Inti dari keyakinan monoteistik terletak pada pengakuan terhadap Kedaulatan Yang Maha Tunggal. Frasa Maliki Yawm Ad-Din, yang berdiri sebagai pilar sentral Surah Al-Fatihah, bukan sekadar pujian lisan, melainkan sebuah deklarasi akidah yang mengikat seluruh eksistensi manusia pada kesadaran abadi tentang hari pertanggungjawaban universal. Pemahaman yang komprehensif terhadap konsep ini membentuk fondasi moral, spiritual, dan jurisprudensi dalam kehidupan seorang mukmin.
I. Analisis Linguistik dan Teologis: Membedah Maliki Yawm Ad-Din
Frasa Maliki Yawm Ad-Din terdiri dari empat komponen fundamental yang, ketika digabungkan, menghasilkan sebuah konsep teologis yang mahadahsyat. Untuk memahami kedalaman maknanya, kita harus menelaah setiap kata secara terpisah, mengaitkannya dengan tradisi linguistik Arab klasik, serta implikasi akidahnya.
A. Studi Mendalam Kata ‘Malik’ dan ‘Maalik’
Terdapat dua bentuk bacaan (qira'at) utama yang diakui dalam frasa ini: Mālik (dengan alif panjang, berarti Pemilik/Pemegang Mutlak) dan Malik (tanpa alif panjang, berarti Raja/Penguasa). Perbedaan ini, meskipun kecil secara fonetik, membawa nuansa makna yang kaya dalam konteks teologi:
1. Malik (Raja/Sovereign)
Kata Malik merujuk pada kekuasaan otoritatif dan pemerintahan. Seorang Malik memiliki hak untuk memerintah, menetapkan hukum, dan melaksanakan keputusan atas rakyatnya. Dalam konteks Allah (Subhanahu Wa Ta'ala), ini menegaskan bahwa pada Hari Pembalasan, Dia adalah satu-satunya entitas yang memiliki Otoritas Eksekutif dan Legislatif. Tidak ada hakim lain yang akan diadili di sisi-Nya, tidak ada kekuasaan intervensi yang dapat mengubah keputusan-Nya, dan tidak ada lembaga banding yang tersedia. Kekuatan-Nya adalah murni dan tidak terbagi. Penggunaan Malik menekankan aspek ketakutan dan penghormatan (khawf), mengingatkan hamba akan keagungan Raja Semesta yang di hadapan-Nya semua raja duniawi menjadi tidak berarti.
Kedaulatan ini mencakup segala sesuatu yang terjadi pada hari itu—dari peniupan sangkakala, pengumpulan (hashr), penghitungan (hisab), hingga penetapan tempat kembali. Kekuasaan Raja (Malik) adalah dinamis, aktif dalam mengatur dan memutuskan nasib setiap jiwa. Kekuatan Raja ini melampaui kepemilikan material; ia adalah kepemilikan atas hak untuk bertindak secara berdaulat.
2. Maalik (Pemilik/Proprietor)
Kata Mālik merujuk pada kepemilikan (milkiyyah) yang absolut. Seorang Maalik adalah Pemilik segala sesuatu. Ketika Allah disifatkan sebagai Mālik Yawm Ad-Din, ini menunjukkan bahwa Dia tidak hanya memerintah hari itu (seperti seorang Raja), tetapi Dia juga secara intrinsik dan esensial memiliki hari itu beserta segala isinya: waktu, peristiwa, hasil, dan semua jiwa yang berkumpul di dalamnya. Kepemilikan ini bersifat total, berbeda dengan kepemilikan manusia yang parsial dan sementara.
Penggunaan Mālik menekankan kemutlakan kekuasaan Allah (Tauhid Rububiyyah) dan menekankan aspek harapan (rajā’) dan anugerah. Karena Dia adalah Pemilik yang memiliki hak penuh, Dia juga berhak memberikan karunia, ampunan, dan kemurahan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, tanpa ada yang dapat menuntut-Nya. Dalam konteks Hari Pembalasan, manusia tidak lagi memiliki apa-apa, bahkan diri mereka sendiri. Mereka sepenuhnya berada di bawah kepemilikan dan kendali Mālik.
