Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam. Dikenal sebagai salah satu surat Makkiyyah, ia diturunkan pada periode sulit dakwah Rasulullah ﷺ, membawa pesan-pesan esensial tentang keimanan, kesabaran, dan ujian hidup. Secara tematik, surat ini merupakan masterplan ilahi untuk menghadapi empat pilar fitnah utama yang akan mengguncang umat manusia: fitnah agama (kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain).
Namun, di antara keseluruhan surat yang mulia ini, terdapat sepuluh ayat pertama yang secara spesifik diberikan keutamaan luar biasa, berfungsi sebagai perisai (tameng) bagi seorang mukmin. Keutamaan ini bukan sekadar janji pahala biasa, melainkan perlindungan langsung dari fitnah terbesar dan paling menyesatkan yang pernah ada, yaitu Fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.
Memahami dan mengamalkan sepuluh ayat ini bukan hanya sekadar membaca huruf-huruf Arab, tetapi juga menghayati inti tauhid dan penegasan kekuasaan Allah yang terkandung di dalamnya. Keberhasilan dalam menghadapi fitnah Dajjal sangat bergantung pada kekuatan pondasi tauhid yang tertanam dalam diri, dan fondasi ini diperkuat melalui penghayatan ayat 1-10 Surat Al-Kahfi.
Keutamaan membaca sepuluh ayat pertama Surat Al-Kahfi diriwayatkan dalam hadis-hadis sahih yang secara eksplisit menyebutkan manfaat perlindungan dari Dajjal. Hadis ini menegaskan urgensi pengamalan ayat-ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masa-masa di mana ujian dan cobaan mulai menyerupai fitnah akhir zaman.
Salah satu riwayat paling masyhur datang dari Imam Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
Riwayat lain, seperti yang disebutkan dalam Sunan Abu Dawud dan An-Nasa'i, terkadang menyebutkan sepuluh ayat pertama, dan pada riwayat lain menyebutkan sepuluh ayat terakhir. Ini menunjukkan bahwa baik permulaan maupun penutup surat ini memiliki kekuatan pelindung yang luar biasa. Namun, fokus utama yang menjadi konsensus para ulama dalam konteks perlindungan awal yang fundamental adalah sepuluh ayat pertama, karena ia memuat penegasan kebenaran wahyu dan penolakan terhadap keyakinan yang batil.
Kata kunci dalam hadis ini adalah 'ishmah (perlindungan) dan hifzh (menghafal/menjaga). Perlindungan ini bersifat ganda: perlindungan fisik dari pengaruh Dajjal ketika ia muncul, dan perlindungan spiritual dari keraguan dan kesesatan yang ditanamkan Dajjal sebelum kedatangannya. Menghafal di sini tidak hanya berarti mengingat lafazhnya, tetapi juga meresapi maknanya, sehingga kandungan tauhidnya menjadi benteng kokoh dalam hati.
Untuk memahami mengapa hanya sepuluh ayat ini yang dipilih sebagai perisai Dajjal, kita perlu menganalisis secara mendalam tema-tema tauhid dan anti-kekafiran yang terkandung di dalamnya. Sepuluh ayat ini adalah deklarasi mutlak mengenai keesaan Allah, kesempurnaan Al-Qur'an, dan penolakan keras terhadap segala bentuk syirik dan kesesatan.
Ayat pertama membuka dengan pujian kepada Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepada hamba-Nya dan tidak menjadikan padanya kebengkokan (العِوَج, *al-'iwaj*). Ini adalah pondasi utama pertahanan. Dajjal, sebagai manifestasi terbesar kebatilan, akan mencoba membengkokkan kebenaran, memutarbalikkan fakta, dan menyajikan kesesatan sebagai petunjuk.
Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah *Qayyim* (lurus, tegak, tidak bengkok). Ketika seorang mukmin berpegang pada keyakinan bahwa sumber petunjuknya adalah lurus dan sempurna, ia akan kebal terhadap segala tipu daya Dajjal yang penuh dengan 'iwaj (kebengkokan, penyimpangan, dan kontradiksi).
