Kalimat suci Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan) merupakan pembuka dari Surah Al-Qadr, surah ke-97 dalam Al-Qur'an. Ayat ini bukan sekadar pemberitahuan historis mengenai penurunan kitab suci, melainkan fondasi teologis yang mendefinisikan hubungan antara waktu, wahyu, dan takdir (qadr). Untuk memahami sepenuhnya esensi dari bacaan "Inna Anzalna", kita harus menyelami makna linguistik yang mendalam, konteks pewahyuan yang menakjubkan, serta implikasi spiritual dan praktisnya bagi kehidupan seorang mukmin. Surah ini, meskipun pendek, sarat dengan keagungan yang tak terhingga, menjadikannya salah satu bacaan yang paling dihayati, terutama menjelang sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.
Pembedahan kata per kata dari ayat pertama Surah Al-Qadr memberikan kunci untuk membuka harta karun makna yang tersembunyi. Keagungan bahasa Arab dalam Al-Qur'an memastikan bahwa setiap partikel dan kata kerja memiliki bobot dan signifikansi teologis yang tak tergantikan.
Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Malam Kemuliaan.
Kata Innā adalah gabungan dari dua elemen: Inna (Sesungguhnya/Pasti) dan Nā (Kami).
Ini adalah inti dari ayat tersebut, sebuah kata kerja yang kompleks: Anzala (telah menurunkan) + Nā (Kami) + Hu (nya, merujuk kepada Al-Qur'an).
Para ahli bahasa dan tafsir (Mufassirin) sangat menekankan perbedaan antara dua bentuk kata kerja dari akar N-Z-L (turun):
Karena Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap selama 23 tahun, penggunaan Anzalnāhu (penurunan sekaligus) di sini memunculkan tafsiran penting:
Penafsiran Dominan: Anzalnāhu merujuk pada penurunan Al-Qur'an secara total dari Lauhul Mahfuzh (Tablet yang Terpelihara) ke Baitul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia (Sama’ Ad-Dunya). Peristiwa besar inilah yang terjadi secara utuh pada Malam Kemuliaan (Laylatul Qadr). Ini adalah titik transisi Al-Qur'an dari dimensi Ilahi murni ke dimensi kosmik yang terdekat dengan manusia, sebelum kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril secara bertahap.
Dengan demikian, ayat ini mengagungkan Laylatul Qadr sebagai momen dimulainya penetapan dan penyingkapan Kitab Suci yang abadi. Kata ganti 'Hu' (nya) secara tegas merujuk pada Al-Qur'an, menunjukkan bahwa keutamaan malam tersebut terikat secara intrinsik dengan wahyu Ilahi.
Setelah memahami tindakan penurunan, kita harus memahami wadahnya, yaitu Laylatil-Qadr (لَيْلَةِ الْقَدْرِ). Kombinasi kata ini adalah sumber dari semua keutamaan yang dijelaskan dalam surah ini.
Kata Laylah berarti malam, waktu kegelapan yang kontras dengan Nahar (siang). Adapun Al-Qadr (الْقَدْرِ) memiliki tiga makna utama yang saling berkaitan erat dan semuanya relevan dengan malam tersebut.
Dalam pengertian ini, Laylatul Qadr berarti 'Malam Kemuliaan' atau 'Malam Keagungan' (Laylatul Sharaf). Malam ini diagungkan karena tiga alasan utama:
Malam tersebut menjadi mulia karena kemuliaan Al-Qur'an dilekatkan padanya. Para malaikat pun turun ke bumi pada malam ini, menambah keagungan suasana dan spiritualitas yang menyelubungi alam semesta. Ibadah yang dilakukan pada malam ini memiliki keutamaan yang melebihi batas waktu normal.
Qadr juga bermakna ketetapan, pengukuran, atau takdir (Ta’yin). Menurut tafsir ini, Laylatul Qadr adalah ‘Malam Penetapan Takdir’. Meskipun Allah telah menetapkan takdir di Lauhul Mahfuzh sejak azali, pada malam Laylatul Qadr terjadi detailisasi dan penyalinan takdir yang akan berlaku bagi seluruh makhluk, termasuk rezeki, ajal, dan peristiwa penting lainnya, untuk satu tahun ke depan (hingga Laylatul Qadr berikutnya).