Para ulama klasik, seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Imam Ath-Thabari, seringkali menyimpulkan bahwa kedua qira'at ini saling melengkapi, yang satu menekankan otoritas (Malik) dan yang lain menekankan kepemilikan (Maalik). Kekuasaan Allah pada hari itu adalah gabungan sempurna dari Otoritas Raja dan Kepemilikan Mutlak.
B. Pengertian ‘Yawm’ (Hari)
Kata Yawm secara harfiah berarti 'hari' atau periode waktu. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, terutama dalam hubungannya dengan Kiamat, Yawm seringkali merujuk pada sebuah era, periode yang sangat panjang, atau momen puncak dari suatu peristiwa. Allah berfirman bahwa satu hari di sisi-Nya bisa setara dengan seribu tahun atau bahkan lima puluh ribu tahun menurut perhitungan manusia. Yawm Ad-Din bukanlah 24 jam biasa, melainkan periode yang amat panjang dan penuh peristiwa yang mengerikan dan agung, dimulai dari kebangkitan hingga penempatan abadi di Surga atau Neraka.
Aspek waktu ini penting karena ia menghilangkan ilusi keterbatasan. Kedaulatan Allah adalah abadi, dan Hari Pembalasan adalah manifestasi kekuasaan-Nya yang tidak terbatas oleh durasi fana. Panjangnya hari tersebut adalah bagian dari ujian dan pembalasan, di mana kesabaran dan keimanan manusia diuji hingga batas maksimal.
C. Pemaknaan Komprehensif Kata ‘Ad-Din’ (Pembalasan/Agama)
Kata Ad-Din memiliki spektrum makna yang luas dalam bahasa Arab, tetapi dalam konteks ini, ia memiliki dua makna utama yang saling terkait erat:
1. Pembalasan (Recompense/Judgement)
Ini adalah makna yang paling dominan dalam frasa Maliki Yawm Ad-Din. Hari Pembalasan adalah hari di mana setiap jiwa akan menerima hasil yang pantas dari perbuatannya. Konsep ini adalah manifestasi sempurna dari keadilan ilahi (Al-Adl). Tidak ada amal baik sekecil zarrah pun yang akan terlewatkan, dan tidak ada kezaliman sekecil zarrah pun yang akan dibiarkan tanpa hukuman. Hari ini menghapus semua ketidakadilan yang terjadi di dunia fana.
Pembalasan ini tidak hanya bersifat hukuman, tetapi juga ganjaran (pahala). Kedaulatan Allah di hari itu memastikan bahwa pahala yang diberikan kepada penghuni Surga adalah mutlak, tidak pernah berkurang, dan abadi, setara dengan kemurahan dan kekayaan Pemilik Yang Maha Agung.
2. Agama/Jalan Hidup (Way of Life)
Makna sekunder namun penting dari Ad-Din adalah agama atau jalan hidup yang dianut seseorang. Jika diinterpretasikan demikian, Yawm Ad-Din berarti Hari Agama, atau Hari Manifestasi Kesempurnaan Agama. Di dunia, manusia mungkin mengikuti berbagai "din" (ideologi, sistem, atau agama), tetapi pada Hari Pembalasan, hanya Din (Jalan Hidup) yang lurus, yang disahkan oleh Mālik, yang akan diakui. Hari itu adalah puncak dari semua perselisihan teologis dan moral, membuktikan kebenaran mutlak ajaran yang dibawa oleh para nabi.
Ketika digabungkan, Maliki Yawm Ad-Din berarti: "Raja/Pemilik Yang Mutlak atas Hari Pertanggungjawaban dan Pembalasan (atas segala amal dan keyakinan)." Pengakuan ini adalah jembatan spiritual antara pengakuan kita terhadap Allah sebagai Pemelihara (Rabb al-'Alamin) dan ibadah kita yang murni (Iyyaka Na'budu).
