Di antara lekukan kabut yang belum sepenuhnya terangkat dari punggung bukit, di sanalah ia berdiri. Sosoknya, yang oleh penduduk desa kerap dipanggil Kakek Purwa, telah menjadi penanda abadi bagi batas antara hutan belantara yang kaya dan peradaban yang membutuhkan kehangatan. Ia adalah ‘Pembawa Kayu Bakar’, sebuah julukan yang bukan sekadar deskripsi pekerjaan, melainkan sebuah gelar kehormatan yang dipikul dengan beban fisik dan spiritual yang tak terhingga. Pagi itu, seperti ratusan ribu pagi sebelumnya, Purwa memulai ritualnya. Kayu-kayu bakar yang baru dipotong, yang aromanya masih segar dengan getah pinus dan kelembaban tanah hutan, telah diikat rapi menjadi sebuah bundelan masif. Bundelan itu begitu besar sehingga nyaris menenggelamkan sosoknya yang telah dimakan usia, mengubahnya menjadi siluet berjalan yang didominasi oleh tekstur kasar dan warna coklat tua.
Perjalanan Purwa bukanlah sekadar migrasi dari Titik A (Hutan) ke Titik B (Desa). Itu adalah meditasi bergerak, sebuah proses alih daya energi yang fundamental bagi kelangsungan hidup komunitas. Setiap serpihan kayu yang ia bawa adalah janji kehangatan bagi tungku-tungku dingin, adalah potensi makanan matang, adalah penghalau gigitan malam. Namun, untuk janji tersebut, Purwa harus menukar energinya, kekuatan ototnya yang menipis, dan waktu berharganya di bawah terik matahari atau guyuran hujan yang tanpa ampun. Ia mengangkat bundelan itu, mengikatnya dengan tali rami yang tebal, memastikan setiap simpul membagi tekanan secara adil di bahunya yang telah membentuk cekungan permanen sebagai tempat beban itu beristirahat.
Langkah pertamanya selalu yang terberat. Sebuah desahan berat terlepas dari paru-parunya, bukan desahan keluhan, melainkan pengakuan—pengakuan akan gravitasi, pengakuan akan tanggung jawab yang harus diemban. Jalur yang ia lalui, yang dikenal sebagai 'Jalur Seribu Akar', adalah warisan ayahnya, dan warisan kakeknya sebelum itu. Jalur itu berliku, berbatu, dan curam di beberapa titik, hanya cukup lebar untuk satu orang yang membawa beban ekstra. Di jalur itu, setiap pijakan adalah pelajaran tentang keseimbangan, sebuah dialog tanpa kata antara tubuh dan medan yang kasar. Rumput-rumput liar yang tumbuh di tepi jalur sering kali mencakar pergelangan kakinya, tetapi kulitnya yang tebal, yang telah menjadi seperti kulit pohon ek, nyaris tidak merasakannya.
Beban yang dibawa Purwa diperkirakan mencapai lima puluh hingga enam puluh kilogram, tergantung pada jenis kayu dan tingkat kelembaban yang diserapnya. Beban ini, jika dilihat secara objektif, seharusnya menghancurkan tulang belakang seorang pria seusianya. Namun, Purwa telah menyatu dengan beban itu. Baginya, kayu bakar adalah ekstensi dirinya, cermin dari kerja keras yang mendefinisikan keberadaannya. Ketika ia berjalan, ia tidak melihat kayu itu sebagai objek mati, melainkan sebagai tumpukan memori. Di dalam bundelan itu tersimpan bisikan pohon-pohon tua yang ditebang dengan penuh rasa hormat, bunyi kapak yang memecah kesunyian fajar, dan aroma tanah basah tempat pohon itu pernah berdiri tegak selama berabad-abad.