Malam ini disebut Malam Penetapan karena, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dan lainnya, Allah menyerahkan salinan ketetapan tahunan kepada para malaikat, terutama Jibril dan Mikail, untuk dilaksanakan. Ini adalah malam di mana batas antara dunia ghaib dan dunia nyata terasa begitu tipis, di mana ketetapan Ilahi diumumkan dan mulai dijalankan. Oleh karena itu, berdoa dan memohon penetapan takdir yang baik pada malam ini memiliki signifikansi yang sangat besar.
Makna ketiga dari Qadr adalah kesempitan. Penamaan ini muncul karena pada malam ini, bumi menjadi sempit atau padat. Mengapa? Karena turunnya Malaikat Jibril dan rombongan malaikat lainnya yang jumlahnya sangat banyak. Mereka turun untuk menyaksikan dan mengamankan orang-orang yang beribadah, membawa rahmat dan keberkahan. Saking banyaknya malaikat yang turun, bahkan lebih banyak daripada jumlah kerikil di bumi, sehingga bumi terasa penuh sesak dengan makhluk spiritual. Ini adalah manifestasi fisik dari rahmat yang melimpah.
Ayat "Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr" adalah sumbu yang mengikat dua entitas paling mulia dalam Islam: Al-Qur'an dan waktu. Tanpa penurunan Al-Qur'an, Laylatul Qadr mungkin hanyalah malam biasa. Keagungan malam itu sepenuhnya berasal dari penetapan Allah untuk memulai penurunan wahyu terakhir dan terlengkap bagi umat manusia pada waktu tersebut.
Keterikatan ini mengajarkan umat Muslim bahwa penghormatan tertinggi terhadap Laylatul Qadr harus diwujudkan melalui interaksi yang intensif dengan Al-Qur'an. Malam ini adalah perayaan kitab suci, dan karenanya, tilawah (membaca), tadabbur (merenungkan), dan pengamalan Al-Qur'an menjadi ibadah sentral pada Laylatul Qadr. Umat dianjurkan untuk memaksimalkan waktu tersebut dengan membaca, mempelajari, dan menghidupkan firman-firman yang pertama kali 'diturunkan' secara masif pada malam agung ini.
Para Mufassir (ahli tafsir) telah bersepakat mengenai garis besar interpretasi ayat pertama ini, namun mereka memperdalam pemahaman mengenai bagaimana proses penurunan (inzal) itu terjadi dan implikasinya bagi kenabian Muhammad SAW.
Imam Ibnu Katsir dan Imam At-Thabari, dua pilar utama tafsir klasik, menguatkan pandangan bahwa "Innā anzalnāhu" merujuk pada penurunan Al-Qur'an secara keseluruhan ke langit dunia. Penurunan ini dilakukan untuk memuliakan bulan Ramadhan, tempat Laylatul Qadr berada.
Ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an menekankan aspek perubahan nasib umat manusia. Surah Al-Qadr, yang dimulai dengan penurunan wahyu, menandakan perubahan paling fundamental dalam sejarah umat.
Wahyu yang diturunkan pada malam itu membawa sistem baru, hukum baru, dan panduan moral yang mengubah takdir Arab Jahiliyyah dan akhirnya mengubah takdir dunia. Oleh karena itu, Laylatul Qadr adalah malam penetapan takdir dalam arti makro: penetapan takdir peradaban melalui Al-Qur'an.
Penekanan pada kata Innā (Kami) pada awal ayat berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa sumber otoritas dan keagungan Al-Qur'an adalah Allah semata. Hal ini menghilangkan peluang bagi siapapun, baik Nabi maupun manusia, untuk mengklaim kepemilikan atau modifikasi terhadap firman Ilahi tersebut.
Keutamaan Laylatul Qadr tidak berhenti pada peristiwa penurunan Al-Qur'an. Ayat-ayat berikutnya dalam Surah Al-Qadr memperjelas bahwa malam ini memiliki nilai ibadah yang melampaui perhitungan manusia.
Firman Allah selanjutnya: Laylatul-qadri khayrum min alfi shahr (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).
Angka "seribu bulan" (sekitar 83 tahun 4 bulan) memiliki makna yang sangat mendalam dan multifaset:
Pengejaran Laylatul Qadr (Ihya’ Laylatul Qadr) harus menjadi prioritas tertinggi bagi setiap Muslim selama sepuluh malam terakhir Ramadan. Motivasi ini sepenuhnya didasarkan pada jaminan peningkatan pahala yang luar biasa ini.
