Surah Al-Ikhlas, yang sering dijuluki sepertiga dari Al-Qur’an, adalah manifestasi kemurnian Tauhid yang paling ringkas dan paling mendasar. Surah ini merupakan pernyataan tegas mengenai sifat-sifat keesaan Allah (Ahad), kemandirian-Nya (As-Samad), dan penolakan mutlak terhadap segala bentuk kemiripan atau persekutuan. Dalam empat ayatnya yang singkat, surah ini merangkum seluruh esensi akidah Islam. Namun, di antara ayat-ayat tersebut, ayat ketiga memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam menepis keraguan dan menyempurnakan konsep ketuhanan yang murni.
Lam Yalid Wa Lam Yūlad: Inti Penyangkalan
Terjemah harfiah dari ayat ketiga ini adalah: “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.” Ayat ini datang setelah pernyataan Allah sebagai Al-Ahad (Yang Maha Esa) dan As-Samad (Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Ayat ketiga ini berfungsi sebagai penegasan logis dan teologis terhadap dua sifat sebelumnya, sekaligus penolakan terhadap pemahaman ketuhanan yang dipengaruhi oleh batas-batas fisik dan temporal makhluk.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu memecah frasa ini menjadi dua bagian yang saling melengkapi: penolakan keturunan dan penolakan asal-usul. Kedua penolakan ini secara total memisahkan Allah dari sifat-sifat makhluk, khususnya makhluk yang tunduk pada proses reproduksi, waktu, dan perubahan.
1. Makna dan Implikasi dari "Lam Yalid" (Dia tiada beranak)
Frasa ‘Lam Yalid’ secara tegas menafikan adanya keturunan bagi Allah SWT. Dalam konteks teologi Islam, penafian ini memiliki implikasi yang sangat luas, jauh melampaui sekadar masalah biologis. Jika Allah memiliki keturunan (anak), maka akan muncul beberapa konsekuensi yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya:
- Keterbatasan dan Kebutuhan: Keturunan adalah upaya makhluk untuk melanggengkan eksistensi diri di tengah kefanaan. Makhluk beranak karena mereka fana, takut punah, dan perlu penerus. Allah, sebagai Al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri), adalah kekal abadi, tidak membutuhkan penerus. Kebutuhan akan keturunan menunjukkan kekurangan dan keterbatasan, yang mustahil bagi Sifat Tuhan.
- Bagian dan Pembagian: Beranak atau melahirkan berarti bahwa entitas tersebut membagi sebagian dari dirinya untuk menghasilkan entitas baru. Konsep pembagian ini bertentangan dengan keesaan mutlak (Al-Ahad) dan kesempurnaan zat Allah. Allah adalah satu, tak terbagi, dan tidak terpecah.
- Pasangan atau Partner: Adanya keturunan secara alamiah mensyaratkan adanya pasangan atau partner, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya di tempat lain: "Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri?" (QS. Al-An'am: 101). Penolakan adanya anak adalah penolakan adanya pasangan, yang berarti penolakan terhadap segala bentuk sekutu (Syirk) dalam keesaan-Nya.
Penolakan terhadap 'Lam Yalid' secara khusus menjawab klaim-klaim dari kelompok-kelompok terdahulu, termasuk orang-orang musyrik Arab yang menganggap malaikat sebagai anak perempuan Allah, dan juga menolak konsep Trinitas atau klaim spesifik yang menempatkan figur tertentu sebagai anak Tuhan. Allah adalah Pencipta yang berdiri sendiri, bukan bagian dari rantai reproduksi alam semesta.
2. Makna dan Implikasi dari "Wa Lam Yūlad" (Dan tiada pula diperanakkan)
Frasa ‘Wa Lam Yūlad’ menggunakan bentuk pasif (majhul), yang berarti ‘tidak dilahirkan’ atau ‘tidak berasal dari’. Ini adalah penolakan yang berfungsi menguatkan sifat 'Al-Awwal' (Yang Maha Permulaan) bagi Allah SWT. Ini menafikan adanya asal-usul, permulaan, atau sebab penciptaan bagi Allah.
- Penolakan Ketergantungan: Jika Allah diperanakkan, itu berarti ada entitas lain yang lebih dahulu ada dan menjadi sebab keberadaan-Nya. Konsep ini secara total menghancurkan sifat As-Samad (Tempat bergantung segala sesuatu) dan menjadikan Allah sebagai entitas yang bergantung, lemah, dan diciptakan, bukan Sang Pencipta.
