Surah Al-Ikhlas, meskipun pendek dalam jumlah ayat, adalah salah satu surah paling agung dalam Al-Qur'an. Surah ini merupakan intisari murni dari konsep Tauhid (Keesaan Allah) dan berfungsi sebagai dasar teologis bagi setiap Muslim. Penguasaan dan pemahaman mendalam terhadap surah ini bukan hanya menambah wawasan spiritual, tetapi juga mengukuhkan pondasi akidah yang membedakan Islam dari keyakinan-keyakinan lain.
Dalam kajian ini, kita akan menelusuri setiap aspek Surah Al-Ikhlas: mulai dari konteks pewahyuannya yang historis (Asbabun Nuzul), keutamaannya yang luar biasa, hingga analisis tafsir mendalam yang mengupas tuntas empat sifat keesaan Allah yang terkandung di dalamnya. Surah ini adalah jawaban final terhadap segala bentuk keraguan dan pertanyaan mengenai hakikat Pencipta alam semesta.
Surah Al-Ikhlas dikenal pula dengan nama-nama lain yang menunjukkan kedudukannya yang istimewa. Beberapa ulama menyebutnya sebagai Surah Al-Asas (Surah Pondasi), Surah Al-Ma’rifah (Surah Pengetahuan), bahkan Surah At-Tauhid. Nama "Al-Ikhlas" sendiri bermakna keikhlasan atau kemurnian. Membaca surah ini dengan pemahaman yang benar adalah memurnikan keyakinan seseorang dari segala bentuk syirik dan kesesatan.
Para ahli tafsir sepakat bahwa Surah Al-Ikhlas diturunkan di Mekkah sebagai respons langsung terhadap pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Quraisy atau, dalam riwayat lain, oleh delegasi Yahudi dan Nasrani yang ingin memahami hakikat Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menuntut penjelasan yang spesifik mengenai silsilah dan deskripsi fisik Tuhan.
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, bahwa kaum musyrikin berkata kepada Nabi ﷺ, "Wahai Muhammad, terangkanlah kepada kami nasab (keturunan) Tuhanmu." Maka Allah menurunkan:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Permintaan ini sangat mendasar namun krusial. Dalam tradisi pagan, dewa-dewa memiliki silsilah, orang tua, dan keturunan. Melalui Surah Al-Ikhlas, Allah menolak mentah-mentah kerangka berpikir antropomorfik (penyamaan Tuhan dengan manusia) tersebut, menegaskan bahwa Dia adalah Wujud yang mutlak independen dari segala batasan materi atau hubungan kekeluargaan.
Salah satu keutamaan paling masyhur dari Surah Al-Ikhlas adalah kedudukannya yang setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Hadis sahih dari Rasulullah ﷺ menyatakan hal ini, yang sering kali menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin empat ayat pendek dapat menyamai seluruh kitab suci?
Jawabannya terletak pada substansi isi Al-Qur'an itu sendiri. Secara umum, Al-Qur'an mencakup tiga tema utama:
Surah Al-Ikhlas secara eksklusif membahas pilar pertama, yaitu Tauhid, dengan kemurnian dan ringkasan yang sempurna. Karena Tauhid adalah fondasi utama yang menentukan validitas dua bagian lainnya, maka pemahaman yang sempurna terhadap Surah Al-Ikhlas setara dengan memahami inti dari seluruh pesan kenabian.
Sebelum memasuki tafsir yang mendalam, mari kita telaah kembali teks asli dan terjemahannya yang menjadi pokok bahasan kita.
(1) قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(2) اللَّهُ الصَّمَدُ
(3) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
(4) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Terjemahan:
Ilustrasi konsep Tauhid (Keesaan Allah) yang menjadi fondasi seluruh ajaran agama.
Makna dasar ayat ini adalah penegasan tentang Keesaan Allah. Namun, dalam bahasa Arab, terdapat dua kata untuk "satu" atau "esa": Wahid (وَاحِد) dan Ahad (أَحَد). Pilihan penggunaan kata Ahad dalam surah ini memiliki implikasi teologis yang sangat mendalam dan jauh melampaui sekadar hitungan numerik.
Wahid (Satu Numerik): Kata ini digunakan untuk menunjukkan bilangan pertama dalam urutan, dan secara potensial masih dapat diikuti oleh bilangan kedua, ketiga, dan seterusnya (dua, tiga, dst.). Sesuatu yang 'wahid' masih mungkin dibagi atau memiliki padanan.