II. Konteks Teologis: Hubungan antara Rabbaniyyah dan Malakiyyah
Penempatan Maliki Yawm Ad-Din dalam Al-Fatihah, tepat setelah Al-Hamdulillah Rabbil 'Alamin dan Ar-Rahmanir Rahim, memiliki urutan yang sangat disengaja dan signifikan. Surah pembuka ini mengajarkan kita tangga pengenalan kepada Allah.
A. Transisi dari Kasih Sayang ke Kedaulatan
Ayat pertama dan kedua memperkenalkan Allah melalui sifat-sifat kemuliaan: sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pemelihara) dan sebagai Ar-Rahmanir Rahim (Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang). Ini membangun fondasi hubungan yang didasarkan pada cinta, pemeliharaan, dan anugerah. Namun, segera setelah Allah menetapkan Diri-Nya sebagai sumber kasih sayang universal, Dia memperkenalkan Diri-Nya sebagai Maliki Yawm Ad-Din. Ini adalah kunci keseimbangan teologis dalam Islam: antara harapan (rajā’) yang ditimbulkan oleh kasih sayang-Nya dan ketakutan (khawf) yang ditimbulkan oleh kedaulatan-Nya yang tak tertandingi.
Tanpa pengenalan terhadap Maliki Yawm Ad-Din, manusia mungkin jatuh ke dalam kesombongan, menganggap kasih sayang Allah sebagai jaminan mutlak tanpa pertanggungjawaban. Sebaliknya, pengetahuan tentang kedaulatan Hari Pembalasan memastikan bahwa Kasih Sayang Allah adalah Kasih Sayang yang Adil, yang tidak akan mentolerir kezaliman abadi.
B. Kedaulatan Yang Terbatas dan Tak Terbatas
Di dunia ini, kekuasaan dan kepemilikan (mulk dan milkiyyah) terbagi dan terbatas. Ada raja, ada pemilik properti, dan ada hakim. Kekuasaan mereka bersifat sementara dan dapat digugat. Namun, pada Hari Pembalasan, semua otoritas fana akan lenyap sepenuhnya. Allah adalah Malik (Raja) pada setiap waktu, tetapi pada Hari Pembalasan, Kedaulatan-Nya akan terwujud dalam bentuk yang paling murni, jelas, dan tak terbantahkan. Hal ini dikarenakan:
- Hilangnya Perantara: Semua nabi, malaikat, dan orang suci hanya akan bertindak atas izin-Nya. Tidak ada syafaat mandiri.
- Hilangnya Wewenang Duniawi: Para diktator, tiran, dan penguasa yang sombong di dunia tidak memiliki hak sedikit pun untuk berbicara atau bertindak.
- Ketetapan Final: Keputusan-Nya adalah hukum final. Ini adalah hari di mana kekuasaan absolut (Malikiyyah Mutlak) dipertontonkan kepada seluruh makhluk.
Pengenalan Maliki Yawm Ad-Din segera setelah Ar-Rahmanir Rahim berfungsi sebagai mekanisme pengimbang akidah. Ia mengajarkan bahwa Rahman (Pengasih) adalah Hakim yang Adil, dan Hakim yang Adil adalah Maha Pengasih. Kita menyembah-Nya karena cinta (Rahman) dan kita taat karena takut (Malik), menciptakan ibadah yang seimbang (Iyyaka Na'budu).
III. Makna Sentral ‘Yawm Ad-Din’: Manifestasi Keadilan Ilahi
Hari Pembalasan (Yawm Ad-Din) adalah esensi dari frasa ini. Ini bukan sekadar hari terakhir, tetapi hari di mana tujuan penciptaan, yaitu pengujian keimanan dan kepatuhan, mencapai puncaknya. Pemahaman yang mendalam tentang sifat Hari Pembalasan harus mencakup detail-detail yang disajikan dalam sumber-sumber teologis, yang semuanya berada di bawah kekuasaan mutlak Malik.
A. Tahapan dan Peristiwa Hari Kiamat Kubra
Kekuasaan Maliki Yawm Ad-Din mencakup pengawasan, pengaturan, dan pelaksanaan setiap tahapan dari peristiwa mahadahsyat ini. Pengetahuan ini adalah motivasi terbesar bagi seorang mukmin untuk beramal saleh.