Fitnah Dajjal berpuncak pada klaim ketuhanan (uluhiyah). Ia akan melakukan mukjizat palsu untuk meyakinkan manusia bahwa ia adalah Tuhan. Ayat 4 dan 5 secara langsung menghancurkan premis klaim ketuhanan ini dengan menolak anggapan bahwa Allah memiliki anak.
Pengingkaran bahwa Allah mempunyai anak adalah inti tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Dajjal muncul dengan kekuasaan sementara yang menipu. Ayat-ayat ini memberikan kekebalan kognitif: jika Allah Yang Maha Pencipta sekalipun tidak beranak (dan mustahil bagi-Nya), apalagi makhluk yang lemah dan terbatas seperti Dajjal? Kalimat ini menjadi tameng filosofis yang menghalangi penerimaan terhadap klaim ketuhanan palsu apa pun.
Dajjal akan menguasai kekayaan dunia, memberikan kesuburan palsu, dan menguji manusia dengan kemewahan dan kesulitan. Ayat 7 dan 8 mengingatkan bahwa perhiasan dunia (*zinah*) adalah ujian, dan pada akhirnya, bumi dan segala isinya akan kembali menjadi kering dan tandus (*sha'idan juruza*).
Ayat-ayat ini mengajarkan detasemen dari harta. Kekuatan Dajjal terletak pada kemampuannya mengendalikan hujan dan rezeki. Seorang yang telah meresapi ayat 7-8 akan menyadari bahwa kekayaan yang ditawarkan Dajjal hanyalah kesenangan sementara dan ujian semata, tidak sebanding dengan pahala abadi.
Ayat 9 dan 10 mulai memperkenalkan kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang mencari perlindungan dari fitnah raja zalim dengan berlindung di gua.
Doa para pemuda, "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini," adalah inti dari pertahanan diri. Ayat-ayat ini mengajarkan bahwa ketika fitnah menjadi begitu dominan di dunia luar, seorang mukmin harus berani mengisolasi diri secara spiritual, memohon rahmat dan *rusyd* (petunjuk yang lurus) langsung dari Allah. Ashabul Kahfi adalah prototipe mukmin yang rela melepaskan dunia demi menjaga iman. Ini adalah sikap yang wajib dimiliki saat menghadapi Dajjal.
Bagaimana sepuluh ayat ini bekerja sebagai perisai? Perlindungan yang ditawarkan bukanlah jimat atau mantera kosong, melainkan sebuah transformasi internal yang membuat hati dan pikiran kebal terhadap ilusi Dajjal. Mekanisme ini dapat diuraikan melalui tiga lapis pertahanan:
Ayat 4 dan 5 berfungsi sebagai filter kognitif yang kuat. Dajjal akan muncul dengan membawa surga dan neraka palsu. Ia akan menghidupkan orang mati (dengan izin Allah sebagai ujian) dan memerintahkan langit untuk menurunkan hujan. Bagi orang yang meresapi ayat 1-10, klaim Dajjal akan langsung tertolak karena mereka telah memahami bahwa klaim memiliki anak adalah kebohongan terbesar yang disandarkan kepada Allah. Apabila klaim yang lebih sederhana (memiliki anak) adalah dusta, maka klaim ketuhanan mutlak Dajjal tentu lebih besar kebohongannya.
Ayat 7 dan 8 menempatkan kekayaan duniawi dalam perspektif yang benar: ia hanyalah ujian. Dajjal akan datang ketika dunia berada dalam kesulitan ekonomi, dan ia akan menawarkan kekayaan melimpah bagi mereka yang mengikutinya. Seorang yang kokoh dengan pemahaman bahwa segala perhiasan bumi akan menjadi "padang yang kering dan tandus" (صَعِيدًا جُرُزًا) akan mampu melihat fatamorgana harta yang ditawarkan Dajjal. Ia tidak akan menjual imannya demi kekayaan fana.