Ahad (Esa Mutlak): Kata ini digunakan untuk meniadakan segala bentuk pembagian atau kemitraan. Ketika Allah disebut Ahad, ini berarti Dia Esa dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, tanpa ada kemungkinan bagi yang lain untuk berbagi hakikat ketuhanan dengan-Nya. Ini adalah keesaan yang tidak bisa dikuantifikasi atau dikompromikan.
Penggunaan Ahad menolak tiga bentuk syirik utama yang muncul di sepanjang sejarah:
Allah Ahad berarti Dzat-Nya tidak tersusun dari bagian-bagian kecil (atom, organ, atau unsur lainnya). Konsep ini menolak gagasan inkarnasi (penjelmaan Tuhan dalam bentuk fisik), trinitas (tiga pribadi dalam satu entitas), atau pembagian internal apapun yang dapat membatasi keagungan Dzat-Nya. Dzat Allah adalah unik, tidak dapat diukur, dan tidak dapat dibayangkan melalui analogi makhluk.
Dalam konteks teologi Islam, penegasan Ahad adalah benteng terhadap antropomorfisme (keyakinan bahwa Tuhan memiliki bentuk atau sifat manusiawi yang dapat diprediksi atau dibatasi). Jika Dia terbagi, Dia akan membutuhkan yang lain, yang bertentangan dengan sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Sempurna.
Keesaan Allah tidak hanya pada Dzat-Nya, tetapi juga pada sifat-sifat-Nya (Asma wa Sifat). Meskipun Allah memiliki banyak Sifat (seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa), sifat-sifat ini adalah sempurna dan mutlak hanya milik-Nya. Tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang setara dalam kemutlakan. Misalnya, manusia mungkin mendengar, tetapi pendengaran manusia terbatas; sedangkan pendengaran Allah (As-Sami') mencakup segala sesuatu tanpa batas atau alat.
Jika ada makhluk yang memiliki sifat sempurna yang setara dengan Allah, maka makhluk tersebut haruslah Tuhan juga—dan ini melanggar prinsip Ahad.
Allah Ahad dalam perbuatan-Nya (Tauhid Rububiyah). Dia sendirilah Pencipta, Pengatur, Pemberi Rezeki, dan Pengendali alam semesta. Tidak ada satu pun entitas lain yang memiliki andil independen dalam menciptakan atau mengelola semesta.
Lebih lanjut, Dia Esa dalam hak-Nya untuk disembah (Tauhid Uluhiyah). Karena hanya Dia yang memiliki keesaan Dzat dan kesempurnaan Sifat, maka hanya Dia yang berhak menerima ibadah, doa, dan ketaatan yang tulus. Ibadah yang ditujukan kepada selain Allah (berhala, nabi, malaikat, atau orang suci) secara langsung menodai makna Ahad.
Kesimpulannya, Ahad bukan hanya berarti tunggal; ia berarti unik dan tak tertandingi. Ini adalah sebuah deklarasi kemerdekaan ilahi dari segala keterbatasan persepsi manusia. Ayat ini menetapkan batas yang jelas antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Kata Ash-Shamad adalah salah satu istilah paling kaya makna dalam bahasa Al-Qur'an. Para ulama bahasa dan tafsir memberikan berbagai interpretasi, yang semuanya berpusat pada satu konsep inti: kebergantungan total semua ciptaan kepada-Nya, sementara Dia tidak bergantung pada siapa pun atau apa pun.
Secara etimologi, Ash-Shamad berasal dari akar kata yang memiliki arti:
Ini adalah makna yang paling sering dikutip: Allah adalah satu-satunya tempat tujuan yang dituju oleh semua makhluk—baik di bumi maupun di langit—untuk memenuhi kebutuhan, memohon pertolongan, dan mengadukan masalah. Segala sesuatu selain Allah memiliki kebutuhan: makhluk membutuhkan makanan, keamanan, air, dan pertolongan. Hanya Allah yang sama sekali tidak membutuhkan apa pun, namun semua membutuhkan Dia.
Ibnu Abbas RA menafsirkan Ash-Shamad sebagai: "Dia adalah Tuan yang sempurna dalam kepemimpinan-Nya, Dia adalah Maha Mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, Dia adalah Maha Agung yang sempurna keagungan-Nya, dan Dia adalah Maha Penyabar yang sempurna kesabaran-Nya." Ini menggambarkan totalitas kesempurnaan Allah yang menjadikannya satu-satunya yang layak menjadi sandaran.