Ayat berikutnya, Tanazzalul-malā'ikatu war-rūḥu fīhā bi'idzni rabbihim min kulli amr (Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Rūh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan).
Penekanan pada kata Tanazzal (turun secara berulang/terus-menerus) menunjukkan bahwa penurunan malaikat bukan hanya sekali, melainkan gelombang demi gelombang sepanjang malam itu.
Ayat penutup, Salāmun hiya ḥattā maṭla'il-fajr (Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).
Kata Salām (kesejahteraan/kedamaian) di sini memiliki makna yang sangat luas:
Kesejahteraan ini berlangsung mulai terbenamnya matahari (awal malam) hingga munculnya fajar. Ini memberikan batas waktu yang jelas bagi umat Muslim untuk memaksimalkan ibadah. Begitu fajar menyingsing, keutamaan spesifik Laylatul Qadr berakhir, dan para malaikat kembali naik ke langit.
Pemahaman teologis mengenai bacaan "Innā Anzalnāhu" harus diiringi dengan aplikasi praktis dalam beribadah. Surah ini memberikan peta jalan yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghabiskan waktu yang lebih baik dari seribu bulan.
Amalan utama yang paling dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk mencari Laylatul Qadr adalah I'tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, khususnya selama sepuluh hari terakhir Ramadan.
I'tikaf adalah perwujudan fisik dari penghayatan "Innā Anzalnāhu". Dengan mengisolasi diri dari urusan duniawi, seorang hamba menciptakan ruang spiritual di mana ia bisa fokus sepenuhnya pada relasi dengan Al-Qur'an dan ibadah. Praktik ini memastikan bahwa seluruh malam di sepuluh hari tersebut dihabiskan dalam ketaatan, sehingga peluang bertemu Laylatul Qadr menjadi maksimal. Tujuan I’tikaf adalah untuk menciptakan suasana yang paling kondusif agar penurunan rahmat dan penetapan takdir baik Ilahi dapat diterima oleh jiwa yang bersih.
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, jika aku mengetahui malam apa itu Laylatul Qadr, apa yang sebaiknya aku ucapkan?"
Beliau bersabda:
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī
(Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.)
Fokus doa ini pada pengampunan (Al-‘Afwu) sangat relevan dengan makna Laylatul Qadr. Jika malam ini adalah Malam Penetapan Takdir, maka permintaan utama seorang hamba haruslah agar Allah menghapus dosa-dosanya dan menetapkan takdirnya dalam keadaan suci. Pengampunan adalah kunci menuju keselamatan (Salām) yang dijanjikan pada malam itu.
Karena inti Laylatul Qadr adalah Al-Qur'an, memaksimalkan tilawah (membaca) dan tadabbur (merenungkan) Al-Qur'an adalah wajib.
Membaca "Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr" harus diresapi dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang membaca Kitab yang keagungannya sedemikian rupa sehingga proses penurunannya harus diagungkan melalui waktu yang setara dengan seribu bulan. Ini bukan sekadar latihan lisan, melainkan penghormatan terhadap sumber petunjuk hidup. Merenungkan makna dan menerapkan ajarannya merupakan ibadah tertinggi yang menghubungkan seorang hamba kembali pada momen wahyu pertama.
Untuk memenuhi kedalaman kajian ini, perluasan pemahaman tentang perbandingan seribu bulan dan mekanisme turunnya malaikat menjadi krusial. Konsep khayrum min alfi shahr (lebih baik dari seribu bulan) adalah konsep yang melampaui perhitungan aritmatika biasa, masuk ke ranah rahmat dan keajaiban Ilahi.
Seribu bulan, jika dihitung, adalah rentang waktu yang sangat panjang, hampir seumur hidup manusia. Namun, kata 'lebih baik' (khayrun) memberikan dimensi yang tidak terbatas. Para ulama menjelaskan bahwa 'seribu bulan' mungkin merujuk pada periode tertentu yang dialami oleh Bani Israil ketika mereka dikenal sebagai umat yang berjuang melawan musuh-musuh Allah selama rentang waktu yang panjang tanpa ada malam khusus yang memberikan keistimewaan pahala sebesar ini.