- Keabadian Tanpa Batas Waktu: Keterbatasan waktu (permulaan) adalah ciri khas makhluk. Allah adalah Al-Awwal, yang tidak didahului oleh apapun. ‘Wa Lam Yūlad’ menegaskan bahwa eksistensi Allah adalah Azali (tanpa permulaan) dan Abadi (tanpa akhir). Dia tidak terikat oleh konsep ‘sebelum’ atau ‘sesudah’.
- Kemandirian Mutlak (Al-Qayyum): Ayat ini menggarisbawahi kemandirian mutlak Allah. Segala sesuatu yang lahir atau diperanakkan pasti membutuhkan pencipta, pengasuh, dan lingkungannya. Allah tidak membutuhkan semua itu. Dia adalah eksistensi murni yang ada dengan sendirinya (Wajib al-Wujud).
Dengan menggabungkan ‘Lam Yalid’ dan ‘Wa Lam Yūlad’, Surah Al-Ikhlas menutup semua pintu spekulasi mengenai zat Allah yang mungkin menyerupai makhluk. Tidak ada anak, dan tidak ada orang tua. Dia berada di luar siklus kehidupan dan kematian, penciptaan dan reproduksi, yang mendominasi alam materi.
Latar Belakang Historis dan Teologis Ayat Ketiga
Pernyataan 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad' tidak hanya bersifat doktrinal; ia juga merupakan jawaban langsung terhadap tantangan teologis yang dihadapi Rasulullah SAW di Mekah. Konsep ketuhanan yang murni ini muncul sebagai pembeda yang tajam dari sistem kepercayaan di sekitarnya.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Riwayat-riwayat tentang sebab turunnya Surah Al-Ikhlas mengindikasikan bahwa ayat ini turun sebagai respons terhadap pertanyaan yang sangat spesifik dari kaum musyrikin atau Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Mereka bertanya, "Jelaskan kepada kami tentang Tuhanmu. Apakah Dia terbuat dari emas? Perak? Dari apa asal-usul-Nya? Apakah Dia punya anak?"
Permintaan ini menunjukkan bahwa pemahaman ketuhanan pada masa itu masih terikat pada model antropomorfis (berbentuk manusia) atau model dewa-dewi yang memiliki hierarki keluarga. Dengan turunnya ayat ini, Allah memberikan jawaban yang sangat tegas: Tuhan yang disembah umat Islam adalah Zat yang benar-benar berbeda, tidak dapat dibandingkan, dan tidak tunduk pada atribut makhluk sedikit pun.
Refutasi terhadap Konsep Trinitas
Ayat 'Lam Yalid' (Dia tiada beranak) adalah penolakan eksplisit terhadap konsep teologis yang mengklaim bahwa Tuhan memiliki anak, baik dalam arti harfiah maupun metaforis, khususnya yang terkait dengan klaim tentang status Nabi Isa AS. Ayat ini menegaskan bahwa hubungan Allah dengan makhluk-Nya adalah hubungan Pencipta dengan ciptaan, bukan hubungan ayah dengan anak.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah penolakan terhadap semua kelompok yang mengaitkan keturunan kepada Allah, baik mereka yang berkata ‘Uzair adalah anak Allah’, ‘Malaikat adalah anak perempuan Allah’, atau ‘Al-Masih adalah anak Allah’. Semua klaim tersebut, tanpa terkecuali, adalah bentuk Syirk yang paling mendasar, karena ia menodai sifat kesempurnaan dan kemandirian Allah.
Jika Allah beranak, maka Ia akan berbagi kekuasaan, dan jika Ia diperanakkan, maka Ia tunduk pada kehendak lain. Kedua skenario ini mustahil bagi Tuhan yang Maha Kuasa. Ketiga ayat ini (Qul Huwallahu Ahad, Allahus Samad, Lam Yalid Wa Lam Yūlad) bekerja bersama untuk membangun benteng pertahanan bagi kemurnian akidah. Tanpa penolakan 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad', konsep 'Al-Ahad' akan rentan terhadap interpretasi yang ambigu.