1. Yaumul Ba'ts (Hari Kebangkitan)
Ini adalah titik awal manifestasi kedaulatan. Setelah Sangkakala (Shaur) ditiupkan kedua kalinya, semua makhluk dari Adam hingga manusia terakhir akan dibangkitkan. Allah, sebagai Malik, menguasai seluruh materi dan energi di alam semesta, mampu mengembalikan setiap bagian tubuh meskipun telah lama hancur menjadi debu. Proses kebangkitan adalah bukti kekuasaan penciptaan kedua yang melampaui logika manusia.
Semua yang dibangkitkan akan berkumpul dalam keadaan baru, telanjang, dan tanpa alas kaki, penuh ketakutan akan keputusan Raja Mutlak yang mereka hadapi. Pada saat ini, kekuasaan raja-raja duniawi, harta benda, dan status sosial tidak bernilai sedikit pun.
2. Yaumul Hashr wal Mauqif (Hari Pengumpulan dan Pemberhentian)
Setelah kebangkitan, miliaran makhluk dikumpulkan di padang mahsyar. Kengerian hari itu dijelaskan dengan durasi yang terasa panjang, panas yang membakar, dan kebingungan universal. Maliki Yawm Ad-Din mengendalikan setiap aspek kondisi di padang mahsyar. Matahari didekatkan, dan setiap individu berada dalam keringatnya sendiri sesuai dengan kadar amalnya. Ini adalah periode penantian yang mencekam sebelum perhitungan dimulai.
Pada momen ini, setiap makhluk mencari pertolongan, namun hanya Raja Mutlak yang memiliki hak untuk memberikan izin syafaat (pertolongan). Inilah penegasan bahwa tidak ada dewa, perantara, atau tuhan lain yang mampu bertindak kecuali dengan kehendak Malik.
3. Yaumul Hisab (Hari Perhitungan)
Perhitungan adalah inti dari Ad-Din (Pembalasan). Allah, sebagai Malik, akan menghitung setiap amal, niat, dan bahkan bisikan hati. Proses perhitungan ini luar biasa detail. Tangan dan kaki akan bersaksi, bahkan kulit akan berbicara. Kezaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap Allah akan diungkapkan secara telanjang di hadapan Raja yang Maha Adil.
Tidak ada seorang pun yang dapat menyembunyikan kebenaran dari Malik. Keadilan-Nya adalah keadilan yang sempurna, mengatasi bias, kesalahan, atau kelupaan yang melekat pada sistem pengadilan manusia. Ini adalah manifestasi kebenaran mutlak yang menghapus semua kesamaran. Manusia mungkin hidup sebagai penipu di dunia, tetapi di hadapan Malik, identitas sejati mereka terungkap.
Sistem pengadilan duniawi bergantung pada bukti fisik, saksi, dan pengacara. Namun, di Hari Pembalasan, Maliki Yawm Ad-Din adalah Hakim, Jaksa, dan Pengawas Bukti. Tidak ada yang luput. Kesadaran akan Hisab inilah yang seharusnya mengendalikan setiap pilihan moral harian kita.
B. Pengaruh Kepercayaan pada Pembalasan terhadap Fiqih Muamalah
Pengakuan terhadap Maliki Yawm Ad-Din memiliki dampak transformatif pada etika dan interaksi sosial (muamalah). Karena kita tahu bahwa ada pertanggungjawaban abadi, sistem hukum Islam (fiqih) sangat menekankan keadilan dalam berinteraksi:
1. Keadilan Ekonomi: Konsep riba (bunga) dilarang keras, dan perintah untuk menunaikan zakat ditegakkan. Kepercayaan pada Maliki Yawm Ad-Din mencegah penimbunan kekayaan dan mendorong distribusi, karena pemilik tahu bahwa kekayaan yang ditahan secara tidak adil akan menjadi beban api di Hari Pembalasan.