Oleh karena itu, anugerah ini adalah mekanisme kompensasi dan penguatan spiritual bagi Umat Muhammad SAW yang memiliki umur relatif lebih pendek. Ini adalah penegasan bahwa kualitas ibadah di Laylatul Qadr mampu mengatasi keterbatasan kuantitas waktu. Ini mengajarkan pentingnya memanfaatkan peluang, karena peluang ibadah yang setara dengan seribu bulan tidak akan datang setiap hari, melainkan tersembunyi dalam kerangka waktu yang sempit, yaitu sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Pengejaran Laylatul Qadr harus didasarkan pada keyakinan penuh akan kemahaluasan rahmat Allah. Seorang hamba tidak beribadah untuk mencapai angka 83 tahun, tetapi untuk mendapatkan keridaan Allah yang nilainya melebihi segala hitungan. Rasa harap (raja’) inilah yang mendorong mukmin untuk bangun malam, padahal ia tidak tahu persis malam mana yang merupakan Laylatul Qadr.
Proses Tanazzalul-malā'ikatu war-rūḥu fīhā adalah fenomena kosmik yang menakjubkan. Penurunan Jibril secara khusus, meskipun ia adalah pemimpin, menekankan perannya sebagai Ruhul Amin (Ruh yang Terpercaya), pembawa wahyu dan penghubung antara langit dan bumi.
Kehadiran malaikat dalam jumlah besar ini memberikan beberapa implikasi:
Ayat ini mengajarkan kita untuk menghargai dimensi ghaib. Meskipun kita tidak melihat para malaikat, kita yakin bahwa mereka ada dan berinteraksi secara intensif dengan lingkungan spiritual kita pada malam itu, memohonkan ampunan bagi mereka yang beribadah. Kesadaran akan kehadiran makhluk suci ini seharusnya meningkatkan kualitas kekhusyukan dan ibadah.
Peristiwa ini memperkuat makna Inna Anzalnahu. Proses penurunan Al-Qur'an pada malam itu bukan hanya perubahan pada kitab, tetapi juga perubahan pada tatanan kosmik: Langit dan Bumi secara literal berinteraksi secara intens. Penurunan malaikat adalah kelanjutan logis dari penurunan wahyu, karena merekalah pelaksana perintah Allah di alam semesta.
Surah Al-Qadr, yang diawali dengan deklarasi agung "Innā anzalnāhu," memiliki implikasi teologis yang mendalam bagi akidah dan etika Muslim, yang harus dipahami melebihi sekadar praktik ibadah Ramadan.
Penekanan pada 'Innā' (Kami) dalam ayat pertama secara kuat menegaskan Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah. Hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak untuk menurunkan wahyu. Al-Qur'an bukanlah hasil pemikiran manusia atau kompilasi historis; ia adalah Firman Allah yang berasal dari sumber tertinggi. Pengakuan ini wajib bagi setiap Muslim, dan setiap bacaan "Innā Anzalnāhu" harus menyegarkan kembali pengakuan terhadap kedaulatan Ilahi atas seluruh alam semesta.
Hal ini membedakan Al-Qur'an dari kitab-kitab suci yang lain—ia diturunkan sebagai mukjizat abadi, dan penurunan awalnya terjadi pada malam yang istimewa. Pengakuan bahwa kitab ini diturunkan (anzalnāhu) pada Malam Takdir (Laylatil-qadr) juga menguatkan akidah pada Takdir (Qadha dan Qadar) sebagai rukun iman keenam.
Konsep bahwa satu malam lebih baik dari 83 tahun menanamkan etika optimasi waktu dalam diri mukmin. Islam mengajarkan bahwa waktu adalah modal yang paling berharga. Laylatul Qadr adalah contoh ekstrem bagaimana investasi waktu yang sangat kecil (satu malam) dapat menghasilkan keuntungan spiritual yang masif.
Etika ini menuntut umat Muslim untuk tidak menjadi orang yang menunda-nunda amal (taswif). Jika ada satu malam yang menjanjikan pahala seribu bulan, betapa ruginya mereka yang menghabiskannya dalam kelalaian. Keutamaan Laylatul Qadr mengajarkan prinsip umum dalam Islam: kualitas amal lebih diutamakan daripada kuantitas waktu yang dihabiskan. Ini memotivasi umat untuk selalu mencari momen dan kesempatan terbaik dalam hidup mereka untuk beribadah dan berbuat kebaikan, tidak hanya di bulan Ramadan.
Penekanan pada *Salāmun hiya* (Kesejahteraan) hingga fajar juga menunjukkan pentingnya mengakhiri periode ibadah dengan keadaan jiwa yang tenang dan damai, menjauhi pertengkaran, dan fokus pada zikir dan doa.