Banyak orang di desa menawarinya bantuan, terutama anak-anak muda yang melihat pekerjaan Purwa sebagai penderitaan yang harus diringankan. Purwa selalu menolak, dengan senyum tipis dan pandangan mata yang jauh. Penolakannya bukan karena kesombongan, melainkan karena ia memahami esensi dari tugas ini. Meringankan bebannya sama dengan mengurangi makna hidupnya. Tugas membawa kayu bakar, bagi Purwa, adalah sebuah bentuk kurban yang murni. Dalam setiap tetes keringat yang jatuh membasahi tanah, dalam setiap otot yang merenggang hingga batasnya, ia menemukan kedamaian yang tidak dapat ditawarkan oleh kemewahan atau istirahat yang berkepanjangan.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu tiga hingga empat jam sekali jalan, pikiran Purwa bergerak lambat namun dalam. Ia tidak memikirkan masalah politik desa, atau gosip terbaru. Pikirannya terfokus pada hal-hal esensial: irama napasnya, kekuatan otot betisnya yang seperti akar, dan posisi matahari yang bergerak lambat di atas kanopi hutan. Saat matahari mulai menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya keemasan di jalur tanah, Purwa menyadari bahwa setiap kesulitan fisik adalah pengingat bahwa ia masih hidup, masih berfungsi, masih memberikan kontribusi yang tak tergantikan bagi dunia kecilnya.
Di dalam bundelan yang ia bawa, terdapat campuran jenis kayu. Ada kayu jati muda yang rapuh, ada kayu waru yang ringan, dan yang paling berharga, kayu bakar dari pohon asam tua yang kering sempurna. Kayu yang kering memiliki nilai jual yang tinggi karena ia terbakar dengan api yang stabil dan menghasilkan sedikit asap, tetapi kayu kering juga lebih rapuh dan sulit diikat. Sebaliknya, kayu basah lebih berat, menghasilkan asap tebal, namun memberikan ketahanan pada ikatan bundelan. Purwa harus menjadi ahli alkimia dalam menyusun bebannya, menempatkan kayu yang basah dan kuat di bagian bawah untuk menopang struktur, sementara kayu kering diletakkan di tengah agar tidak mudah patah dan tetap terlindungi dari kelembaban.
Susunan ini, bagi Purwa, adalah metafora kehidupan itu sendiri. Beban hidup selalu datang dalam berbagai bentuk: kesulitan yang berat (kayu basah) yang menguji kekuatan, dan kebahagiaan yang ringan namun rapuh (kayu kering) yang harus dijaga dengan hati-hati. Keahlian hidup bukanlah menghindari beban, melainkan mengatur komposisinya sedemikian rupa sehingga keseluruhan struktur tetap tegak, berjalan maju, dan akhirnya menghasilkan api yang berguna bagi orang lain. Tanpa campuran keduanya, ikatan itu akan bubar di tengah jalan, atau api yang dihasilkan tidak akan pernah menyala dengan sempurna.
Purwa tidak menggunakan jam tangan; waktu baginya diukur oleh posisi matahari dan kelelahan yang mulai terasa di persendian lututnya. Ketika ia mencapai mata air kecil yang terletak tepat di tengah perjalanan, ia tahu itu sudah tengah hari, dan sudah waktunya untuk jeda singkat. Ia menurunkan bundelan kayunya dengan hati-hati, memastikan kayu itu tidak menggelinding ke jurang. Saat beban itu lepas dari punggungnya, sensasi ringan yang tiba-tiba menyerang tubuhnya terasa hampir menyakitkan. Sebuah kebebasan yang terlalu instan, sebuah kekosongan yang segera diisi oleh rasa sakit otot yang menuntut istirahat.
Saat beristirahat, ia mengeluarkan bekalnya yang sederhana: nasi dingin yang dibungkus daun pisang dan air dari mata air yang jernih. Mata air ini telah menjadi tempat persinggahan bagi para pembawa kayu bakar selama tiga generasi. Ia bisa membayangkan ayahnya dan kakeknya duduk di batu yang sama, mendengarkan gemericik air yang sama, dan menatap ke arah lembah yang sama. Purwa menyadari bahwa ia bukan hanya membawa kayu bakar, tetapi ia juga membawa kontinuitas tradisi, rantai yang tak terputus dari pengorbanan yang sunyi.
Ia adalah perwujudan dari prinsip kuno bahwa pekerjaan yang paling mendasar seringkali adalah pekerjaan yang paling mulia. Para petani menghasilkan makanan, para penenun menghasilkan pakaian, dan Purwa, si pembawa kayu bakar, menghasilkan energi. Tanpa energi, desa itu akan kembali ke zaman kegelapan, dingin, dan kelaparan. Purwa tahu perannya; ia adalah arteri yang membawa darah kehidupan dari jantung hutan menuju nadi desa.