2. Kejujuran dalam Bisnis: Penimbangan yang akurat, kejelasan kontrak, dan menghindari sumpah palsu dalam perdagangan ditekankan karena kerugian sekecil apa pun yang ditimbulkan pada orang lain harus diselesaikan di hadapan Raja Yang Maha Adil.
3. Hak-Hak Sosial: Perlindungan terhadap anak yatim, janda, dan orang miskin menjadi wajib, bukan sekadar amal opsional. Ini karena Malik sangat ketat dalam menuntut hak-hak orang yang lemah. Melanggar hak orang miskin adalah tantangan langsung terhadap kedaulatan Malik.
Kesadaran akan Pembalasan ini mengubah motivasi manusia dari sekadar menghindari hukuman duniawi (polisi, penjara) menjadi menghindari hukuman abadi dari Raja yang tidak dapat ditipu atau dilampaui. Ini adalah fondasi etika Islam.
IV. Implikasi Akidah: Konsolidasi Tauhid melalui Malikiyaumiddin
Frasa Maliki Yawm Ad-Din memainkan peran krusial dalam mengkonsolidasikan konsep Tauhid (Keesaan Allah) dalam pikiran dan hati seorang mukmin. Pengakuan ini membedakan Islam dari pandangan hidup sekuler atau politeistik.
A. Penolakan Kedaulatan Palsu (Syirik Asghar dan Akbar)
Jika Allah adalah satu-satunya Raja Hari Pembalasan, maka konsekuensinya adalah penolakan terhadap semua otoritas atau kekuatan yang mengklaim kekuasaan absolut selain Dia. Segala bentuk perantara, pemujaan terhadap benda, atau kepercayaan pada keberuntungan yang independen dari kehendak-Nya adalah Syirik (menyekutukan Allah).
Dalam konteks modern, ini berarti penolakan terhadap keyakinan bahwa kekuasaan atau jabatan duniawi (seperti raja, presiden, atau CEO) adalah kekuasaan yang final. Kekuasaan mereka bersifat pinjaman dan akan berakhir tragis di hadapan Kedaulatan Mutlak Maliki Yawm Ad-Din. Frasa ini mendemokratisasi semua manusia, meruntuhkan hierarki sosial di hari kiamat.
Pemusatan Harapan dan Ketakutan: Keyakinan pada Malik memastikan bahwa seorang mukmin hanya menaruh harapan (rajā’) pada anugerah-Nya dan hanya menaruh ketakutan (khawf) pada hukuman-Nya. Ketika manusia takut pada manusia lain, mereka mungkin berkompromi dengan prinsip moral mereka. Ketika mereka hanya takut pada Malik, mereka menjadi teguh dalam kebenaran, bahkan di bawah ancaman.
B. Penguatan Sifat 'Al-Adl' (Maha Adil)
Nama Allah, Al-Adl, mencapai manifestasi puncaknya pada Hari Pembalasan. Dunia fana seringkali tampak tidak adil. Orang-orang yang jahat mungkin makmur, sementara orang-orang yang taat mungkin menderita. Ini dapat menimbulkan keraguan dalam hati manusia. Namun, Maliki Yawm Ad-Din berfungsi sebagai penjamin bahwa ketidakadilan ini bersifat sementara dan akan dibetulkan sepenuhnya di pengadilan akhir.
Apabila seorang hamba dizalimi di dunia, ia tidak perlu membalas dendam di luar batas, karena ia yakin bahwa Malik akan mengambil haknya pada Hari Pembalasan. Keadilan ilahi ini adalah sumber ketenangan dan kesabaran bagi mereka yang tertindas. Keyakinan ini mengajarkan bahwa tatanan moral alam semesta adalah sempurna, meskipun tampak kacau di mata fana.
Manifestasi Keadilan dalam Penimbangan (Al-Mizan)
Salah satu peristiwa utama yang diatur oleh Malik adalah penimbangan amal (Al-Mizan). Timbangan ini bukanlah timbangan fisik biasa. Ia sangat akurat sehingga dapat menimbang niat, keikhlasan, dan bobot spiritual dari setiap amal. Keadilan Maliki Yawm Ad-Din dipastikan melalui mekanisme penimbangan yang tidak pernah berat sebelah, memastikan tidak ada yang dirugikan sedikit pun. Bahkan hak seekor kambing yang menanduk kambing lain akan diselesaikan.