Laylatul Qadr adalah malam penetapan takdir (Qadr), tetapi ini terjadi hanya setelah seorang hamba melakukan ikhtiar maksimal untuk mencarinya. Jika takdir telah ditetapkan, mengapa kita harus bersusah payah mencari malam tersebut? Jawabannya terletak pada kesadaran bahwa usaha (ikhtiar) kita adalah bagian dari takdir Allah.
Allah menetapkan rezeki, ajal, dan nasib bagi hamba-Nya, dan pada Laylatul Qadr, ketetapan itu diperinci. Namun, doa dan ibadah yang dilakukan pada malam itu memiliki kekuatan untuk mengubah atau memohonkan perubahan atas takdir yang mungkin tidak menguntungkan. Hadis menyebutkan bahwa doa dapat mengubah qada (ketetapan). Malam ini adalah momen optimal untuk menggunakan doa sebagai alat untuk bernegosiasi dengan takdir yang tertulis, memohon kebaikan dan penghapusan kesulitan.
Oleh karena itu, Laylatul Qadr adalah harmoni sempurna antara pengakuan akan kedaulatan takdir Allah (Qadr) dan pelaksanaan usaha maksimal manusia (Ikhtiar) melalui ibadah.
Ayat penutup Surah Al-Qadr, yang menjamin kesejahteraan (Salām) hingga terbit fajar, adalah janji yang mencakup aspek lahiriah dan batiniah. Kajian mendalam pada aspek 'Salam' ini menunjukkan betapa istimewanya atmosfer spiritual pada malam tersebut.
Kesejahteraan yang dijanjikan pada Laylatul Qadr bukan hanya dirasakan oleh manusia, tetapi meliputi seluruh alam semesta. Pada malam itu, Allah memerintahkan segala sesuatu untuk berada dalam keadaan damai. Tidak ada kejahatan besar yang terjadi, energi spiritual positif mendominasi, dan bahkan syaitan pun dibelenggu atau kekuatannya sangat dilemahkan, sehingga ia tidak dapat melakukan kerusakan atau gangguan yang signifikan.
Kesejahteraan kosmik ini selaras dengan peristiwa penurunan Al-Qur'an (Innā anzalnāhu), karena wahyu yang dibawa oleh Al-Qur'an itu sendiri adalah sumber kedamaian (Islam berasal dari akar kata yang sama, S-L-M). Malam diturunkannya kitab suci haruslah menjadi malam yang paling tenang dan damai di antara semua malam.
Inilah mengapa orang yang menghabiskan malam itu dalam ibadah sering kali melaporkan rasa ketenangan batin, kekhusyukan yang mendalam, dan terangkatnya beban pikiran duniawi. Kesejahteraan ini adalah hadiah dari Allah bagi mereka yang berupaya menyambut wahyu-Nya.
Bentuk tertinggi dari kesejahteraan adalah keselamatan di Akhirat. Ulama tafsir menjelaskan bahwa 'Salāmun' juga merujuk pada jaminan keselamatan bagi hamba yang beribadah pada malam itu, yang berarti terbebas dari siksa neraka.
Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menghidupkan Laylatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
Pengampunan (Maghfirah) ini adalah puncak dari kesejahteraan. Jika seluruh dosa masa lalu diampuni, maka takdir (Qadr) yang ditetapkan untuk hamba itu di masa depan akan dimulai dari titik nol yang suci. Ini adalah hadiah terbesar yang disediakan Allah melalui malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dengan demikian, makna *Salāmun hiya* adalah kepastian bahwa ibadah yang dilakukan akan menghasilkan kedamaian abadi.
Setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar "Innā anzalnāhu", ia diingatkan akan janji tak terbatas ini. Penurunan wahyu Ilahi adalah hadiah, dan penghormatan terhadap hadiah itu (melalui ibadah) akan mendatangkan hadiah yang lebih besar lagi, yaitu keselamatan (Salām) dan pengampunan.
Penting untuk kembali merenungkan kedalaman kata kerja Anzalnāhu (Kami telah menurunkannya). Pengulangan dan elaborasi pada aspek ini penting karena inilah yang membedakan Laylatul Qadr dari malam-malam lainnya.