Di tengah keheningan hutan, Purwa belajar mendengarkan. Langkah kakinya mengeluarkan berbagai suara, sebuah orkestra yang halus. Saat ia menginjak tanah kering, terdengar bunyi renyah daun-daun gugur. Ketika ia melewati jalur becek dekat sungai, terdengar suara ‘plop’ ritmis dari lumpur yang menarik sepatu kulitnya. Dan yang paling konstan adalah suara gesekan tali rami dengan kulit kayunya yang kasar, sebuah bunyi ‘kriiik-kriiik’ yang menyerupai lagu pengantar tidur yang dinyanyikan alam.
Ia mengenal setiap suara di sekitarnya: jeritan burung elang di kejauhan, desau angin yang menyapu puncak pohon, dan yang paling penting, suara tubuhnya sendiri. Setiap sendi yang berderit, setiap dengungan di telinganya yang disebabkan oleh tekanan darah yang naik karena usaha keras, adalah data yang harus ia proses. Ia harus berjalan di batas optimal—cukup cepat untuk mencapai desa sebelum senja, tetapi cukup lambat agar jantungnya tidak menyerah pada beban yang ia pikul. Ini adalah tarian antara ketekunan dan konservasi energi, sebuah perhitungan matematis yang dilakukan oleh naluri murni.
Ketika Purwa akhirnya keluar dari bayang-bayang hutan dan mencapai batas luar desa, transisi itu selalu terasa tajam. Udara yang lembab dan kaya oksigen di hutan digantikan oleh udara yang lebih kering, bercampur dengan aroma masakan dan asap yang telah dihasilkan oleh kayu bakar hasil bawaannya pada hari-hari sebelumnya. Heningnya hutan digantikan oleh riuh rendah kehidupan manusia: tangisan anak-anak, teriakan penjual, dan obrolan tetangga.
Ia menjadi pemandangan yang biasa, namun tak pernah luput dari perhatian. Anak-anak kecil akan berhenti bermain dan menatap takjub pada bundelan kayu yang tampak mustahil itu. Para ibu rumah tangga akan keluar dan menyambutnya dengan senyum, segera tahu bahwa pasokan kehangatan mereka telah tiba. Purwa, yang di hutan adalah seorang pertapa yang sunyi, di desa berubah menjadi tokoh sentral, meskipun ia berusaha untuk tidak menonjolkan diri.
Penyelesaian transaksi selalu cepat dan tanpa basa-basi. Ia tidak bernegosiasi panjang lebar; harga telah ditetapkan oleh tradisi dan kebutuhan. Ia menurunkan kayu itu di gudang penyimpanan desa, dan saat bundelan itu menyentuh tanah, sebuah perasaan lega yang mendalam menyelimpatinya, diikuti oleh kekosongan yang familiar. Beberapa koin logam ditukar dengan bundelan energinya. Koin-koin ini adalah darah kehidupannya yang memungkinkannya membeli sedikit garam, nasi, dan mengganti tali rami yang putus.
Beban itu adalah guru terbesarnya. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa cepat ia bisa berlari, melainkan seberapa lama ia bisa bertahan di bawah tekanan yang konstan. Kayu bakar adalah beban fisik, tetapi ia juga merupakan sumber cahaya dan kehangatan, baik bagi desa maupun bagi jiwanya sendiri.
Setelah pengiriman, Purwa tidak berlama-lama di pusat keramaian. Ia adalah makhluk batas, yang hidup di pinggiran. Saat yang paling ia nantikan adalah perjalanan pulangnya, yang ia sebut 'Jalan Kebebasan'. Tanpa beban kayu, tubuhnya terasa seringan bulu, dan ia bisa berjalan jauh lebih cepat. Namun, kebebasan ini disertai dengan refleksi yang mendalam. Saat ia berjalan kembali, ia melihat bekas-bekas langkahnya sendiri di tanah, lubang-lubang kecil tempat kakinya tenggelam karena bobot kayu.