Analisis Linguistik Mendalam: Kekuatan Negasi
Kekuatan ayat ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ terletak pada penggunaan gramatikal Bahasa Arab, terutama partikel negasi ‘Lam’. Partikel ‘Lam’ berfungsi untuk menafikan suatu tindakan di masa lalu, namun implikasinya dalam konteks sifat Allah adalah negasi yang bersifat abadi dan mutlak, mencakup masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Penggunaan 'Lam' untuk Negasi Mutlak
Dalam bahasa Arab, jika Allah hanya menggunakan partikel negasi umum (misalnya, ‘Laa yalid’), ini mungkin hanya berarti ‘Dia tidak beranak (saat ini)’. Namun, penggunaan ‘Lam’ yang diikuti oleh bentuk Jazm (pemotongan harakat vokal akhir) pada kata kerja Yalid (beranak) dan Yūlad (diperanakkan) memberikan kekuatan negasi yang permanen dan universal.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad' tidak sekadar menyatakan bahwa Allah belum pernah beranak; melainkan, mustahil bagi-Nya untuk memiliki sifat tersebut kapan pun dan dalam kondisi apa pun. Sifat ketidakberanakkan adalah sifat wajib yang melekat pada Dzat-Nya yang Maha Sempurna.
Keseimbangan antara Aktif dan Pasif
Penyandingan bentuk aktif (Yalid) dengan bentuk pasif (Yūlad) menciptakan keseimbangan retoris yang sempurna, menepis potensi kesalahan dari dua sisi ekstrem:
- Sisi Subjek (Lam Yalid): Menghilangkan kemungkinan bahwa Allah adalah sumber, produsen, atau pencipta melalui mekanisme reproduksi.
- Sisi Objek (Wa Lam Yūlad): Menghilangkan kemungkinan bahwa Allah adalah objek, produk, atau hasil dari mekanisme penciptaan lain.
Kedua penafian ini memastikan bahwa Allah adalah Wajib al-Wujud (Eksistensi yang Wajib Ada) secara independen, tanpa penyebab eksternal, dan tanpa kebutuhan internal untuk memperbanyak diri. Dia adalah Pencipta dan Pemilik mutlak, tidak pernah diciptakan dan tidak pernah menciptakan duplikasi Dzat-Nya.
Tawhid Uluhiyyah dan Rububiyyah dalam Ayat Ketiga
Surah Al-Ikhlas, dan khususnya ayat ketiga, adalah penegasan lengkap terhadap kedua jenis Tauhid utama: Tauhid Rububiyyah (Keesaan dalam Penciptaan dan Pengaturan) dan Tauhid Uluhiyyah (Keesaan dalam Peribadatan). 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad' memperkuat keduanya secara sinergis.
Hubungan dengan Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur, dan Penguasa alam semesta. Jika Allah diperanakkan (Wa Lam Yūlad), maka Dia bukanlah Pencipta awal, melainkan ciptaan, yang berarti Tauhid Rububiyyah-Nya batal. Jika Dia beranak (Lam Yalid), maka akan ada partner dalam pengaturan alam semesta, atau penerus yang diperlukan untuk menjaga keteraturan alam, yang juga meniadakan Rububiyyah yang mutlak.
Kesempurnaan pengaturan alam semesta hanya mungkin jika Pengaturnya adalah tunggal, kekal, dan tidak terbagi. Ayat ketiga menjamin bahwa kekuasaan Allah tidak pernah dibagi-bagi melalui garis keturunan dan tidak pernah diwariskan dari pihak lain. Segala sesuatu berasal dari-Nya, dan Dia tidak berasal dari apa pun.
Hubungan dengan Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah pengkhususan ibadah hanya kepada Allah. Mengapa hanya Allah yang berhak disembah? Karena Dia adalah satu-satunya yang Maha Sempurna. Jika Tuhan memiliki anak atau diperanakkan, maka Ia memiliki kelemahan yang membutuhkan pemenuhan atau perlindungan, dan entitas yang memiliki kelemahan tidak layak menerima ibadah yang mutlak.
Hanya Tuhan yang mandiri, yang tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki penerus atau keturunan, yang layak mendapatkan ibadah murni. Ayat ketiga membebaskan hati manusia dari menyembah entitas yang mungkin fana atau bergantung. Ini adalah pemurnian ibadah dari semua unsur Syirk.
Implikasi Filosofis dan Kosmologis
Konsep yang terkandung dalam 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad' juga memiliki bobot filosofis yang luar biasa, memberikan kerangka kerja yang solid untuk memahami eksistensi Tuhan di luar parameter fisik yang dikenal manusia.