Penggunaan Inzal (penurunan total) pada Laylatul Qadr menunjukkan bahwa Al-Qur'an, pada saat itu, telah sempurna dalam bentuknya yang utuh di Baitul Izzah. Ini adalah penegasan terhadap kelengkapan dan keutuhan Al-Qur'an sebagai pedoman. Meskipun penurunan bertahap (Tanzil) mengikuti peristiwa-peristiwa, substansi, struktur, dan inti Al-Qur'an sudah final dan tak berubah.
Konteks ini sangat relevan. Ketika Allah SWT memutuskan untuk menurunkan Kitab Suci terakhir-Nya kepada Rasulullah SAW, keputusan itu dilewati melalui proses kosmik yang agung, dimulai pada Laylatul Qadr. Proses ini memberikan legitimasi dan kesucian luar biasa kepada setiap huruf dan ayat yang terkandung dalam Al-Qur'an. Ini berarti bahwa umat manusia telah diberikan sebuah panduan yang sempurna, lengkap, dan didukung oleh otoritas Ilahi yang termanifestasi dalam proses Inzal tunggal yang agung.
Jika Allah telah menurunkan seluruh kitab pada malam itu, maka setiap mukmin yang beribadah pada malam Laylatul Qadr seharusnya meniatkan ibadahnya untuk menyambut seluruh Al-Qur'an. Ini bukan hanya tentang membaca satu surah atau beberapa ayat, tetapi tentang niat untuk menghidupkan seluruh ajaran yang dibawa oleh kitab suci itu.
Niat ini mencakup:
Dengan demikian, "Innā Anzalnāhu" tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga memberikan komitmen abadi bagi umat Islam untuk terus terikat dan menghidupkan warisan yang diturunkan pada malam tersebut.
Mengulas kembali makna Al-Qadr sebagai penetapan takdir (rejeki dan ajal) membawa kita pada pemahaman tentang ketergantungan total makhluk kepada Khaliq (Pencipta).
Satu dari sekian banyak urusan (kulli amr) yang ditetapkan pada malam itu adalah rezeki. Rezeki tidak hanya mencakup harta benda, tetapi juga kesehatan, ilmu, pasangan, dan ketenangan hati.
Ketika para malaikat turun untuk mengatur segala urusan, mereka membawa salinan tentang rezeki yang akan dibagikan kepada setiap jiwa dalam satu tahun ke depan. Ini menumbuhkan optimisme dan motivasi dalam diri mukmin. Karena rezeki sedang ditetapkan atau diperinci, inilah waktu terbaik untuk memohon kelapangan rezeki yang halal, bukan hanya secara materi, tetapi juga kelapangan rezeki berupa hidayah dan kebaikan spiritual.
Ibadah pada malam itu menjadi cara paling efektif untuk memohon agar rezeki yang ditetapkan adalah yang terbaik. Permintaan ini harus disertai dengan keyakinan (iman) bahwa Allah adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) dan bahwa malam ini adalah malam penentuan takdir.
Demikian pula, ajal (batas waktu kehidupan) juga merupakan bagian dari kulli amr yang ditetapkan pada malam Qadr. Walaupun ajal seseorang telah ditetapkan sejak di rahim ibu, perincian tahunannya diulas kembali.
Kesadaran ini mendorong mukmin untuk bertaubat secara sungguh-sungguh. Jika Laylatul Qadr adalah malam penentuan takdir dan ampunan, ini adalah kesempatan terakhir untuk memastikan bahwa takdir yang ditetapkan membawa kita pada Husnul Khatimah (akhir yang baik). Doa Allahumma innaka ‘afuwwun menjadi sangat penting di sini, karena dosa-dosa adalah yang paling merusak takdir seseorang di Akhirat.
Kajian terhadap "Innā Anzalnāhu" pada dasarnya adalah panggilan untuk kembali kepada sumber petunjuk (Al-Qur'an) dan mengokohkan kembali hubungan dengan Allah, Sang Penentu Takdir. Semangat Laylatul Qadr harus menjadi penggerak bagi kehidupan seorang Muslim selama sisa tahunnya.
Surah Al-Qadr, yang hanya terdiri dari lima ayat, secara kohesif membangun argumentasi keagungan wahyu dan malam penurunannya. Setiap ayat berfungsi untuk menguatkan ayat sebelumnya, dimulai dari deklarasi sentral: Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr.