Kedaulatan Malik memastikan bahwa perhitungan amal adalah holistik, mencakup setiap dimensi kehidupan, termasuk bagaimana seseorang menggunakan waktu, harta, dan anggota tubuhnya.
V. Refleksi Spiritual dan Praktis dari Maliki Yawm Ad-Din
Pengakuan yang tulus terhadap Kekuasaan Hari Pembalasan tidak boleh hanya berhenti sebagai pengetahuan intelektual. Ia harus diterjemahkan menjadi perubahan perilaku dan kondisi hati yang mendalam.
A. Ihsan: Beribadah dalam Kesadaran Kehadiran Hakim
Konsep Ihsan (melakukan yang terbaik, seolah-olah Anda melihat Allah, dan jika Anda tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia melihat Anda) adalah manifestasi langsung dari pemahaman Maliki Yawm Ad-Din. Jika kita yakin bahwa Raja Mutlak sedang menyaksikan dan akan menghitung setiap tindakan, kualitas ibadah dan interaksi kita akan meningkat secara eksponensial.
Shalat, misalnya, tidak lagi menjadi ritual mekanis, tetapi sebuah pertemuan pribadi dengan Malik. Ikhlas menjadi perhatian utama, karena hanya Malik yang dapat menimbang nilai keikhlasan, jauh melampaui penilaian manusiawi terhadap tampilan luar suatu ibadah.
Keikhlasan dan Nilai Ibadah
Pada Hari Pembalasan, Malik akan memisahkan amal yang dilakukan untuk mendapatkan pujian manusia dari amal yang dilakukan murni karena mencari wajah-Nya. Amal yang terbesar dan termegah di mata manusia, jika dilakukan dengan niat yang salah, akan dibatalkan oleh Malik. Sebaliknya, amal kecil yang tersembunyi dan dilakukan dengan keikhlasan sempurna akan dibalas dengan ganjaran yang tak terhingga. Kesadaran ini memurnikan hati dari riya' (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas).
B. Pengelolaan Waktu dan Sumber Daya Duniawi
Dunia (duniawi) dalam pandangan seorang mukmin hanyalah ladang untuk menanam benih-benih yang akan dituai di Yawm Ad-Din. Kesadaran akan Malik mencegah keterikatan hati yang berlebihan pada dunia yang fana.
Harta adalah amanah, bukan kepemilikan mutlak. Waktu adalah modal yang akan dipertanggungjawabkan penggunaannya. Setiap saat yang dihabiskan dalam kelalaian adalah kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Maliki Yawm Ad-Din mengingatkan bahwa penilaian akhir bukanlah berapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa baik kita menggunakan apa yang telah diamanahkan kepada kita dalam kerangka ketaatan kepada Sang Raja.
C. Peran Doa sebagai Pengakuan Kedaulatan
Memohon kepada Allah adalah tindakan pengakuan paling dasar terhadap Maliki Yawm Ad-Din. Ketika seseorang berdoa, ia mengakui bahwa hanya Raja Mutlak yang memiliki kekuasaan untuk menjawab, mengubah takdir, memberikan rezeki, dan menghapuskan kesulitan. Doa adalah pelepasan ego manusiawi dan penyerahan total kepada Otoritas Ilahi. Dalam shalat, pengulangan frasa ini berfungsi sebagai janji dan pembaharuan akidah setiap hari, mengingatkan hamba tentang tujuan akhir keberadaannya.
Keyakinan pada Hari Pembalasan menanamkan keberanian spiritual. Mengapa seorang nabi atau syahid mampu menghadapi kematian tanpa gentar? Karena mereka yakin bahwa mereka sedang bergerak menuju pengadilan Raja yang akan membalas penderitaan mereka dengan kemuliaan abadi. Kematian bukanlah akhir, tetapi transisi menuju pengadilan Malik.