Tafsir klasik lainnya, terutama yang berasal dari Qatadah dan Mujahid, mendeskripsikan Ash-Shamad sebagai "Yang tidak makan dan tidak minum." Penafsiran ini menegaskan sifat transendental Allah. Kebutuhan makan dan minum adalah tanda kelemahan, kelangsungan hidup, dan keterbatasan fisik. Allah terlepas dari segala kebutuhan jasmani ini. Dia tidak memiliki rongga internal, tidak memiliki organ, dan tidak memerlukan asupan energi dari luar.
Dengan demikian, Ash-Shamad memperkuat Ahad. Jika Dia sempurna dan tidak membutuhkan apa-apa (Shamad), maka mustahil bagi-Nya untuk memiliki padanan atau sekutu (Ahad). Ini adalah penolakan terhadap konsep dewa-dewa pagan yang memerlukan persembahan, makanan, atau energi untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Pemahaman yang mendalam terhadap Ash-Shamad harus mengubah cara hidup seorang Muslim. Jika Allah adalah satu-satunya Sandaran Mutlak, maka:
Sifat Ash-Shamad adalah pernyataan filosofis bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, dari galaksi terbesar hingga partikel terkecil, berinteraksi dalam sebuah jaringan kebutuhan, dan Allah berada di luar jaringan tersebut, sebagai Titik Pusat yang Mutlak dan Tak Tergantung.
Ayat ini adalah inti dari penolakan Islam terhadap teologi-teologi yang mengklaim hubungan kekeluargaan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Ini adalah penegasan tentang transendensi Allah yang sempurna.
Ungkapan "Lam Yalid" menolak gagasan bahwa Allah memiliki keturunan, anak, atau penerus. Penolakan ini mencakup dua dimensi utama:
Secara historis, penolakan ini ditujukan kepada:
Konsep beranak menyiratkan beberapa kelemahan pada Dzat Tuhan yang Maha Sempurna:
Bahkan penafsiran spiritual bahwa 'anak' hanyalah simbolisasi kasih sayang atau hubungan erat juga ditolak oleh Islam. Meskipun Isa AS sangat mulia dan diciptakan melalui mukjizat, statusnya tetaplah hamba dan Rasul Allah. Memanggilnya 'anak' secara spiritual tetap merusak kemurnian Tauhid, karena membedakan hubungan tersebut dari hubungan Allah dengan hamba-hamba-Nya yang lain.
Ungkapan "Lam Yuulad" berarti Allah tidak memiliki asal-usul, orang tua, atau sumber keberadaan. Dia tidak dilahirkan dari siapa pun. Ini adalah penegasan sifat Al-Awwal (Yang Pertama tanpa permulaan) yang mutlak.
Segala sesuatu yang dilahirkan atau diperanakkan pasti memiliki permulaan (awal), dan membutuhkan keberadaan sebelumnya (orang tua) untuk memunculkannya. Jika Allah diperanakkan, Dia akan menjadi ciptaan (makhluk) dan membutuhkan Pencipta, yang akan menimbulkan regresi tak terbatas (siapa yang menciptakan Pencipta itu?), yang secara filosofis tidak mungkin terjadi bagi Tuhan yang mutlak.
Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Wujud yang wajib ada (Wajib al-Wujud), yang keberadaan-Nya berasal dari Dzat-Nya sendiri, bukan karena sebab-sebab eksternal. Dia adalah sumber dari segala eksistensi, tetapi Dia sendiri tidak bersumber dari apa pun.
Proses kelahiran adalah peristiwa yang terikat pada waktu dan tempat. Dengan menolak dilahirkan, Allah menolak keterikatan-Nya pada dimensi waktu dan ruang yang diciptakan-Nya. Dia adalah Al-Azali (Yang Kekal tanpa permulaan) dan Al-Abadi (Yang Kekal tanpa akhir), berada di luar batasan temporal dan spasial ciptaan-Nya.
Kedua penolakan ini, Lam Yalid wa Lam Yuulad, bekerja bersama untuk mendefinisikan sifat Allah sebagai Yang Sempurna dalam Keagungan dan Keabadian-Nya, tidak memiliki keterkaitan dengan kelemahan makhluk yang terbatas oleh kelahiran dan kematian.
