Perkawinan Kristen dipandang sebagai sebuah institusi kudus yang didirikan oleh Allah sendiri, yang melambangkan hubungan antara Kristus dan gereja-Nya. Dalam pandangan ideal, perkawinan adalah ikatan seumur hidup yang tidak dapat dipisahkan. Namun, realitas kehidupan seringkali menghadirkan tantangan kompleks, dan pertanyaan mengenai perceraian dalam kekristenan menjadi topik yang sering dibicarakan dan terkadang kontroversial.
Alkitab sendiri memberikan pandangan yang beragam mengenai perceraian. Dalam Perjanjian Lama, hukum Musa mengizinkan perceraian dalam kondisi tertentu, seperti yang tercatat dalam Ulangan 24:1-4. Yesus, dalam Perjanjian Baru, berbicara tentang hal ini dalam Matius 19:3-9 dan Markus 10:2-12. Ia menekankan bahwa perceraian itu tidak dikehendaki Allah sejak semula, dan Ia hanya mengizinkan satu alasan untuk perceraian, yaitu percabulan (perzinaan). Paulus dalam 1 Korintus 7:10-16 juga membahas situasi yang melibatkan perpisahan dan kemungkinan perceraian, termasuk dalam kasus di mana salah satu pasangan bukan Kristen.
Inti ajaran Kristus mengenai perkawinan adalah kesatuan yang diciptakan Allah: "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu badan. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Pernyataan ini menegaskan idealitas perkawinan yang tidak terpisahkan.
Namun, ketika ditanya mengapa Musa mengizinkan surat cerai, Yesus menjawab bahwa itu adalah karena ketegaran hati manusia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun idealnya tidak ada perceraian, ada realitas ketegaran hati yang dapat menyebabkan perpisahan. Alasan yang diberikan Yesus, yaitu "kecuali karena percabulan" (Matius 19:9), seringkali menjadi dasar penafsiran mengenai perceraian yang dapat diterima dalam kekristenan.
Paulus menambahkan dimensi lain dalam 1 Korintus 7. Ia membedakan antara orang percaya dan orang yang tidak percaya. Jika seorang suami atau istri yang tidak percaya ingin berpisah, orang percaya tidak boleh memaksakan untuk tetap bersama. Dalam konteks ini, Paulus seolah memberi jalan keluar ketika satu pihak tidak lagi ingin melanjutkan pernikahan.
"Tetapi jikalau orang yang tidak percaya itu ingin berpisah, biarlah ia berpisah; dalam hal demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah telah memanggil kita untuk hidup dalam damai sejahtera." (1 Korintus 7:15)
Dalam praktiknya, banyak pasangan Kristen menghadapi situasi yang jauh dari ideal. Masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan yang berulang, ketidaksetiaan emosional yang parah, kecanduan yang merusak, atau ketidakcocokan mendalam yang mengarah pada penderitaan terus-menerus dapat membuat kelangsungan pernikahan menjadi sangat sulit, bahkan mustahil. Dalam kasus-kasus ekstrem ini, beberapa denominasi dan penafsir Alkitab memandang perceraian sebagai opsi yang menyedihkan namun perlu, demi keselamatan fisik dan emosional salah satu atau kedua belah pihak, atau demi melindungi anak-anak.
Beberapa gereja dan teolog menekankan pentingnya rekonsiliasi dan pemulihan. Upaya untuk melakukan konseling pernikahan, doa bersama, dan dukungan dari komunitas gereja seringkali menjadi langkah pertama yang dianjurkan. Namun, ada situasi di mana rekonsiliasi tidak lagi memungkinkan atau bahkan berbahaya.
Perceraian, bagi individu Kristen, dapat membawa luka emosional dan spiritual yang mendalam. Rasa bersalah, malu, kegagalan, dan kehilangan seringkali menyelimuti. Gereja memiliki peran penting untuk memberikan dukungan, kasih, dan penerimaan tanpa syarat kepada individu yang mengalami perceraian. Ini termasuk memberikan ruang bagi mereka untuk menyembuhkan luka mereka, dan mengizinkan mereka untuk terus terlibat aktif dalam kehidupan gereja.
Banyak gereja Kristen modern memiliki pandangan yang lebih bernuansa mengenai perceraian, mengakui kompleksitas kehidupan modern. Mereka tidak selalu melihat perceraian sebagai dosa mutlak, tetapi sebagai konsekuensi yang menyakitkan dari kegagalan manusia dan keadaan yang tragis. Fokusnya bergeser ke penyembuhan, pemulihan, dan memberikan kesempatan kedua bagi individu yang telah mengalami perceraian untuk membangun kembali kehidupan mereka, termasuk kemungkinan untuk menikah lagi setelah masa berduka dan pemulihan yang memadai, meskipun ini bisa bervariasi antar denominasi.
Pada akhirnya, penanganan perceraian dalam kekristenan harus selalu dibingkai dalam kasih Kristus, yang mengundang pemulihan dan harapan bahkan di tengah-tengah kehancuran. Penting bagi setiap orang Kristen untuk mendekati isu ini dengan kerendahan hati, belas kasihan, dan kebijaksanaan, selalu merujuk kembali pada ajaran Alkitab sambil juga bergumul dengan realitas kehidupan yang seringkali sulit.
Meskipun pernikahan dalam pandangan Kristen idealnya adalah komitmen seumur hidup, Alkitab dan pengalaman hidup menunjukkan bahwa perceraian terkadang menjadi kenyataan yang menyakitkan. Gereja dihadapkan pada tugas yang menantang untuk menavigasi ajaran Alkitab, realitas penderitaan manusia, dan kebutuhan akan kasih serta penyembuhan. Menemukan keseimbangan antara penegasan nilai pernikahan yang kudus dan belas kasihan terhadap mereka yang terperangkap dalam kesulitan perkawinan adalah kunci dalam melayani umat Tuhan dengan bijak dan penuh kasih.