajar, ia tidak dapat melepaskan prinsip-prinsip hukum yang telah ditanamkan dalam jiwanya sebagai pembawa risalah.
Ini mengajarkan kita bahwa dalam pencarian ilmu spiritual yang lebih tinggi, seringkali prasyaratnya adalah melepaskan paradigma yang sudah mapan, sebuah hal yang sangat sulit dilakukan, terutama bagi mereka yang memiliki tanggung jawab besar terhadap publik.
Representasi visual ini menunjukkan dua ranah pengetahuan yang bertemu (Syariat dan Hikmah). Titik merah di tengah menunjukkan titik temu yang membutuhkan kesabaran mutlak, tempat di mana Musa gagal (Ayat 75).
Ayat 75 bukanlah sekadar pengulangan, tetapi penanda kemajuan narasi. Khidr bisa saja berpisah dengan Musa setelah insiden pertama, tetapi ia memberikan kesempatan kedua. Kegagalan kedua ini, yang ditegaskan Khidr, membawa narasi ke titik perpisahan definitif.
Jika kita melihat struktur kisah ini, ada pola yang jelas: Awal (Perjanjian) - Pelanggaran 1 - Teguran 1 (Ayat 72) - Pelanggaran 2 - Teguran 2 (Ayat 75) - Pelanggaran 3 - Perpisahan (Ayat 78) - Penjelasan (Ta’wil).
Teguran di Ayat 75 berfungsi sebagai peringatan terakhir yang paling kuat. Jika teguran pertama masih memuat unsur pengampunan ("Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku"), maka teguran kedua telah menghilangkan unsur pemaafan itu. Khidr mengingatkan Musa bahwa janji (syarat) adalah mutlak, dan kegagalan dalam memenuhinya akan membawa konsekuensi perpisahan.
Tujuan utama perjalanan Musa adalah mendapatkan ilmu. Namun, ilmu yang didapatkannya tidak datang melalui cara yang ia harapkan, yaitu dengan bertanya dan berdiskusi, melainkan melalui penahanan diri dan kepasrahan. Ayat 75 menunjukkan kegagalan Musa dalam kepasrahan ini, namun ironisnya, kegagalan inilah yang memungkinkan ia dan umatnya menerima penjelasan dari Khidr.
Teguran Pertama (Ayat 72): “Bukankah aku telah katakan: sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku?” (Hanya menggunakan ‘Lan Tastati’a’).
Teguran Kedua (Ayat 75): “Dia (Khidr) berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku?'” (Menambahkan ‘Lak’ dan mengulang dengan lebih tegas).
Perbedaan kecil dalam frasa ini mencerminkan peningkatan keparahan. Khidr menunjukkan bahwa ia telah berupaya keras untuk membuat Musa mengerti, tetapi batas manusia (meskipun nabi) tidak dapat melampaui batasan takdir yang diwajibkan untuk dipertanyakan ketika ia melanggar hukum Ilahi yang tampak.
Mari kita ulas lagi partikel penafian yang mutlak, 'Lan'. Jika Allah ingin menunjukkan kemustahilan yang tidak bersifat abadi, Dia akan menggunakan lafadz lain. Namun, penggunaan 'Lan' oleh Khidr menunjukkan bahwa selama konteks perjalanan itu berlangsung, mustahil bagi Musa untuk berhasil. Ini bukan kekurangan Musa sebagai pribadi, melainkan konflik peran antara kenabian dan kepasrahan total tanpa syarat. Partikel 'Lan' ini mengunci nasib perpisahan mereka, menjadikan Ayat 75 sebagai titik balik yang tak terhindarkan.
Meskipun dialog ini terjadi antara nabi dan hamba pilihan, pelajaran tentang kesabaran dalam Ayat 75 bersifat universal dan relevan bagi setiap orang beriman yang menghadapi ujian takdir.
Ayat 75 mengajarkan kita untuk sabar menerima bahwa sebagian besar kejadian buruk atau membingungkan dalam hidup kita memiliki dimensi tersembunyi (ghayb) yang hanya diketahui Allah. Ketika kita menghadapi kerugian (seperti kehilangan pekerjaan atau musibah), reaksi naluriah adalah bertanya 'mengapa'. Khidr mengajarkan Musa—dan kita—untuk menangguhkan pertanyaan 'mengapa' dan menggantinya dengan 'bagaimana aku bisa sabar?'.
Musa adalah seorang yang cepat menilai berdasarkan apa yang ia lihat (zahir). Ayat 75 menegur kecenderungan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membuat penilaian cepat tentang orang lain atau situasi tanpa mengetahui 'ta’wil' (motif tersembunyi atau konsekuensi jangka panjang) di baliknya. Ayat ini menyerukan introspeksi mendalam sebelum kita memprotes atau menghakimi.
Teguran di Ayat 75 mengingatkan kita bahwa ada batasan di mana manusia harus berhenti mencoba mengontrol atau mengoreksi takdir yang telah ditetapkan Allah. Manusia bertindak sesuai batas syariat, tetapi hasilnya adalah urusan Allah. Upaya Musa untuk mengoreksi tindakan Khidr adalah bentuk intervensi yang melampaui batas yang diizinkan dalam konteks ilmu Ladunni.
Kisah ini menekankan nilai komitmen yang dibuat di awal. Musa berjanji akan bersabar. Khidr terus mengingatkannya tentang janji itu melalui Ayat 75. Ini adalah pelajaran tentang integritas: jika kita membuat janji spiritual atau komitmen terhadap suatu proses, kita harus mematuhinya meskipun proses tersebut sulit secara emosional atau bertentangan dengan logika awal kita.
Dalam konteks Ayat 75, Khidr adalah manifestasi dari rahmat Allah yang beroperasi di balik tirai. Walaupun tindakannya (pembunuhan) tampak kejam, motivasinya adalah rahmat dan perlindungan bagi orang tua yang beriman. Kesabaran yang dituntut dari Musa adalah kesabaran untuk melihat rahmat ini, meskipun ia diselubungi oleh kemarahan syariat yang tampak.
Surah Al Kahfi Ayat 75, “Dia (Khidr) berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku?',” adalah salah satu ayat paling fundamental dalam menjelaskan hubungan antara ilmu yang tampak dan ilmu yang tersembunyi, antara syariat dan takdir.
Ayat ini berfungsi sebagai penegasan mutlak (melalui ‘Lan Tastatī’a’) bahwa Musa, sebagai nabi yang terikat pada hukum lahiriah, tidak mungkin memenuhi syarat kepasrahan total yang dibutuhkan Khidr. Teguran retoris ‘Alam Aqul’ menempatkan Musa pada posisi kerendahan hati, di mana ia harus mengakui bahwa bahkan pengetahuan kenabiannya memiliki batas di hadapan kebijaksanaan takdir yang mendalam. Kisah ini berakhir dengan kesadaran bahwa kesabaran sejati adalah menerima kehendak Allah sepenuhnya, meskipun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk melihat 'ta’wil' atau penjelasan di baliknya. Ayat 75 adalah cerminan abadi tentang keagungan perencanaan Ilahi dan batas-batas kesabaran manusia dalam menghadapi misteri kehidupan.