Jejak-jejak itu berbicara tentang eksistensi yang nyata. Setiap lubang, setiap goresan di akar pohon adalah bukti bahwa ia telah ada, telah bekerja, telah memenuhi takdirnya hari itu. Ini adalah kontras yang indah: kepuasan fisik dari kelelahan yang jujur, diikuti oleh keringanan yang diperoleh melalui pemenuhan tugas. Perjalanan pulang memberinya waktu untuk mengumpulkan energi, bukan hanya fisik, tetapi juga mental, mempersiapkan diri untuk fajar esok hari, ketika siklus pengorbanan akan dimulai lagi.
Generasi muda desa sering kali bertanya, mengapa ia tidak menggunakan gerobak dorong atau hewan ternak untuk membantu pekerjaannya. Purwa akan tersenyum dan menjelaskan bahwa kayu bakar yang dibawa oleh manusia memiliki kualitas yang berbeda. "Gerobak hanya membawa kayu," katanya dengan suara serak, "tetapi seorang manusia membawa niat, doa, dan rasa hormat terhadap hutan. Kayu yang dibawa dengan rasa sakit dan pengorbanan, akan menghasilkan api yang lebih panas dan lebih murni."
Ini adalah warisan yang lebih dari sekadar materi. Ini adalah filosofi yang tertanam dalam setiap urat kayunya. Kayu bakar adalah perantara antara alam liar dan perapian rumah. Purwa adalah mediatornya. Ia memastikan bahwa transfer ini dilakukan dengan integritas spiritual, bahwa sumber daya alam tidak hanya dieksploitasi, tetapi dipanen dengan kesadaran akan siklus regenerasi. Ia hanya menebang pohon-pohon yang telah mati secara alami, atau cabang-cabang yang jatuh, memastikan hutan tetap utuh dan subur untuk generasi yang akan datang. Dalam pekerjaannya terdapat sebuah keseimbangan ekologis yang jauh lebih kuno daripada hukum konservasi modern.
Kekuatan Purwa bukan hanya terletak pada otot-ototnya yang keras, tetapi pada ketahanan batinnya. Namun, ia tidak abadi. Ada hari-hari ketika lututnya terasa seperti pasir halus yang akan hancur, ketika tali rami mengiris kulitnya hingga berdarah, dan ketika rasa dingin di tulang sumsumnya menembus bahkan lapisan pakaiannya yang tebal. Pada hari-hari seperti itu, perjuangan menjadi eksponensial. Setiap langkah adalah keputusan, bukan sekadar refleks. Dalam perjuangan ini, Purwa belajar tentang kelemahan manusia yang inheren. Ia menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari transaksi kehidupan; untuk mendapatkan pahala, ia harus melalui palung rasa sakit.
Rasa sakit adalah pengingat bahwa beban itu nyata, dan bahwa tugasnya penting. Jika ia tidak merasakan sakit, berarti ia tidak bekerja. Jika ia tidak merasakan lelah, berarti desa tidak akan memiliki api. Keterikatan ini menciptakan ikatan yang paradoksal antara penderitaan dan pemenuhan. Ia mendambakan istirahat, tetapi ia tahu bahwa istirahat yang sesungguhnya hanya datang setelah tugas selesai, bukan melalui penghindaran tugas itu sendiri.
Setiap pagi, saat ia memilih kayu mana yang akan ia angkat, ia melakukan penilaian yang teliti. Ia tidak boleh mengambil terlalu banyak, yang akan menghancurkannya sebelum mencapai desa. Ia tidak boleh mengambil terlalu sedikit, yang akan mengurangi nilai transaksinya dan tidak mencukupi kebutuhan desa. Keseimbangan ini adalah seni tertinggi. Ia harus mengetahui batasnya sendiri, dan batas bahan yang ia bawa. Pengetahuan ini tidak datang dari buku, melainkan dari ribuan jam interaksi intim antara tubuhnya, hutan, dan bebannya.
Purwa jarang menikmati kayu bakarnya sendiri. Namun, ia mendapatkan kepuasan dari api yang menyala di rumah-rumah penduduk. Terkadang, saat senja, ia akan duduk di luar gubuk sederhananya di pinggiran desa, memandang ke arah asap yang mengepul dari cerobong-cerobong. Setiap gumpalan asap adalah representasi visual dari pekerjaannya yang telah diubah menjadi fungsi vital. Asap itu adalah napas desa.