Ayat 1 dan 2 menekankan bahwa Al-Qur'an itu *Qayyim* (lurus, tegak). Fitnah Dajjal adalah fitnah *al-'iwaj* (kebengkokan, penyimpangan). Ia membalikkan kebenaran dan kebatilan. Orang yang memiliki pondasi kuat bahwa petunjuk Allah tidak mungkin bengkok akan selalu memiliki kompas moral yang berfungsi. Ketika Dajjal menawarkan air yang sebenarnya adalah api, atau api yang sebenarnya adalah air, hati mukmin yang dijaga oleh ayat 1-10 akan mampu membedakan hakikat di balik ilusi.
Mengamalkan sepuluh ayat ini tidak cukup hanya dengan membacanya sesekali. Para ulama menekankan pentingnya menjadikan amalan ini rutin dan disertai *tadabbur* (perenungan mendalam).
Diriwayatkan dalam beberapa jalur, membaca Surah Al-Kahfi, terutama pada hari Jumat, akan memancarkan cahaya (*nur*) yang membentang dari tempatnya membaca hingga Ka'bah, atau menerangi antara dua Jumat. Sepuluh ayat pertama adalah sumber utama cahaya spiritual ini. Cahaya ini bukan sekadar metafora, melainkan kekuatan batin yang menerangi jalan, menghalau keraguan, dan melindungi dari kegelapan fitnah.
Dajjal dikenal sebagai entitas kegelapan yang membingungkan. Cahaya yang dipancarkan oleh ayat-ayat ini berfungsi sebagai GPS spiritual, memastikan bahwa mukmin tidak tersesat dalam kabut ilusi Dajjal. Keutamaan *nur* ini adalah prasyarat untuk mampu membedakan kebenaran (hak) dari kebatilan (batil).
Pengamalan yang kontinu mengajarkan bahwa hidup harus dijalani di atas prinsip *Qayyim* (kelurusan) yang bersumber dari Al-Qur'an. Setiap keputusan, setiap tantangan, dan setiap kemewahan harus diukur berdasarkan standar ilahi yang lurus ini. Ini menciptakan kekebalan terhadap relativisme moral yang akan dibawa oleh Dajjal, di mana keburukan bisa tampak baik dan kebaikan bisa tampak buruk.
Dengan sering merenungkan Ayat 9 dan 10, seorang mukmin melatih dirinya untuk memiliki mentalitas Ashabul Kahfi. Mereka adalah generasi yang tidak takut kehilangan segalanya demi menjaga iman. Ini adalah bekal terpenting di akhir zaman, di mana mempertahankan keimanan diibaratkan menggenggam bara api. Ayat-ayat ini memberikan motivasi dan kerangka berpikir bahwa keberanian dalam pengasingan spiritual (berbeda dari arus sesat masyarakat) adalah tindakan yang dirahmati Allah.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai kekuatan perlindungan yang terkandung dalam sepuluh ayat ini, diperlukan penggalian yang lebih dalam terhadap diksi dan terminologi kunci yang digunakan Allah SWT. Pilihan kata dalam ayat 1 dan 2, khususnya pasangan kata *al-'iwaj* dan *Qayyim*, adalah inti dari benteng pertahanan ini.
Kata *al-'iwaj* (عِوَج) memiliki konotasi yang sangat spesifik dalam bahasa Arab. Ia merujuk pada kebengkokan atau ketidaklurusan yang bersifat non-fisik, biasanya berkaitan dengan makna, ideologi, dan jalan hidup. Kebengkokan ini adalah ciri khas fitnah Dajjal. Dajjal tidak hanya menipu dengan kebohongan, tetapi ia menyajikan kebatilan dengan kemasan kebenaran, memutarbalikkan nilai-nilai fundamental. Fitnah Dajjal adalah representasi puncak dari semua penyimpangan ideologis dan spiritual yang telah diwaspadai oleh Islam.
Apabila seseorang memahami dan meyakini ayat pertama, ia secara otomatis telah menanamkan dalam dirinya imunisasi terhadap segala bentuk penyimpangan filosofis. Ia tidak akan tergoyahkan oleh argumen-argumen menyesatkan, propaganda, atau relativisme yang menjadi senjata utama Dajjal di zaman modern dan nanti.