VI. Perbandingan Tafsir Klasik: Malik vs. Maalik dan Implikasinya
Perbedaan bacaan (qira'at) antara Malik dan Mālik telah memicu diskusi yang kaya di kalangan ulama tafsir selama berabad-abad. Meskipun keduanya merujuk pada keagungan Allah, perdebatan ini menunjukkan kedalaman bahasa Arab dan bagaimana setiap nuansa kata memperkaya pemahaman tauhid.
A. Keutamaan Kedaulatan (Menurut Sebagian Ulama)
Sebagian ulama, yang cenderung kepada bacaan Malik (Raja), berpendapat bahwa sifat 'Raja' pada Hari Pembalasan lebih penting dan mencakup sifat 'Pemilik'. Argumen mereka adalah bahwa di dunia ini, seseorang bisa menjadi Mālik (pemilik) atas suatu properti, tetapi ia tidak memiliki hak penuh untuk memerintah tanpa izin Raja (Malik) negara tersebut. Namun, pada Hari Kiamat, tidak ada entitas lain yang menjadi Raja, sehingga Kekuasaan Allah sebagai Raja (Malik) adalah yang terpenting, karena mencakup hak untuk memerintah dan memutuskan hukuman, yang melampaui sekadar kepemilikan.
Pandangan Ulama Fiqih
Para ahli fiqih sering menekankan aspek Malik karena fokus pada hukum, peraturan, dan pelaksanaan sanksi (hukuman). Pada Hari Pembalasan, aspek hukum (hukm) adalah yang dominan, dan hanya Raja yang memiliki hak mutlak untuk melaksanakan hukum tanpa dapat diganggu gugat.
B. Keutamaan Kepemilikan (Menurut Sebagian Ulama Lain)
Ulama lain, yang mendukung bacaan Mālik (Pemilik), berpendapat bahwa kepemilikan (Milkiyyah) lebih sempurna dan absolut. Argumen mereka adalah bahwa hanya Pemilik sejati yang memiliki hak untuk melakukan apa pun terhadap miliknya, termasuk menghapuskan, memaafkan, atau memberikan tanpa batas. Mereka berpendapat bahwa setiap Raja (Malik) pasti juga Pemilik (Mālik), tetapi tidak setiap pemilik adalah Raja.
Namun, dalam konteks Hari Pembalasan, hanya Allah yang dapat mengklaim kepemilikan mutlak karena semua makhluk lain tidak memiliki apa-apa, bahkan kendali atas diri mereka sendiri. Kepemilikan ini menciptakan fondasi bagi kemurahan (Rahmah) dan keadilan total. Jika Dia adalah Pemilik, maka hak-Nya untuk mengampuni adalah hak mutlak-Nya, yang tidak dapat dipertanyakan oleh siapa pun.
C. Integrasi Makna (Pendapat Mayoritas)
Kesimpulan umum yang diterima oleh mayoritas ulama tafsir, termasuk Imam Ibnu Katsir, adalah bahwa kedua makna tersebut adalah sempurna untuk Allah. Di Hari Pembalasan, Allah adalah Raja (yang memerintah dan menghukum) dan Pemilik (yang memiliki segalanya). Penggabungan kedua sifat ini menghasilkan kekuasaan yang paling sempurna dan menakutkan, sekaligus yang paling penuh harapan.
Keseimbangan antara Malik dan Mālik mengajarkan bahwa kita harus takut kepada Allah karena Kekuatan dan Hukum-Nya (Malik), tetapi kita juga harus berharap kepada-Nya karena Kepemilikan dan Kemurahan-Nya (Mālik). Ini adalah formula untuk kesempurnaan ibadah: menyembah dengan penuh harapan, cinta, dan ketundukan.
VII. Pengaruh Kosmis dan Universalitas Maliki Yawm Ad-Din
Kekuasaan Maliki Yawm Ad-Din bukan hanya berlaku untuk manusia, tetapi untuk seluruh alam semesta, termasuk jin, malaikat, dan seluruh ciptaan. Hari Pembalasan adalah titik balik kosmis di mana segala sesuatu kembali ke asal penciptaannya.