Ia mendengarkan suara-suara malam: tawa yang terdengar dari dalam rumah yang hangat, aroma sup yang dimasak di atas api yang ia sediakan, dan gemeresik kayu bakar yang sedang dimakan api. Meskipun fisiknya dingin dan lelah, hatinya terasa hangat. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari siklus kehangatan ini, sebuah poros yang memungkinkan kehidupan berputar. Ia adalah sang pembawa, dan kayu yang ia bawa adalah kehidupannya yang terfragmentasi, diberikan sepotong demi sepotong kepada komunitas.
Bukan hanya kehangatan fisik, tetapi juga kehangatan spiritual. Kayu bakar adalah simbol koneksi. Saat keluarga berkumpul di sekitar perapian, mereka berbagi cerita, mereka merencanakan masa depan, mereka menghibur satu sama lain. Semua interaksi ini difasilitasi oleh api. Dan api itu, pada awalnya, adalah beban berat di punggung Kakek Purwa. Tanpa kayu, tanpa beban itu, isolasi akan merayap masuk, dan dingin akan membekukan bukan hanya air, tetapi juga hati.
Meskipun ia dihormati, ada lapisan kesepian yang menyelimuti Purwa. Pekerjaannya adalah pekerjaan soliter. Selama berjam-jam ia hanya ditemani oleh suara hutan dan pikirannya sendiri. Keheningan yang panjang ini membentuk karakternya, membuatnya bijaksana namun juga pendiam. Orang-orang desa melihat hasilnya—kayu bakar yang tersusun rapi—tetapi mereka jarang merenungkan prosesnya: perjuangan melawan tanjakan curam, tergelincir di batu licin, dan gigitan serangga yang tak terhitung jumlahnya.
Ketidakmengertian ini tidak membuatnya pahit; sebaliknya, itu menguatkan misinya. Ia tidak bekerja untuk pujian atau pengakuan, tetapi untuk kelanjutan eksistensi yang teratur. Kehidupan si pembawa kayu bakar adalah sebuah elegi tentang pekerjaan yang tak terlihat, tentang fondasi yang sering kali diabaikan. Fondasi sebuah rumah, seperti Purwa, menanggung seluruh bobotnya tanpa pernah meminta tepuk tangan.
Ketika badai datang, dan angin menderu-deru, Purwa adalah yang pertama kali dipanggil. Kayu bakar tambahan sangat dibutuhkan untuk menjaga agar rumah-rumah tidak basah kuyup dan agar orang tidak membeku. Dalam badai, Purwa tidak ragu. Ia akan melilitkan kain tebal di kepalanya, mengencangkan ikatan, dan berjalan melawan hembusan angin yang berusaha menjatuhkannya. Dalam situasi ekstrem ini, ia merasa paling hidup, karena kebutuhannya terasa paling mendesak. Pengabdiannya diuji dan ditegaskan kembali oleh kerasnya alam.
Jika seseorang membongkar bundelan kayu bakar Purwa, ia akan menemukan bahwa tidak ada dua batang kayu yang sama. Ada batang yang lurus dan sempurna, mungkin dari dahan pinus yang tinggi. Ada batang yang bengkok dan berlumut, yang diambil dari dasar lembah, menyimpan kelembaban dan rahasia bumi. Ada potongan yang lebih kecil, yang berfungsi sebagai penyulut api awal, yang harus dibelah dengan ketelitian. Dan ada bongkahan besar, yang akan terbakar selama berjam-jam, memberikan panas yang stabil sepanjang malam. Setiap potongan memiliki masa lalunya, teksturnya, dan perannya dalam ritual api.
Purwa memperlakukan setiap batang kayu dengan hormat. Ia tahu bahwa meskipun tak bernyawa, mereka adalah pahlawan yang mengorbankan diri untuk menghasilkan energi. Ia tidak pernah membuang sisa-sisa, bahkan serbuk gergaji dan remahan kecil pun dikumpulkan, karena dalam desa yang miskin, tidak ada yang boleh disia-siakan. Sikap ini mencerminkan etika yang lebih besar: menghormati sumber daya yang langka, dan menghargai setiap unit kerja, betapapun kecilnya.