Kontrasnya, *Qayyim* (قَيِّمًا) dalam ayat 2 berarti sesuatu yang lurus, tegak, dan memiliki otoritas untuk mengatur (pemimpin). Al-Qur'an adalah petunjuk yang tegak lurus, tidak hanya tidak memiliki kebengkokan, tetapi ia juga memimpin dan mengatur kehidupan. Pemahaman akan Al-Qur'an sebagai *Qayyim* memberikan stabilitas mutlak bagi pemikiran seorang mukmin. Di tengah badai fitnah Dajjal, yang ditandai oleh kekacauan informasi dan moral, Al-Qur'an (diwakili oleh sepuluh ayat ini) berfungsi sebagai jangkar yang tak tergoyahkan. Siapa pun yang berpegang pada ajaran yang *Qayyim* tidak akan pernah terseret ke dalam arus *al-'iwaj*.
Meskipun Dajjal sebagai individu adalah sosok yang akan muncul menjelang akhir zaman, fitnah yang ia representasikan telah beroperasi dalam bentuk yang lebih kecil (Dajjal-Dajjal kecil) sepanjang sejarah, dan intensitasnya meningkat di era modern. Sepuluh ayat Al-Kahfi ini memberikan perlindungan terhadap inti dari manifestasi fitnah Dajjal di zaman sekarang:
Inti dari kekuasaan Dajjal adalah kontrolnya atas kekayaan (mengeluarkan harta dari bumi). Di era modern, materialisme dan konsumerisme ekstrem adalah manifestasi dari fitnah harta. Manusia didorong untuk mengorbankan waktu, nilai, dan bahkan iman demi akumulasi harta dan kenyamanan. Ayat 7 dan 8, yang mengingatkan bahwa semua perhiasan bumi hanyalah ujian dan pada akhirnya akan lenyap, adalah penawar terbaik terhadap tekanan sosial untuk hidup dalam kegilaan duniawi.
Dajjal akan memerintahkan dan memaksakan kehendaknya. Di zaman kita, ini termanifestasi dalam propaganda masif dan dominasi media yang mencoba menstandardisasi pemikiran. Ayat 1 dan 2 menegaskan bahwa hanya Al-Qur'an yang lurus. Ini memberikan landasan kritis untuk menolak narasi yang bengkok, tidak peduli seberapa kuat atau persuasifnya narasi tersebut didukung oleh kekuatan duniawi.
Fitnah terbesar adalah meragukan keesaan Allah. Klaim bahwa Allah memiliki anak (Ayat 4-5) mencakup semua bentuk penyimpangan tauhid dan syirik. Di era modern, ini meluas ke ideologi-ideologi sekuler yang menempatkan konsep buatan manusia (seperti sains, rasio, atau negara) di atas kedaulatan Allah. Mukmin yang menghayati ayat-ayat ini akan secara naluriah menolak segala sistem atau pemikiran yang berani merampas hak prerogatif Allah SWT.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa Nabi ﷺ secara spesifik menyoroti sepuluh ayat pertama, padahal seluruh surat Al-Kahfi adalah pelindung fitnah. Jawabannya terletak pada fungsi strategis sepuluh ayat tersebut sebagai *muqaddimah* (pendahuluan) yang paling fundamental:
Agar keutamaan perlindungan ini dapat terwujud secara maksimal, pembacaan harus disertai dengan *tadabbur* (perenungan) yang mendalam. Berikut adalah langkah-langkah praktis dalam merenungkan sepuluh ayat pertama Surah Al-Kahfi:
Saat membaca Ayat 1, renungkanlah bahwa segala puji hanya milik Allah yang menurunkan Kitab yang sempurna. Yakini sepenuhnya bahwa tidak ada kebengkokan, tidak ada kontradiksi, dan tidak ada kekurangan dalam petunjuk-Nya. Bandingkan petunjuk ini dengan kerumitan dan kekacauan ajaran manusia.
Ayat 2 dan 4 mengingatkan tentang *ba'san syadidan* (siksa yang pedih) bagi yang menentang, dan peringatan bagi mereka yang mengklaim Allah memiliki anak. Renungkanlah betapa besarnya dosa syirik. Setiap kali membaca ini, perbarui janji untuk menjauhi segala bentuk syirik, baik syirik besar maupun syirik tersembunyi (riya', kesombongan, atau mengikuti hawa nafsu secara mutlak).