Kebutuhan versus Kewajiban Eksistensi (Wajib al-Wujud)
Semua yang ada di alam semesta ini adalah Mumkin al-Wujud (eksistensi yang mungkin ada atau mungkin tidak ada); mereka membutuhkan sebab untuk ada. Air membutuhkan hidrogen dan oksigen. Manusia membutuhkan orang tua. Planet membutuhkan proses pembentukan kosmik. Allah, bagaimanapun, adalah Wajib al-Wujud (Eksistensi yang Wajib Ada) oleh Dzat-Nya sendiri.
Frasa ‘Wa Lam Yūlad’ secara filosofis menolak rantai sebab-akibat yang tak terbatas (infinite regress) bagi Tuhan. Jika Tuhan memiliki sebab, maka Tuhan tersebut bukanlah Tuhan yang sejati. Tuhan yang sejati harus menjadi titik awal mutlak dari semua sebab, dan ayat ketiga adalah konfirmasi paling jelas dari realitas ini.
Transendensi (Tanzih) Mutlak
Ayat ini mengajarkan prinsip Tanzih, yaitu transendensi atau kebebasan Allah dari sifat-sifat makhluk. Segala sesuatu yang kita amati di alam semesta ini – kelahiran, reproduksi, kematian, perubahan, dan ketergantungan – adalah atribut khalq (ciptaan). Ketika Allah menyatakan bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, Dia memproklamirkan bahwa Dzat-Nya berada di luar jangkauan analogi, perbandingan, atau pemodelan yang didasarkan pada pengalaman manusia.
Para ulama Kalam (teolog) menggunakan ayat ini sebagai dalil utama untuk menolak Tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Jika Dia memiliki anak atau dilahirkan, Dia pasti menyerupai mekanisme hidup makhluk fana. Karena Dia mustahil menyerupai makhluk, maka Dia harus terbebas dari siklus reproduksi dan asal-usul. Pemahaman mendalam tentang ayat ini melindungi akidah dari kesalahan fatal antropomorfisme.
Pelestarian Aqidah melalui Pengulangan Konsep
Pentingnya surah Al-Ikhlas, dan khususnya penegasan 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad', tercermin dalam anjuran untuk membacanya. Keutamaan membaca surah ini setara sepertiga Al-Qur’an bukanlah karena panjangnya, melainkan karena surah ini merangkum sepertiga dari ajaran Islam, yaitu Tauhid. Sepertiga lainnya adalah hukum (syariah), dan sepertiga sisanya adalah kisah (sejarah kenabian).
Dalam ibadah sehari-hari, pengulangan ayat ketiga menjadi benteng spiritual yang terus menerus mengingatkan seorang Muslim tentang kemurnian Dzat yang mereka sembah. Ini adalah pelindung hati dari godaan Syirk kecil maupun Syirk besar.
Kontemplasi Filosofis pada "Lam Yalid"
Ketika seorang hamba merenungkan ‘Lam Yalid’ (Dia tiada beranak), ia memahami bahwa Allah tidak pernah merasa kesepian sehingga membutuhkan pendamping, tidak pernah merasa tidak berdaya sehingga membutuhkan penerus kekuasaan, dan tidak pernah merasa takut punah sehingga membutuhkan kelanjutan eksistensi melalui keturunan. Kontemplasi ini memupuk rasa takjub dan kekaguman pada kemahakuasaan Allah yang tidak memerlukan apapun di luar Dzat-Nya sendiri. Ketiadaan anak bagi Allah berarti kekayaan Dzat-Nya adalah mutlak, tidak terbagi, dan tidak dapat diwariskan.
Rasa ketergantungan pada Allah (tawakkal) semakin kuat karena hamba menyadari bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya entitas yang tidak bergantung pada apapun, bahkan pada anak. Jika Tuhan membutuhkan anak untuk melayani-Nya atau melanjutkan kekuasaan-Nya, maka Tuhan itu sendiri rapuh. Allah adalah Al-Ghani (Yang Maha Kaya), dan kekayaan-Nya mencakup ketidakbutuhan-Nya akan keturunan. Ini adalah kedalaman Tauhid yang sangat menenangkan bagi jiwa.
Kontemplasi Spiritual pada "Wa Lam Yūlad"
Perenungan terhadap ‘Wa Lam Yūlad’ (Dan tiada pula diperanakkan) membawa pada kesadaran mendalam akan keazalian Allah. Allah tidak memiliki permulaan. Ini berarti bahwa semua keberadaan di luar Allah adalah ciptaan yang hadits (baru). Kesadaran ini menuntut kerendahan hati mutlak dari hamba.