Proses pemotongan kayunya pun adalah sebuah seni. Kapaknya harus tajam sempurna, ayunannya harus tepat dan kuat, membelah kayu dengan satu pukulan bersih. Jika ia memotong dengan keraguan, kayu itu akan pecah tidak merata, menciptakan limbah dan mengurangi efisiensi pembakaran. Ketepatan dalam memotong adalah representasi ketepatan dalam hidup. Purwa mengajarkan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan fokus dan niat yang jelas akan selalu memberikan hasil yang optimal.
Di bawah terik matahari, bayangan Purwa dan beban kayunya memanjang dan memendek di jalan setapak. Bayangan itu seperti jam pasir yang bergerak, menghitung detik-detik kelelahan dan ketekunan. Ia tidak pernah melihat bayangannya sebagai beban ganda, tetapi sebagai saksi bisu. Bayangan itu selalu ada, mengikuti irama yang sama, membuktikan bahwa ia tidak pernah sendirian dalam perjuangannya. Kehadiran bayangan itu memberinya rasa solidaritas yang aneh; ia dan bayangannya, sebuah tim yang bergerak lambat namun tak terhentikan menuju tujuannya.
Walaupun Purwa jarang mencari pengakuan, desa memberikan penghormatan dalam bentuk yang paling murni: kepercayaan dan ketergantungan. Ketika seorang ibu membutuhkan kayu bakar yang sangat kering untuk memanggang roti untuk pesta, ia hanya percaya pada Purwa untuk memilihkan potongan yang tepat. Ketika musim dingin tiba, orang-orang tidak menimbun kayu dari sembarang tempat; mereka menunggu Purwa datang, karena kayu bawaannya terjamin kualitas dan kejujurannya.
Kepercayaan ini adalah mata uang sejatinya. Itu jauh lebih berharga daripada koin yang ia terima. Purwa tidak pernah menipu, tidak pernah mencampur kayu basah dengan kayu kering secara berlebihan untuk menambah berat, dan ia tidak pernah menaikkan harga secara tidak adil. Etos kerjanya didasarkan pada prinsip timbal balik: jika ia memberikan yang terbaik dari dirinya, komunitas akan memberikan yang terbaik dari dukungan mereka.
Perjalanannya hari ini, seperti semua hari lainnya, adalah sebuah ziarah. Ziarah dari kesunyian menuju kegaduhan, dari alam menuju peradaban, dari pengorbanan menuju hasil. Setiap langkah adalah babak dalam cerita yang panjang, sebuah epik sunyi tentang seorang pria dan bebannya. Ia berjalan, dan dalam setiap gesekan tali rami, ia menegaskan kembali komitmennya. Bundelan itu bukan hanya kayu; itu adalah inti dari eksistensi, manifestasi dari dedikasi yang tak terucapkan.
Kakek Purwa, si pembawa kayu bakar, adalah pilar yang bergerak. Ia adalah fondasi yang bernapas. Ia adalah alasan mengapa di pagi yang dingin, anak-anak bisa tertawa di samping perapian yang hangat. Dan besok, sebelum matahari sepenuhnya terbit, ia akan kembali ke hutan, mengumpulkan warisan alam, dan memanggul beban yang sama—beban yang, entah bagaimana, justru membuatnya lebih ringan dalam jiwanya, karena ia tahu, ia telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Siklus terus berlanjut, abadi seperti nyala api yang ia ciptakan. Ia adalah penjaga api, di balik kabut tebal dan jauh dari sorot mata dunia yang sibuk.
Langkah demi langkah, ia bergerak. Setiap langkah adalah sebuah sumpah yang diulang. Sumpah untuk menjaga api tetap menyala. Sumpah untuk menghormati hutan. Sumpah untuk tidak pernah menyerah pada beratnya tanggung jawab yang ia pikul di atas bahu dan di dalam hati. Bahkan ketika ia sudah jauh dari desa, dan hanya suara dedaunan yang menemaninya, ia tahu, pekerjaannya masih dirasakan, kehangatan yang ia bawa masih terasa, dan jejak kakinya adalah peta kebaikan yang tak terhapuskan di atas muka bumi.