Renungkan Ayat 5, "Amat besar perkataan yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta." Tanamkan dalam hati bahwa semua klaim ketuhanan palsu, baik di masa lalu, sekarang, atau di masa depan (Dajjal), adalah kebohongan yang sangat besar. Ini menciptakan penghalang psikologis yang tebal terhadap penipuan.
Saat membaca Ayat 7 dan 8, periksa hati Anda. Seberapa besar Anda terikat pada perhiasan dunia? Sadari bahwa pekerjaan, mobil, rumah, dan jabatan hanyalah ujian yang sementara. Ketika Dajjal datang dengan kekayaan, ingatan akan Ayat 8 akan mengingatkan bahwa semua itu akan kembali menjadi tanah yang tandus.
Ayat 10 adalah puncak praktis dari sepuluh ayat ini: doa para pemuda yang meminta rahmat dan *rusyd* (petunjuk yang lurus). Akhiri pembacaan sepuluh ayat ini dengan mengulang doa tersebut, meminta Allah agar memberikan rahmat-Nya dalam urusan Anda dan membimbing Anda pada jalan yang lurus, persis seperti yang diminta oleh Ashabul Kahfi saat menghadapi kegelapan fitnah di zamannya.
Meskipun kisah Ashabul Kahfi baru dimulai secara detail setelah Ayat 10, penyebutan mereka dalam Ayat 9-10 memberikan gambaran awal tentang model pertahanan terbaik melawan fitnah. Kisah ini adalah cerminan miniatur dari apa yang harus dilakukan umat Islam saat menghadapi fitnah Dajjal yang maha dahsyat.
Para pemuda Ashabul Kahfi memilih gua sebagai tempat berlindung. Gua melambangkan isolasi dari masyarakat yang rusak dan rezim yang zalim. Dalam konteks Dajjal, ini berarti umat harus siap meninggalkan komunitas, tatanan sosial, dan bahkan keluarga, jika mereka mengharuskan kompromi terhadap tauhid. Berlindung di gua berarti mencari tempat yang aman dari pengaruh ideologis yang merusak.
Doa mereka, "ربنا آتنا من لدنك رحمة وهيئ لنا من أمرنا رشدا" (Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami), menunjukkan bahwa kunci keberhasilan dalam menghadapi fitnah adalah ketergantungan total kepada Allah (Tawakkal) dan permintaan spesifik untuk *Rusyd* (bimbingan yang benar).
*Rusyd* adalah lawan dari *I'waj*. Ketika Dajjal muncul dengan tipuan yang sangat meyakinkan, satu-satunya yang dapat menyelamatkan adalah petunjuk ilahi yang murni, yang hanya bisa diberikan atas rahmat Allah. Inilah sebabnya mengapa doa ini sangat vital dan ditempatkan sebagai penutup dari sepuluh ayat perlindungan.
Keutamaan membaca Surat Al Kahfi ayat 1-10 adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ, berfungsi sebagai peta jalan dan perisai yang dibutuhkan untuk menavigasi ujian terberat sepanjang sejarah manusia. Perlindungan dari Dajjal bukan hanya sekadar hadiah, melainkan hasil dari disiplin spiritual dan kognitif yang dibentuk oleh ayat-ayat tersebut.
Kesinambungan pengamalan, disertai perenungan yang mendalam terhadap konsep *Qayyim* (kelurusan Al-Qur'an) dan penolakan terhadap *al-'iwaj* (segala bentuk penyimpangan dan klaim palsu), akan memastikan bahwa ketika fitnah terbesar melanda, seorang mukmin akan berdiri tegak, diliputi oleh cahaya yang tak dapat ditembus oleh kegelapan Dajjal.
Maka, mari kita jadikan sepuluh ayat mulia ini sebagai kompas harian dan bekal utama, bukan hanya untuk menghadapi Dajjal yang akan datang, tetapi juga untuk melawan Dajjal-Dajjal kecil berupa keraguan, kesenangan fana, dan penyimpangan yang sudah ada di sekitar kita hari ini.