Ayat penutup ini merangkum dan mengunci makna tiga ayat sebelumnya, berfungsi sebagai penolakan total terhadap segala bentuk keserupaan atau kesetaraan ilahi. Kata kunci di sini adalah Kufuwan (كُفُوًا), yang berarti setara, sebanding, sepadan, atau sekutu.
Jika tiga ayat pertama menjelaskan apa yang Allah itu (Esa, Sandaran), dan apa yang bukan Dia (tidak beranak/diperanakkan), maka ayat keempat ini menutup pintu bagi segala imajinasi yang mencoba menempatkan entitas lain pada level yang sama dengan-Nya.
Ayat ini secara eksplisit menolak qiyas al-ghaib 'ala asy-syahid, yaitu upaya menyamakan Allah (yang gaib) dengan makhluk (yang tampak). Meskipun Al-Qur'an menyebutkan Sifat-sifat Allah seperti Mendengar, Melihat, Berkuasa, Sifat-sifat tersebut harus dipahami bilaa kayf (tanpa menanyakan bagaimana). Sifat-sifat Allah adalah unik dan tiada bandingan.
Misalnya, manusia memiliki kuasa, tetapi terbatas. Allah Maha Kuasa, dan kekuasaan-Nya tidak memiliki batas, permulaan, atau akhir. Kekuasaan makhluk adalah pinjaman; kekuasaan Allah adalah hakiki dan abadi.
Jika ada entitas lain yang setara dengan Allah, maka akan terjadi konflik kekuasaan atau pembagian otoritas dalam pengaturan alam semesta. Surah Al-Ikhlas menegaskan bahwa tidak ada entitas yang memiliki kapasitas untuk menandingi Allah dalam hal Penciptaan (Al-Khaliq), Pengaturan (Al-Mudabbir), atau Pemberian Rezeki (Ar-Razzaq).
Bayangkan jika ada dua Tuhan yang setara (dua kufuwan). Jika keduanya memiliki kehendak yang berbeda, alam semesta akan kacau balau (seperti yang ditegaskan dalam Surah Al-Anbiya' 22). Karena alam semesta berjalan dalam keteraturan yang sempurna, ini membuktikan bahwa hanya ada satu Penguasa yang tidak memiliki saingan.
Ayat wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad adalah puncak dari keikhlasan. Ini membebaskan hati manusia dari ketergantungan kepada entitas fana. Jika tidak ada yang setara dengan Allah, maka menyembah atau memuja selain Dia adalah tindakan bodoh yang ditujukan kepada sesuatu yang lemah dan terbatas.
Empat Ayat, Empat Pilar Tauhid:
Empat pilar ini secara kolektif merumuskan Tauhid Al-Ikhlas yang murni dan tak tercela.
Dalam teologi Islam (Ilmu Kalam atau Akidah), sifat-sifat Allah dibagi menjadi beberapa kategori. Surah Al-Ikhlas secara sempurna mencakup konsep-konsep inti yang wajib diyakini oleh seorang mukmin tentang Dzat Allah:
Surah ini mengasumsikan dan menegaskan Wujud Allah. Klaim bahwa "Dialah Allah" adalah klaim eksistensi mutlak.
Ditegaskan melalui Lam Yulad (tidak diperanakkan). Tidak diperanakkan berarti Dia tidak memiliki permulaan (Qidam). Sebaliknya, ketiadaan anak (Lam Yalid) menyiratkan bahwa Dzat-Nya tidak mengalami proses biologis atau kefanaan yang memerlukan penerus, sehingga menegaskan sifat kekal (Baqa').
Ini adalah inti dari Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan. Sifat Ahad, Ash-Shamad, dan Kufuwan Ahad secara eksplisit menyatakan bahwa Allah sama sekali berbeda dari segala sesuatu yang diciptakan. Perbedaan ini bukan hanya dalam kekuasaan, tetapi dalam hakikat Dzat dan Sifat-Nya. Makhluk membutuhkan (butuh makan, butuh tidur, butuh diciptakan); Allah tidak (Ash-Shamad).
Sifat Ash-Shamad adalah manifestasi sempurna dari Qiyamuhu Binafsihi. Dia tidak membutuhkan tempat, tidak membutuhkan bantuan, dan tidak membutuhkan Pencipta. Keberadaan-Nya adalah esensial dan mutlak.