Jika Allah dilahirkan, maka ada waktu ketika Dia belum ada, yang bertentangan dengan sifat keabadian-Nya. Karena Dia tidak dilahirkan, Dia adalah sumber waktu itu sendiri. Dia menciptakan waktu, bukan diciptakan di dalamnya. Pemahaman ini membebaskan manusia dari penyembahan berhala waktu atau asal-usul materi. Tidak ada ‘sebelum Tuhan’, hanya Tuhan.
Ayat ini adalah pondasi bagi keyakinan bahwa Allah adalah ‘Al-Awwal’ (Yang Pertama) tanpa didahului apa pun, dan ‘Al-Akhir’ (Yang Terakhir) tanpa diakhiri apa pun. Dalam konteks spiritual, ini berarti bahwa harapan dan tumpuan hanya boleh diletakkan pada Dzat yang tidak akan pernah hilang atau berubah karena asal-usul-Nya yang mustahil ditembus oleh kefanaan.
Kesatuan Makna dengan Ayat Keempat (Wa Lam Yakun Lahū Kufuwan Ahad)
Ayat ketiga dan keempat Surah Al-Ikhlas merupakan pasangan yang sempurna dalam menafikan keserupaan. Ayat ketiga (‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’) menafikan keserupaan Allah dalam aspek Internal Dzat-Nya (yaitu, tidak ada yang lahir dari-Nya dan tidak ada yang melahirkan-Nya). Sedangkan ayat keempat (‘Wa Lam Yakun Lahū Kufuwan Ahad’) menafikan keserupaan Allah dalam aspek Eksternal (yaitu, tidak ada satu pun makhluk yang setara atau sebanding dengan-Nya).
Jika seseorang meyakini 'Lam Yalid Wa Lam Yūlad' secara sempurna, ia pasti akan mengakui 'Wa Lam Yakun Lahū Kufuwan Ahad'. Tuhan yang tidak memiliki asal-usul dan tidak memiliki keturunan adalah Tuhan yang mustahil memiliki tandingan. Kesempurnaan Dzat-Nya yang dijelaskan di ayat ketiga adalah alasan logis mengapa tidak ada yang setara dengan-Nya di ayat keempat. Keduanya adalah dua sisi dari koin Tauhid yang sama, menolak segala bentuk perbandingan dengan entitas temporal atau terlahir.
Penyempurnaan Konsep Al-Ahad
Pernyataan ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ adalah penjelasan operasional dari ‘Qul Huwallahu Ahad’. Jika Dia ‘Ahad’ (Satu), maka Ia harus bebas dari segala bentuk pembagian (tidak beranak) dan bebas dari segala bentuk permulaan (tidak diperanakkan). Pembagian atau permulaan akan melanggar prinsip keesaan mutlak.
Para filosof dan teolog Islam telah menghabiskan ribuan tahun untuk menguraikan betapa esensialnya penafian dalam ayat ketiga ini untuk menjaga kemurnian sifat Ahad. Tanpa penafian ganda ini, ketuhanan akan merosot menjadi salah satu dari sekian banyak mitologi yang melibatkan dewa-dewi yang memiliki sejarah, keluarga, dan siklus hidup.
Kedalaman Makna dalam Setiap Kata
Mari kita telaah lebih jauh kedalaman setiap kata dalam frasa ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’, karena dalam keringkasan ini terkandung lautan makna teologis:
Yalid dan Wulūd (Kelahiran)
Akar kata Wulūd mencakup semua mekanisme reproduksi, baik yang melibatkan perkawinan, pembelahan, maupun hasil dari proses internal. Dengan menggunakan kata Yalid (bentuk aktif dari ‘melahirkan’), Allah menolak semua mekanisme ini. Kehendak Allah untuk menciptakan adalah melalui Kun Fayakun (Jadilah, maka jadilah ia), bukan melalui proses biologis atau mekanis apa pun.
Hal ini membedakan secara radikal konsep Allah dalam Islam dari konsep dewa-dewa yang seringkali memiliki asal-usul dan anak melalui perkawinan dewa-dewi lainnya, sebagaimana yang ditemukan dalam kepercayaan kuno. Allah tidak memiliki matriks, tidak membutuhkan energi eksternal, dan tidak perlu melalui proses pertumbuhan untuk menghasilkan makhluk-Nya. Dia adalah Khaaliqun (Pencipta), bukan Wa’lidun (Pelaku Reproduksi).