Struktur ini memastikan bahwa pembaca tidak akan pernah meremehkan betapa pentingnya peristiwa yang dimulai dengan "Innā anzalnāhu". Seluruh surah adalah penjelasan rinci atas betapa besarnya tindakan *anzalnāhu* (penurunan Kami) itu.
Dalam praktiknya, bagi seorang Muslim yang merayakan Laylatul Qadr, ia harus merasakan koneksi langsung antara *Inzal* di langit dunia dan aktivitas ibadahnya di bumi. Ia adalah bagian dari momentum kosmik tersebut, di mana keputusan Ilahi bertemu dengan ketaatan manusia. Ini adalah momen persimpangan antara takdir dan kehendak bebas manusia dalam beribadah.
Meskipun Surah Al-Qadr secara spesifik merujuk pada Ramadhan, pelajaran yang dibawa oleh "Innā anzalnāhu" bersifat abadi. Ini mengingatkan kita setiap saat akan asal-usul Al-Qur'an yang mulia, otoritas Allah yang tak tertandingi, dan pentingnya mencari keberkahan dalam waktu. Keutamaan seribu bulan harus menjadi pendorong untuk menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran (ihsan), seolah-olah setiap hari adalah kesempatan untuk beramal sebanyak mungkin.
Setiap bacaan, setiap renungan, dan setiap amalan yang terinspirasi oleh surah ini adalah bentuk penghormatan terhadap Malam Kemuliaan, malam di mana Allah SWT, dengan segala keagungan-Nya, memilih untuk menurunkan petunjuk terakhir-Nya, memulai era baru bagi umat manusia. Inilah esensi abadi dari bacaan "Innā Anzalnāhu fī laylatil-qadr."
Salah satu karakteristik retorika Al-Qur'an adalah pengulangan—atau dalam konteks ini, *takarrur*—yang berfungsi untuk menanamkan makna secara mendalam. Dalam Surah Al-Qadr, kata 'Laylatul Qadr' diulang sebanyak tiga kali. Pengulangan ini, yang dimulai dari ayat pertama "Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr," bukan sekadar redundansi, melainkan strategi linguistik yang kuat.
Pengulangan yang pertama ("Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr") berfungsi sebagai pernyataan faktual. Pengulangan kedua ("Wa mā adrāka mā laylatul-qadr") berfungsi untuk meningkatkan ketegasan dan keagungan. Pengulangan ketiga ("Laylatul-qadri khayrum min alfi shahr") berfungsi untuk mengungkapkan nilai intrinsik malam tersebut.
Jika kita hanya memiliki ayat pertama, kita hanya tahu bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam itu. Namun, pengulangan tersebut menjamin bahwa hati dan pikiran pembaca sepenuhnya menyadari bahwa ‘Malam Qadr’ bukanlah nama biasa, melainkan gelar kemuliaan yang patut diselidiki dan dihayati. Ini menuntut penghormatan yang berlipat ganda dari umat mukmin.
Dalam konteks bacaan (bacaan inna anzalna), pengulangan ini memastikan bahwa ketika seorang Muslim membacanya dalam shalat atau di luar shalat, ia merasakan getaran keagungan setiap kali kata 'Al-Qadr' disebutkan. Ini adalah teknik untuk membangun kekhusyukan dan kesadaran spiritual.
Seluruh teks Surah Al-Qadr dapat diringkas sebagai konsistensi antara dua keutamaan: keutamaan Al-Qur'an dan keutamaan waktu. Keduanya saling memvalidasi.
Karena itu, seluruh keutamaan yang dijelaskan dalam surah, mulai dari malaikat turun hingga kesejahteraan *Salāmun hiya*, semuanya mengalir dari satu sumber utama: keputusan Allah untuk mengucapkan "Innā anzalnāhu". Ini adalah pengakuan bahwa kebaikan terbesar yang pernah diterima umat manusia adalah panduan Ilahi, dan momen penerimaannya adalah momen paling mulia dalam kalender Islam.
Penetapan takdir pada malam itu, yang diatur oleh malaikat (kulli amr), juga merupakan bagian dari mekanisme untuk menjamin bahwa wahyu ini tetap relevan dan berkuasa dalam kehidupan manusia, mengarahkan takdir individu dan kolektif menuju kebenaran.