Ini adalah tema sentral, diringkas dalam Ahad dan dikuatkan dalam Kufuwan Ahad. Allah itu Esa dalam Dzat, Sifat, dan Af'al (perbuatan).
Surah Al-Ikhlas, dengan hanya empat ayatnya, berhasil menolak keyakinan kosmologis tentang dewa-dewa yang dilahirkan dan meninggal, keyakinan trinitas yang memecah belah Dzat, dan keyakinan pagan tentang dewa-dewa yang memiliki kelemahan manusiawi. Ia menetapkan standar keimanan yang tak terganggu.
Meskipun surah ini menjelaskan sifat-sifat Allah (Tauhid Ilmi), ia dinamakan Al-Ikhlas (Kemurnian Hati) karena ia memiliki dampak langsung pada tindakan manusia (Tauhid Amali).
Ketika seseorang menyadari bahwa Allah adalah Ash-Shamad (tempat satu-satunya tujuan), maka seluruh ibadah dan perbuatannya harus ditujukan semata-mata untuk mencari ridha Allah, dan bukan untuk pujian manusia, kekayaan duniawi, atau kehormatan. Pengakuan akan keesaan-Nya menuntut keesaan dalam niat beribadah.
Seorang Muslim yang menginternalisasi Ash-Shamad akan terbebas dari perbudakan kepada makhluk. Jika semua orang dan segala benda pada akhirnya membutuhkan Allah, mengapa harus takut atau berharap secara berlebihan kepada mereka? Rasa takut dan harapan tertinggi hanya layak ditujukan kepada Yang Maha Esa.
Saat krisis, Surah Al-Ikhlas berfungsi sebagai jangkar. Jika Allah Ahad, maka segala keputusan, takdir, dan penyelesaian masalah berada di tangan-Nya sendiri. Hal ini memberikan ketenangan batin bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Yang Maha Sempurna, dan tiada satupun yang dapat mengganggu kehendak-Nya.
Rasulullah ﷺ sering kali mengamalkan surah ini—bersama dengan Al-Falaq dan An-Nas—sebagai perlindungan harian. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tauhid yang termuat dalam Al-Ikhlas memiliki kekuatan esoteris yang mampu melindungi dari bahaya fisik dan spiritual.
Untuk memahami sepenuhnya keluasan Surah Al-Ikhlas, penting untuk melihat bagaimana empat ayat ini membuka pintu untuk memahami seluruh Asma'ul Husna. Meskipun hanya menyebut dua nama (Allah, Ahad, Shamad—dengan Shamad dianggap sebagai Sifat dan Nama), surah ini adalah kunci untuk memahami sisa 99 nama tersebut.
Sifat Ash-Shamad menegaskan kekuasaan mutlak Allah. Jika Dia adalah tempat bergantung segala sesuatu, berarti Dia memiliki kemampuan tak terbatas untuk memenuhi semua kebutuhan itu. Kekuasaan-Nya tidak memiliki sekutu (Kufuwan Ahad).
Sifat Ash-Shamad (tidak membutuhkan apa pun) secara otomatis menyiratkan bahwa Allah adalah Al-Ghani. Dia Maha Kaya, tidak bergantung pada kekayaan atau pujian dari makhluk. Kekayaan-Nya adalah esensial, sedangkan kekayaan makhluk adalah bersifat sementara dan fana.
Jika Dia adalah Ash-Shamad dan kita semua bergantung pada-Nya, maka Dialah satu-satunya sumber karunia sejati (Al-Wahhab). Setiap pemberian, baik itu materi, kesehatan, atau petunjuk, berasal dari-Nya. Keyakinan ini memastikan bahwa rasa terima kasih hanya ditujukan kepada-Nya.
Dengan demikian, Surah Al-Ikhlas adalah rangkuman teologis yang paling ringkas dan padat. Ia tidak meninggalkan ruang sedikit pun bagi keraguan atau kompromi mengenai kemutlakan Keesaan Allah. Barangsiapa yang memahaminya, sesungguhnya telah menguasai inti dari seluruh ajaran agama, karena agama didirikan di atas keyakinan akan Dzat yang dijelaskan dalam surah ini.
Pengamalan "contoh surat Al-Ikhlas" dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya tentang membaca, tetapi tentang menginternalisasi deklarasi tauhid ini: melepaskan diri dari ketergantungan makhluk fana dan mengikatkan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta yang Maha Esa, Maha Sempurna, dan Tiada Bandingan.