Yūlad (Diperanakkan)
Bentuk pasif Yūlad menyiratkan bahwa mustahil bagi Allah untuk menjadi produk. Segala sesuatu yang merupakan produk memiliki pencipta, memiliki kebutuhan, dan rentan terhadap kelemahan. Seandainya Allah diperanakkan, maka Dzat yang melahirkan-Nya akan lebih awal, lebih kuat, dan lebih berhak menyandang gelar Tuhan. Ayat ini dengan sekali tebas menghilangkan semua hierarki ketuhanan dan menegaskan bahwa tidak ada entitas yang mendahului Allah.
Penolakan asal-usul ini memberikan pemahaman kepada Muslim bahwa Pencipta haruslah entitas yang mandiri. Ini adalah konsep yang disebut oleh para teolog sebagai Qidam (Keazalian) dan Baqā’ (Kekekalan). Keazalian mustahil jika ada kelahiran, dan kekekalan mustahil jika ada reproduksi yang mengalihkan kekuasaan. Ayat ketiga adalah jaminan bagi kedua sifat wajib Allah ini.
Penerapan Ayat Ketiga dalam Kehidupan Muslim
Bagaimana ayat fundamental ini memengaruhi kehidupan sehari-hari seorang mukmin? Pemahaman sempurna tentang ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ menuntut konsekuensi praktis dan spiritual.
1. Kepercayaan Diri Mutlak
Mengetahui bahwa Tuhan yang disembah adalah absolut, tidak diciptakan, dan tidak akan pernah punah, memberikan kekuatan psikologis yang luar biasa. Jika Tuhan tidak membutuhkan apapun, maka hamba-Nya dapat sepenuhnya menyerahkan segala urusan kepada-Nya tanpa khawatir bahwa Tuhan tersebut akan hilang, diganti, atau melemah. Hal ini menumbuhkan ketenangan batin (sakinah) dan keyakinan teguh pada takdir (qada dan qadar).
2. Penolakan terhadap Pemujaan Tokoh Manusiawi
Ayat ini berfungsi sebagai filter utama terhadap ghuluw (sikap berlebihan) dalam memuliakan nabi, wali, atau tokoh spiritual. Karena hanya Allah yang mutlak tidak memiliki ayah dan anak, maka semua makhluk, betapapun mulianya, adalah ciptaan yang lahir dan akan mati. Ayat ini mencegah seorang Muslim mengangkat makhluk (bahkan nabi yang paling mulia) ke tingkat yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.
3. Menjaga Kesucian Konsep Penciptaan
Pemahaman bahwa Allah menciptakan segalanya tanpa bantuan anak atau tanpa asal-usul dari materi lain, memurnikan konsep Khaliq (Pencipta). Allah tidak menciptakan dari kelelahan, keterbatasan, atau dengan menggunakan bagian dari Dzat-Nya. Dia menciptakan dengan Kehendak. Ini mengajarkan seorang Muslim untuk melihat seluruh alam semesta sebagai bukti keesaan dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, yang bebas dari mekanisme material duniawi.
Dalam ringkasan, Surah Al-Ikhlas ayat 3, ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’, adalah sumpah abadi Allah terhadap kemurnian Dzat-Nya. Ini adalah pemutus mutlak antara sifat Tuhan dan sifat makhluk. Ia adalah penegasan ketiadaan keterbatasan waktu (awal dan akhir) dan ketiadaan kebutuhan (pasangan dan penerus) bagi Yang Maha Mutlak. Ia adalah perisai bagi hati yang mencari kebenaran hakiki dan mendambakan Tauhid yang tidak tercemar.
Keesaan yang sejati menuntut Tuhan yang tidak memulai dan tidak mengakhiri dalam siklus temporal makhluk. Dia adalah permulaan dari segala permulaan dan akhir dari segala akhir. Dialah Sang Pencipta yang abadi, azali, dan mandiri, dan penegasan ini terpatri kuat dalam kalimat agung: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. Kesempurnaan kalimat ini menjamin bahwa akidah seorang Muslim tetap murni dari segala bentuk perumpamaan atau kekeliruan teologis, menjadikannya kunci utama untuk memasuki pemahaman sejati tentang Dzat Allah SWT. Ini adalah fondasi yang tak tergoyahkan dari seluruh bangunan iman Islam, memastikan bahwa Yang disembah adalah Yang Maha Sempurna, jauh dari kelemahan reproduksi dan asal-usul yang melekat pada ciptaan.