Pengejaran Laylatul Qadr, yang merupakan ritual tahunan, adalah cara umat Islam untuk merayakan ulang tahun kosmik wahyu Al-Qur'an. Ini adalah perayaan yang menuntut partisipasi aktif, bukan hanya pengamat pasif, dari setiap hamba yang merindukan ampunan dan peningkatan spiritual. Keutamaan yang disajikan adalah undangan terbuka untuk memanfaatkan waktu yang sangat terbatas demi keuntungan abadi.
Dalam analisis linguistik, setiap partikel memiliki peran vital. Kata ganti (dhomir) 'Hu' (ه) yang melekat pada Anzalnāhu adalah krusial. 'Hu' merujuk kepada Al-Qur'an, tetapi penyebutan Al-Qur'an tidak eksplisit dalam surah ini—hanya dalam ayat pertama secara tersirat melalui konteks keimanan umat Muslim. Ini adalah contoh penggunaan dhomir yang merujuk pada sesuatu yang sudah sangat jelas (Ma’lūm bil-dharūrah).
Mengapa Al-Qur'an tidak disebutkan secara eksplisit? Karena keagungannya tidak memerlukan penyebutan. Dalam retorika Arab, ketika suatu objek begitu agung dan penting sehingga semua orang tahu apa yang dimaksud, maka penyebutan tersirat melalui kata ganti sudah cukup.
Penggunaan dhomir 'Hu' ini menambah aura misteri dan kemuliaan pada Al-Qur'an. Seolah-olah, Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya—sesuatu yang keagungannya sedemikian rupa sehingga tidak perlu disebutkan namanya lagi—pada malam yang agung."
Rujukan ini juga mencerminkan sifat abadi Al-Qur'an. Meskipun penurunan (Inzal) terjadi pada titik waktu tertentu (Laylatul Qadr), "Dia" (Hu) adalah entitas yang abadi. 'Hu' adalah Firman Allah yang bersifat Qadim (terdahulu) dan bukan makhluk yang diciptakan. Mengimani hal ini adalah inti dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jika 'Hu' adalah Al-Qur'an, maka Laylatul Qadr adalah malam yang diciptakan untuk menerima 'Hu'. Keutamaan Laylatul Qadr sepenuhnya adalah cerminan dari keutamaan 'Hu'. Semua pahala yang berlipat ganda, semua malaikat yang turun, dan semua kedamaian yang melingkupi malam itu adalah karena kehormatan yang diberikan kepada wahyu Ilahi.
Oleh karena itu, tindakan paling menghormati 'Hu' pada malam itu adalah dengan merenungkannya dan mengulanginya. Membaca Al-Qur'an, terutama di sepertiga malam terakhir, adalah bentuk perayaan atas peristiwa "Innā anzalnāhu." Ini adalah upaya hamba untuk menyelaraskan dirinya dengan energi kosmik wahyu yang dimulai pada malam tersebut.
Kesadaran ini harus menginspirasi mukmin untuk tidak pernah lagi menganggap remeh sesi pembacaan Al-Qur'an. Setiap huruf yang dibaca adalah bagian dari 'Hu' yang diturunkan pada Laylatul Qadr, membawa berkah yang tak terhingga dan janji pahala yang melebihi seribu bulan.
Kajian yang mendalam dan berulang kali terhadap Surah Al-Qadr, yang dimulai dengan bacaan sakral "Innā anzalnāhu fī laylatil-qadr," memperlihatkan bahwa surah ini adalah salah satu pernyataan teologis terpadat dan paling berpengaruh dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya sebuah cerita masa lalu, melainkan sebuah pernyataan energi spiritual yang berulang setiap tahun.
Empat pilar utama yang harus diserap dari bacaan ini adalah:
Bagi mereka yang mencari Laylatul Qadr di malam-malam ganjil Ramadan, penghayatan terhadap setiap kata dalam surah ini harus menjadi landasan ibadah. Mereka tidak hanya shalat dan berdoa, tetapi mereka secara aktif berpartisipasi dalam momentum kosmik di mana para malaikat turun, takdir tahunan dirinci, dan bumi dipenuhi dengan kedamaian Ilahi.
Bacaan Innā anzalnāhu adalah panggilan universal untuk mencintai Al-Qur'an, menghargai waktu, dan mencari keridaan Allah yang tiada batasnya melalui malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Melalui kesungguhan dan keimanan, seorang hamba akan menerima jaminan *Salām* (kesejahteraan) hingga fajar menyingsing, dan memperoleh berkah yang akan membimbingnya sepanjang tahun, Insya Allah.