Konsep Tauhid yang dijelaskan dalam Surah Al-Ikhlas adalah penawar utama terhadap dua ancaman teologis terbesar dalam sejarah pemikiran: Dualisme dan Trinitas.
Dualisme, seperti yang dianut oleh beberapa tradisi (misalnya Zoroastrianisme dengan Ahura Mazda/Ahriman), mengajarkan bahwa ada dua kekuatan abadi dan setara: Kebaikan (Cahaya) dan Kejahatan (Kegelapan). Jika ada dua Tuhan yang Kufuwan Ahad (setara), maka Surah Al-Ikhlas menolaknya dengan tegas.
Konsep Ahad dan Kufuwan Ahad memastikan bahwa hanya ada satu sumber kekuasaan dan Penciptaan. Kejahatan dan kebaikan, meskipun saling bertentangan dalam realitas manusia, keduanya adalah manifestasi dari izin Allah. Kejahatan bukanlah entitas yang setara dengan Allah, melainkan ciptaan yang diciptakan untuk ujian dan keseimbangan moral di dunia.
Ayat ketiga, Lam Yalid wa Lam Yuulad, secara langsung menolak doktrin kelahiran atau perolehan sifat ilahi. Trinitas, dalam konteks Al-Ikhlas, dianggap sebagai bentuk syirik karena melanggar keesaan Dzat (Ahad) dan kesempurnaan-Nya (Lam Yalid). Jika Dzat Allah terbagi menjadi tiga pribadi yang setara (Bapa, Anak, Roh Kudus), maka Dia tidak lagi Ahad (Esa Mutlak), melainkan Wahid yang terbagi secara internal.
Al-Ikhlas menyajikan konsep ketuhanan yang murni dan bersih dari segala bentuk analogi manusiawi, kekeluargaan, atau keterbatasan materi. Tuhan adalah realitas yang sepenuhnya transenden, mandiri, dan tidak dapat dipartisi. Pemahaman yang jernih tentang Surah Al-Ikhlas membawa jiwa kepada kebebasan sejati—kebebasan dari perantara, kebebasan dari ketakutan akan kekuatan lain, dan kebebasan dari segala bentuk khayalan ketuhanan.
Surah ini tidak hanya merupakan deklarasi akidah, tetapi juga panduan etika. Mengamalkan Surah Al-Ikhlas dalam kehidupan sehari-hari berarti mencerminkan prinsip-prinsip ketuhanan dalam karakter pribadi.
Karena kita tahu Allah adalah Ash-Shamad dan Ahad, maka setiap amal—baik salat, sedekah, bekerja, maupun menuntut ilmu—harus diarahkan hanya kepada-Nya. Ini mencegah riya (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas). Ikhlas membuat amal kecil menjadi besar, karena dinilai berdasarkan kualitas niat, bukan kuantitasnya.
Di era modern, banyak orang menyembah kekayaan, teknologi, atau kekuasaan politik, menjadikannya 'Shamad' baru yang diharapkan dapat memenuhi segala kebutuhan mereka. Memahami bahwa hanya Allah yang Ash-Shamad membantu Muslim menjaga keseimbangan, menggunakan sarana dunia tanpa menjadikannya tujuan akhir, dan menghindari keputusasaan saat sarana tersebut gagal.
Surah Al-Ikhlas dimulai dengan perintah "Qul" (Katakanlah). Ini menunjukkan bahwa Tauhid bukan hanya keyakinan privat, tetapi sebuah deklarasi publik yang harus disampaikan dengan jelas. Dalam berinteraksi dengan dunia, seorang Muslim harus tegas menjelaskan konsep Tauhid, menolak segala bentuk syirik, dan memberikan definisi yang jelas tentang hakikat Tuhan yang disembah.
Surah Al-Ikhlas adalah piagam Tauhid. Membaca, menghafal, dan merenungkan maknanya adalah salah satu cara paling efektif untuk memelihara iman dari kontaminasi syirik halus maupun nyata. Ia adalah karunia yang disarikan, mengandung kebenaran mutlak yang mencakup metafisika, kosmologi, dan etika, semua terangkum dalam empat baris yang menakjubkan.
Kajian ini, dengan fokus mendalam pada setiap kata dan implikasinya, bertujuan untuk mengembalikan pembaca kepada kemurnian Tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, menjadikannya fondasi yang kokoh dan tak tergoyahkan dalam menghadapi gelombang ideologi yang silih berganti.