Ayat ini tidak hanya menafikan masa lalu dan masa depan, tetapi juga menafikan realitas paralel yang mungkin melibatkan Tuhan. Bahkan dalam spekulasi filosofis terliar, konsep Tuhan yang melahirkan atau dilahirkan harus segera ditolak jika kita menerima bahwa Tuhan adalah Al-Ahad dan As-Samad. Seluruh keindahan dan kekuatan Islam sebagai agama monoteistik sejati bergantung pada pemeliharaan ketat terhadap makna yang terkandung dalam kalimat singkat namun padat ini. Ia menuntut Muslim untuk senantiasa memurnikan konsep ketuhanan dalam benak mereka, melepaskannya dari segala bentuk kontaminasi yang diwarisi dari tradisi manusia yang terikat pada kefanaan dan materi. Inilah inti dari Tauhid.
Pemahaman yang mendalam terhadap ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ juga memengaruhi bagaimana seorang Muslim memandang penciptaan alam semesta. Jika Allah memiliki anak atau diperanakkan, maka proses penciptaan mungkin saja merupakan suatu keharusan atau hasil dari kebutuhan untuk melayani atau membantu keberadaan-Nya. Akan tetapi, karena Allah tidak dilahirkan dan tidak beranak, penciptaan alam semesta adalah murni tindakan Kehendak dan Rahmat, bukan hasil dari kebutuhan Dzat-Nya. Makhluk diciptakan dari kekayaan-Nya yang mutlak, bukan dari kekurangan-Nya. Hal ini meningkatkan penghargaan terhadap segala ciptaan sebagai manifestasi kemurahan hati yang tak terhingga.
Selanjutnya, mari kita analisis kembali dimensi retoris dari surah ini. Susunan ayat-ayatnya sangat ringkas dan efisien. Ayat pertama memperkenalkan keesaan, ayat kedua menegaskan kemandirian, dan ayat ketiga memberikan bukti penolakan absolut melalui dua negasi penting. Ayat ketiga ini adalah penghubung logis yang mengikat keesaan (Ahad) dan kemandirian (Samad). Seseorang tidak bisa menjadi ‘Ahad’ sejati jika ia memiliki ‘bagian’ (anak) atau ‘sebab’ (asal-usul). Ayat ini secara linguistik menciptakan penolakan total yang tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk keraguan atau perumpamaan.
Setiap Muslim diajarkan untuk meresapi makna ini agar ketika berhadapan dengan konsep ketuhanan dari agama atau filosofi lain, mereka memiliki fondasi yang kuat. Misalnya, dalam menghadapi narasi yang mencampuradukkan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia, ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ berfungsi sebagai pembeda yang tak terbantahkan. Ia adalah garis merah yang memisahkan Transendensi Ilahi dari realitas makhluk. Inilah yang membuat Surah Al-Ikhlas begitu istimewa dan sering dibaca dalam shalat; ia adalah deklarasi iman yang diperbarui secara terus-menerus.
Bentuk kata kerja yang digunakan, seperti yang telah dibahas, memberikan cakupan waktu yang luas—menolak peristiwa tersebut di masa lalu, dan secara implisit, di masa depan. Tidak akan pernah ada waktu di mana Allah memiliki anak, dan tidak akan pernah ada waktu di mana Allah memiliki asal-usul. Kekekalan waktu Allah (Al-Baqa’) ditegaskan dengan ketiadaan awal (Wa Lam Yūlad) dan ketiadaan akhir yang disebabkan oleh reproduksi (Lam Yalid). Kekekalan-Nya berbeda dari kekekalan makhluk yang mungkin dijanjikan oleh-Nya (seperti surga), karena kekekalan Allah adalah intrinsik, wajib, dan tanpa batas.
Penyimpangan dari Tauhid sering kali dimulai dari kelemahan dalam memahami ayat ini. Ketika manusia mulai mengatributkan kekuatan supranatural atau sifat keazalian kepada entitas selain Allah—misalnya, percaya pada wali yang dapat menciptakan atau mengatur tanpa izin Allah yang mutlak—mereka secara halus melanggar prinsip ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’. Sebab, jika ada entitas lain yang berbagi sifat keazalian atau kemandirian (seperti tidak membutuhkan sebab), maka ia menyerupai Tuhan. Ayat ini menuntut kewaspadaan spiritual yang konstan terhadap semua bentuk penyimpangan.