Di penghujung hari, saat senja mulai menyelimuti bukit-bukit, Purwa duduk di depan gubuknya. Ia tidak menyalakan api besar, hanya sebatang ranting kecil untuk merebus air minumnya. Ia melihat ke arah hutan yang kini gelap dan misterius, tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Hutan itu memberinya beban, tetapi hutan itu juga memberinya arti. Dan dalam pertukaran yang adil itu, Purwa menemukan inti dari hidup: sebuah perjuangan yang murni, sebuah pengorbanan yang disengaja, dan kehangatan yang dibagi-bagi.
Kayu bakar yang ia bawa hari ini akan menjadi asap besok, dan asap itu akan kembali ke langit, memberi makan awan, yang pada akhirnya akan menjadi hujan, memelihara pohon-pohon baru. Purwa adalah saksi hidup dari siklus kosmik ini, seorang partisipan aktif dalam tarian penciptaan dan kehancuran. Bebannya adalah anugerahnya, dan jalannya adalah takdirnya yang paling indah. Ia adalah Pembawa Kayu Bakar, dan melalui keringat dan ketekunannya, dunia kecilnya menemukan cahayanya yang abadi.
Setiap pagi yang baru membawa serta keputusan. Purwa selalu bangun sebelum fajar, mendengarkan keheningan yang dingin. Keheningan itu adalah panggilan, dan beban yang menanti di hutan adalah janji yang harus ditepati. Ia menyiapkan tali rami yang kuat, memeriksa mata kapaknya, dan memastikan air minumnya penuh. Persiapan ini adalah ritual yang sama pentingnya dengan perjalanan itu sendiri. Persiapan adalah pengakuan bahwa hari yang akan datang akan menuntut segalanya dari dirinya, dan ia harus siap memberikan segalanya.
Di dalam bundel kayu yang ia bawa, ada kayu yang diperuntukkan bagi rumah bidan desa, yang membutuhkan api stabil untuk mensterilkan peralatan dan menjaga bayi yang baru lahir tetap hangat. Ada kayu yang khusus dipesan oleh pembuat roti, yang membutuhkan panas tinggi dan cepat. Dan ada kayu untuk rumah duka, yang membutuhkan api yang bertahan lama sebagai simbol memori dan doa. Purwa tidak hanya mengirimkan bahan bakar, ia mengirimkan fungsi sosial, ia mengirimkan harapan, dan ia mengirimkan penghormatan pada tahapan kehidupan.
Terkadang, ia bertemu dengan pelintas lain di jalur itu, mungkin seorang pemburu atau pengumpul hasil hutan. Mereka melihatnya, dan dalam pandangan mereka, ada campuran rasa hormat dan keheranan. Purwa hanya mengangguk, tidak berhenti, tidak berbicara. Komunikasi yang paling mendalam terjadi antara dia dan bebannya, antara dia dan bumi yang ia injak. Kata-kata akan memecah konsentrasi, sementara keheningan menjaga energi yang sangat dibutuhkan untuk menopang berat yang luar biasa itu.
Perjalanan ini adalah penangkal terhadap kebosanan hidup. Meskipun rutinitasnya sama, setiap hari memiliki tantangannya sendiri. Hari yang berangin membutuhkan langkah yang lebih rendah dan pusat gravitasi yang lebih stabil. Hari yang licin setelah hujan membutuhkan kehati-hatian ganda. Kehidupan, bagi Purwa, adalah serangkaian penyesuaian yang konstan terhadap perubahan lingkungan. Ia adalah ahli adaptasi, master navigasi, dan filsuf yang berjalan di jalur sempit antara hutan dan desa.
Kayu bakar adalah simbol transformasi. Ia adalah materi mentah yang diubah menjadi energi yang vital. Purwa adalah agen transformasi itu. Ia mengambil kekayaan alam yang keras dan kaku, dan melalui pengorbanan pribadinya, ia mengubahnya menjadi kelembutan api. Proses ini mengingatkannya bahwa bahkan hal yang paling berat dan paling sulit pun dapat diubah menjadi sesuatu yang indah dan esensial. Kayu, seperti kesulitan, harus dibelah dan dibakar untuk menghasilkan cahaya.