Dengan demikian, perlindungan yang dijanjikan oleh Rasulullah ﷺ adalah jaminan bagi mereka yang tidak hanya membaca, tetapi juga menghidupkan makna dari keesaan Allah, kesempurnaan wahyu-Nya, dan kesiapan untuk berkorban demi mempertahankan keimanan yang lurus dan tegak.
Kita kembali melihat Ayat 2: "قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ". *Basan Syadid* (بَأْسًا شَدِيدًا) berarti siksa atau hukuman yang sangat keras. Dalam konteks Dajjal, ancaman ini memiliki dua dimensi:
Dimensi Akhirat: Hukuman neraka bagi mereka yang mengikuti Dajjal dan menyekutukan Allah. Ini adalah konsekuensi abadi dari kegagalan dalam ujian fitnah terbesar.
Dimensi Dunia: *Basan Syadid* juga merujuk pada kesulitan ekstrem yang akan dialami oleh mereka yang menolak Dajjal. Dajjal akan menyiksa, membuat kelaparan, dan mengancam kehidupan mereka yang beriman. Namun, dengan membaca ayat ini, mukmin diingatkan bahwa penderitaan duniawi ini adalah ujian kecil dibandingkan siksa Allah. Kesadaran ini menumbuhkan ketahanan luar biasa (Shabar) yang diperlukan untuk menghadapi Dajjal tanpa gentar.
Inilah yang membedakan mukmin yang berpegang pada Ayat 1-10: mereka melihat penderitaan di jalan Allah sebagai peringatan (إنذار), bukan sebagai bencana, sementara mereka yang meninggalkan ayat-ayat ini melihatnya sebagai akhir segalanya.
Ayat pertama menyebutkan, "الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ" (Yang telah menurunkan Kitab kepada hamba-Nya). Pilihan kata 'Abd (hamba) merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ, menekankan bahwa kemuliaan tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah status kehambaan (*ubudiyah*) yang tulus kepada Allah.
Dajjal akan menipu manusia dengan menjanjikan kemuliaan palsu dan kekuasaan duniawi. Sementara itu, Ayat 1 mengajarkan bahwa puncak martabat adalah menjadi hamba Allah yang taat dan menerima petunjuk-Nya. Ketika hati seseorang dipenuhi dengan kesadaran akan kehambaannya, ia akan dengan mudah menolak tawaran kemuliaan palsu dari Dajjal. Keutamaan perlindungan ini berakar pada pengakuan dan penghormatan terhadap status kehambaan yang paling mulia, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Seringkali, fitnah Dajjal dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi generasi muda. Kisah Ashabul Kahfi (Ayat 9-10) secara eksplisit merujuk pada *al-fityah* (pemuda). Ini menegaskan bahwa peran vital dalam menghadapi fitnah adalah tanggung jawab pemuda yang memiliki keberanian spiritual. Membaca dan mengajarkan sepuluh ayat ini kepada anak-anak dan generasi penerus adalah investasi terbesar dalam membangun benteng pertahanan spiritual umat.
Pemuda masa kini menghadapi fitnah yang sama dahsyatnya (meskipun bentuknya berbeda) dengan yang dihadapi Ashabul Kahfi: tekanan untuk mengikuti nilai-nilai sesat, meninggalkan agama demi keuntungan sosial, dan merasa asing (ghuraba') karena mempertahankan prinsip tauhid. Ayat 1-10 berfungsi sebagai panduan bahwa memohon rahmat dan petunjuk lurus adalah jalan yang dipilih oleh para pemuda saleh di masa lalu, dan jalan itulah yang akan menyelamatkan mereka di masa depan.
Dalam totalitas maknanya, sepuluh ayat pertama Surah Al-Kahfi adalah ringkasan sempurna dari aqidah (keyakinan) yang benar, yang menolak kebatilan, menegaskan kekuasaan Allah, menyepelekan dunia, dan mengajarkan ketergantungan total kepada rahmat ilahi. Inilah esensi perlindungan dari fitnah Dajjal.