Dalam era modern ini, konsep afirmasi semakin populer. Afirmasi, secara sederhana, adalah pernyataan positif yang diulang-ulang untuk memprogram pikiran bawah sadar agar mencapai tujuan tertentu. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap praktik ini? Apakah afirmasi sesuai dengan ajaran agama Islam, ataukah ada kekhawatiran yang perlu diperhatikan? Memahami hukum afirmasi dalam Islam memerlukan kajian mendalam terhadap prinsip-prinsip dasar syariat dan dampaknya pada keimanan seorang Muslim.
Salah satu poin krusial yang sering menjadi perdebatan adalah hubungan antara afirmasi dengan konsep tawakal dalam Islam. Tawakal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha maksimal. Afirmasi, jika dipahami sebagai upaya untuk "memanifestasikan" keinginan semata-mata melalui kekuatan pikiran, bisa berbenturan dengan hakikat tawakal. Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak Allah (Qadarullah). Mengandalkan kekuatan diri sendiri atau pikiran tanpa melibatkan Allah dalam doa dan usaha adalah bentuk kesyirikan yang tersembunyi.
Oleh karena itu, afirmasi dalam Islam sebaiknya diarahkan pada penguatan niat yang baik, motivasi diri untuk berbuat kebaikan, dan keyakinan pada pertolongan Allah. Misalnya, seseorang bisa mengafirmasi, "Dengan pertolongan Allah, saya akan menjadi hamba yang lebih taat," atau "Saya yakin Allah akan memudahkan usaha saya dalam mencari rezeki yang halal." Afirmasi semacam ini tidak menafikan peran Allah, melainkan memperkuat koneksi spiritual dan dorongan untuk berbuat.
"Dan pada Allah-lah hendaklah orang-orang yang beriman bertawakal." (QS. Ibrahim: 11)
Islam sangat menekankan pentingnya doa sebagai senjata seorang mukmin. Doa adalah bentuk komunikasi langsung dengan Allah, permohonan, dan pengakuan atas ketergantungan kita kepada-Nya. Afirmasi dapat dilihat sebagai pelengkap atau penguat doa, bukan pengganti. Ketika seorang Muslim berucap, misalnya, "Saya memiliki kesehatan yang prima berkat rahmat Allah," ini bisa menjadi cara untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan dan memohon agar nikmat tersebut terus terjaga.
Namun, perlu diwaspadai jika afirmasi diartikan sebagai keyakinan bahwa ucapan positif semata bisa mengubah takdir tanpa adanya usaha dan doa yang tulus. Hal ini dapat mengarah pada sikap malas atau merasa tidak perlu berikhtiar karena "sudah diyakini akan terwujud." Islam mengajarkan keseimbangan antara keyakinan (iman), ucapan (doa dan zikir), dan perbuatan (ikhtiar).
Jika dikelola dengan benar, afirmasi dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi seorang Muslim, asalkan tetap dalam koridor syariat.
Ada beberapa aspek dari praktik afirmasi yang berpotensi menyimpang dari ajaran Islam, yaitu:
Hukum afirmasi dalam Islam pada dasarnya bersifat fleksibel, tergantung bagaimana ia dipahami dan dipraktikkan. Jika afirmasi dimaknai sebagai bentuk penguatan niat positif, motivasi diri untuk beramal saleh, dan pengingat akan kebesaran Allah serta pertolongan-Nya, maka ia dapat menjadi sarana yang baik untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Namun, jika afirmasi mengarah pada kepercayaan pada kekuatan diri sendiri, mengabaikan doa dan ikhtiar, atau bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, maka ia wajib dihindari karena dapat menjerumuskan pada kesyirikan. Selalu kembalikan segala sesuatu kepada Allah, baik dalam niat, ucapan, maupun perbuatan.