Dalam konteks modern, di mana pemikiran materialisme dan ateisme sering menantang keberadaan Tuhan, ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ menjadi jawaban yang logis dan kuat. Ateisme sering kali menuntut, "Siapa yang menciptakan Tuhan?" Jawaban Islam terletak pada ‘Wa Lam Yūlad’—Dia tidak diperanakkan, tidak diciptakan, dan tidak memiliki sebab. Jika Tuhan memiliki sebab, maka Dia bukanlah Tuhan. Dia adalah Uncaused Cause (Sebab yang Tak Bersebab), dan ini adalah satu-satunya konsep yang secara filosofis konsisten untuk sebuah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta Universal.
Sebaliknya, ‘Lam Yalid’ menantang pandangan yang mereduksi Tuhan menjadi kekuatan reproduksi kosmik atau entitas yang menciptakan melalui proses yang dapat diprediksi. Allah adalah Pribadi yang menciptakan dengan Kehendak-Nya yang sempurna dan mutlak, bukan melalui kebutuhan alamiah. Dia tidak tunduk pada hukum alam yang Dia ciptakan sendiri. Inilah yang membedakan Tauhid dari pandangan deistik atau panteistik yang menganggap Tuhan terikat pada alam semesta.
Pengulangan dan penekanan mendalam terhadap ayat ketiga ini dalam literatur tafsir membuktikan bahwa ia adalah titik perdebatan utama antara Islam dan agama-agama lain sepanjang sejarah. Islam menawarkan kesederhanaan dan kemurnian: Tuhan adalah tunggal, mandiri, tidak pernah menjadi bagian dari proses kelahiran atau penciptaan, dan tidak pernah menghasilkan duplikasi Dzat-Nya. Pemahaman ini adalah esensi keselamatan, karena ia adalah pembebasan jiwa dari ilusi ketergantungan pada apapun selain Yang Maha Mutlak. Kewajiban seorang hamba adalah menyembah, dan hak prerogatif Allah adalah menjadi Tuhan yang sempurna, azali, dan abadi, sebagaimana ditegaskan dalam ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’.
Kesempurnaan Dzat Allah yang terungkap di ayat ini juga menjamin bahwa sifat-sifat-Nya yang lain—seperti pengetahuan-Nya (Ilmu), kekuasaan-Nya (Qudrah), dan kehendak-Nya (Iradah)—juga bersifat mutlak, tanpa permulaan dan tanpa akhir. Jika Dzat-Nya tidak dilahirkan, maka Sifat-sifat-Nya tidak mungkin diciptakan atau diwariskan. Ini memberikan kepastian spiritual bagi seorang hamba bahwa kekuasaan yang mereka percayai tidak akan pernah usang atau dikalahkan.
Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar ayat ketiga Surah Al-Ikhlas, ia diingatkan bahwa ia menyembah entitas yang paling sejati dan paling murni yang dapat dibayangkan oleh akal. Dialah Sang Pencipta yang melampaui segala deskripsi makhluk, yang tidak dapat diukur dengan standar waktu, ruang, atau reproduksi. Kekuatan dan keindahan Tauhid terletak pada penolakan absolut ini terhadap segala bentuk keterbatasan. Kesempurnaan yang terkandung dalam ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’ adalah janji Allah kepada umat manusia bahwa Dia adalah Yang Maha Murni, dahulu, kini, dan selamanya, tanpa pasangan dan tanpa sebab.
Kita harus terus menggali dan merenungkan makna dari Surah Al-Ikhlas ayat 3, karena ia adalah landasan kokoh yang mencegah hati kita condong kepada pemikiran yang menyesatkan. Ia menjaga Tauhid kita agar tetap jernih seperti air yang mengalir dari sumber mata air yang tak pernah kering. Inilah yang dimaksud dengan Surah Pemurnian Iman (Al-Ikhlas).
Menutup pembahasan ini, kita kembali pada keagungan dan efisiensi bahasa Al-Qur'an. Dalam tujuh kata Arab, ‘Lam Yalid Wa Lam Yūlad’, Allah menyingkirkan ribuan tahun mitologi yang mencoba menyematkan sifat-sifat makhluk kepada Pencipta. Ini adalah kebijaksanaan mutlak. Ini adalah ilmu yang menyelamatkan. Inilah jantung dari keesaan yang kita cari dan kita sembah.