A. Pengadilan bagi Seluruh Ciptaan
Pada hari itu, bahkan hewan pun akan diadili untuk menuntut keadilan satu sama lain sebelum mereka diubah menjadi debu, menunjukkan bahwa kedaulatan Malik mencakup penerapan keadilan universal, melampaui batas-batas kemanusiaan. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa setiap interaksi, setiap pergerakan energi, berada di bawah perhitungan yang sangat rinci.
Malaikat, meskipun mereka adalah makhluk yang paling taat, akan berdiri dengan ketakutan di hadapan Malik, mengakui kebesaran-Nya. Semua makhluk, dari yang terbesar hingga yang terkecil, menyadari bahwa mereka tidak memiliki perlindungan atau kekuasaan pada hari itu kecuali dengan rahmat dan izin dari Raja yang Berdaulat.
B. Akhir dari Semua Ilusi
Dunia adalah tempat ilusi: ilusi kekayaan, ilusi kekuasaan, ilusi keabadian. Yawm Ad-Din adalah hari penyingkapan, di mana semua ilusi ini runtuh. Kekuatan Malik meruntuhkan semua standar palsu yang digunakan manusia untuk menilai satu sama lain di dunia.
Penilaian akhir didasarkan pada Taqwa (ketakwaan) dan keikhlasan, bukan pada suku, warna kulit, jabatan, atau jumlah pengikut. Raja yang Maha Adil menunjukkan bahwa sistem nilai duniawi adalah cacat dan sementara. Hanya nilai-nilai yang ditetapkan oleh Malik yang bersifat abadi.
C. Konsekuensi Psikologis: Kehati-hatian (Wara') dan Zuhud
Seseorang yang benar-benar memahami bahwa ia akan berdiri di hadapan Maliki Yawm Ad-Din akan mengembangkan sifat wara’ (kehati-hatian ekstrem dalam menghindari yang syubhat/meragukan) dan zuhud (tidak terikat pada kemewahan dunia).
Wara': Kehati-hatian ini muncul karena takut sedikit kesalahan pun dapat berdampak besar di Hari Pembalasan. Contohnya adalah menghindari transaksi yang meragukan atau menghindari pembicaraan yang mungkin menyakiti orang lain, karena ia tahu bahwa setiap ucapan adalah rekaman yang akan diputar di hadapan Malik.
Zuhud: Ini bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menempatkannya di tangan, bukan di hati. Zuhud didorong oleh kesadaran bahwa kebahagiaan abadi hanya terdapat di sisi Malik, dan upaya mengejar kesenangan fana dunia adalah sia-sia di hadapan keagungan Hari Pembalasan.
VIII. Penutup: Deklarasi Keimanan dan Komitmen Abadi
Frasa Maliki Yawm Ad-Din adalah deklarasi iman yang padat. Ia merangkum keagungan Allah, keadilan-Nya yang sempurna, dan keniscayaan pertanggungjawaban. Ia adalah landasan moral bagi setiap mukmin. Setiap kali seorang hamba mengucapkan frasa ini dalam shalatnya, ia memperbaharui janji bahwa ia mengakui otoritas tunggal Allah atas nasibnya, hari ini, dan di kehidupan kekal yang akan datang.
Pengakuan ini menggeser fokus kehidupan dari pengejaran ambisi fana ke arah investasi dalam kebaikan abadi. Ia mengubah ketakutan akan kematian menjadi kesiapan untuk menghadap Raja Mutlak, berharap pada rahmat-Nya, dan memohon agar ia ditempatkan di bawah naungan-Nya pada Hari yang tiada naungan lain kecuali naungan-Nya. Maliki Yawm Ad-Din adalah kunci untuk memahami bahwa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan, dan tujuannya adalah berdiri di hadapan Sang Penguasa pada Hari Pembalasan, di mana kebenaran yang sesungguhnya terungkap sepenuhnya.
Semua puji dan kekuasaan hanya milik Allah, Penguasa Hari Pembalasan.