Ketika malam tiba, dan desa tenggelam dalam keheningan yang nyaman yang diciptakan oleh api Purwa, ia merasa puas. Ia tidak membutuhkan kemewahan. Ia hanya membutuhkan kekuatan untuk mengulangi proses itu esok hari. Kehidupannya adalah siklus pengulangan yang heroik, sebuah monumen terhadap daya tahan manusia. Dan dalam setiap desah napasnya, setiap gesekan tali rami di kulitnya yang keras, terdapat cerita tentang pembawa kayu bakar—kisah tentang beban, jejak, dan makna hidup yang sejati.
Momen paling berharga baginya adalah ketika ia harus melintasi jembatan kayu tua di atas sungai kecil. Jembatan itu berderit dan bergoyang di bawah bebannya, dan ini adalah ujian terbesar bagi keseimbangannya. Di atas jembatan itu, Purwa harus menahan napas, memusatkan pandangan lurus ke depan, dan bergerak dengan presisi yang sempurna. Kegagalan di sini berarti kehilangan kayu, kehilangan upah, dan risiko cedera serius. Melewati jembatan itu adalah metafora untuk melewati kesulitan besar dalam hidup: itu membutuhkan fokus mutlak dan kepercayaan pada langkah-langkah yang telah dilatih selama puluhan tahun.
Ia telah melihat sungai itu berubah seiring musim—dari arus yang tenang dan dangkal di musim kemarau, hingga sungai deras dan mengancam di musim hujan. Seperti sungai itu, pekerjaannya juga berubah. Terkadang ia harus mencari kayu jauh lebih dalam di hutan karena area terdekat telah habis. Terkadang ia harus berurusan dengan hewan liar yang terkejut oleh kehadirannya. Tetapi Purwa menerima semua perubahan ini sebagai bagian dari perjanjiannya dengan alam. Ia adalah tamunya, dan ia harus tunduk pada hukum hutan.
Keheningan hutan yang ia rasakan selama berjam-jam telah memberinya perspektif yang berbeda. Ia belajar untuk tidak takut pada kesendirian, tetapi untuk merangkulnya. Dalam kesunyian itu, ia dapat mendengar suara-suara batin yang sering teredam oleh hiruk pikuk kehidupan desa. Suara-suara itu berbicara tentang nilai kesabaran, tentang kemuliaan kerendahan hati, dan tentang kekuatan yang tersembunyi dalam kelemahan yang diterima. Setiap helai serat kayu yang ia sentuh adalah pengingat akan hal ini.
Beban yang ia pikul bukanlah hukuman, melainkan sebuah kehormatan. Purwa adalah salah satu dari sedikit yang masih mempertahankan tradisi membawa kayu dengan cara kuno, tanpa bantuan mesin atau teknologi modern. Ia adalah penjaga keaslian, pelindung cara hidup yang lambat, berirama, dan terhubung langsung dengan bumi. Anak-anak muda mungkin melihatnya sebagai relik masa lalu, tetapi orang-orang tua melihatnya sebagai jangkar—sebuah pengingat bahwa nilai sejati terletak pada kerja keras yang jujur.
Saat fajar menyingsing, dan Purwa mulai melangkah di jalur Seribu Akar, ia tidak melihat hutan di depannya sebagai tantangan yang menakutkan, melainkan sebagai rumah kedua. Aroma tanah yang segar, bau lumut yang lembab, dan cahaya pagi yang dingin adalah sambutan yang akrab. Ia mengikat erat bundelan kayunya, merasakan bobot yang familiar menekan tulang belakangnya. Itu berat, ya, tetapi itu adalah berat yang mengandung kebenaran dan tujuan. Dan dengan itu, Pembawa Kayu Bakar melanjutkan perjalanannya, membawa beban yang mengubah kesunyian hutan menjadi kehangatan abadi bagi desa.
Kayu yang dibawanya adalah simbol dari kehidupan yang dihidupi dengan integritas. Ia adalah penghubung antara masa lalu yang penuh perjuangan dan masa depan yang penuh harapan, antara dinginnya malam dan panasnya api. Ia adalah Kakek Purwa, si Pembawa Kayu Bakar, dan kisahnya akan terus terbakar dalam memori desa, selama api masih dibutuhkan untuk bertahan hidup, selama hati manusia masih mendambakan kehangatan.