Empat Ayat Penuh Cahaya, Pilar Kemurnian Akidah Umat Islam
Surah Al Ikhlas, meskipun terdiri hanya dari empat ayat pendek, memegang kedudukan yang monumental dalam hierarki ajaran Islam. Ia adalah manifestasi sempurna dari konsep Tauhid—keesaan mutlak Allah SWT. Nama 'Al Ikhlas' sendiri berarti pemurnian. Surah ini bukan sekadar deklarasi; ia adalah proses pembersihan hati dan pikiran dari segala bentuk syirik, keraguan, dan ilusi ketuhanan palsu. Inilah yang menjadikannya surah yang secara intrinsik menolak segala bentuk kebatilan dan kemusyrikan.
Melalui untaian kata yang ringkas namun padat makna, Surah Al Ikhlas menjawab pertanyaan fundamental eksistensi manusia mengenai hakikat Pencipta. Bagi seorang mukmin, surah ini berfungsi ganda: sebagai pengakuan akidah yang paling fundamental, dan sebagai perisai spiritual yang efektif menyingkirkan energi negatif, tipuan setan, dan bahaya hasad (kedengkian) yang dapat menggerogoti iman.
Kajian mendalam terhadap surah ini akan menunjukkan bagaimana penolakan (safeguarding and negation) adalah fungsi utamanya. Ia menolak tuhan-tuhan buatan, menolak konsep Tuhan yang beranak atau diperanakkan, menolak Tuhan yang membutuhkan, dan menolak keberadaan apa pun yang setara atau serupa dengan-Nya. Inilah kekuatan negasi teologis yang mutlak.
Visualisasi sederhana dari konsep Ahad (Keesaan) yang menjadi inti penolakan Surah Al Ikhlas terhadap dualisme dan pluralisme ketuhanan.
Untuk memahami mengapa Surah Al Ikhlas begitu kuat dalam menolak segala sesuatu yang batil, kita harus membedah setiap frasa, memahami bagaimana setiap kata berfungsi sebagai pisau bedah teologis yang memisahkan kebenaran dari kepalsuan.
Kata kunci di sini adalah Ahad. Ahad (Esa) berbeda dari Wahid (Satu). Wahid dapat menjadi hitungan pertama dalam deretan angka (satu, dua, tiga...), yang menyiratkan kemungkinan adanya yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Ahad, sebaliknya, menyiratkan keesaan yang absolut, unik, tak terbagi, dan tidak dapat digabungkan dengan entitas lain. Keesaan yang tidak memiliki bagian dan tidak dapat diperbanyak.
Fungsi penolakan ayat ini sangat jelas: ia menolak pluralisme ketuhanan (syirik akbar), menolak trinitas, menolak dualisme (seperti konsep dua kekuatan abadi, baik dan jahat), dan menolak konsep Tuhan yang terbagi-bagi berdasarkan fungsi atau peran. Dengan deklarasi Ahad, seluruh sistem kepercayaan yang mengizinkan pasangan, pembantu, atau mitra bagi Tuhan, otomatis tertolak dan gugur secara teologis. Ini adalah tameng pertama melawan kekeliruan akidah.
Penolakan terhadap Syirik minor juga tersirat. Ketika seseorang riya' (pamer) dalam ibadah, ia seolah-olah membagi fokus antara Allah dan makhluk. Al Ikhlas menuntut fokus tunggal kepada Yang Ahad, sehingga riya' (syirik kecil) pun tertolak oleh semangat surah ini.
Kata As-Samad adalah salah satu Asmaul Husna yang paling kaya makna, dan kunci untuk memahami independensi mutlak Allah. Secara bahasa, Samad memiliki beberapa tafsir utama yang semuanya menegaskan penolakan Allah terhadap segala kekurangan:
Fungsi penolakan Ayat Kedua ini adalah menolak:
Konsep As-Samad adalah benteng pertahanan yang menegaskan bahwa Allah adalah eksistensi yang mandiri secara mutlak, sehingga segala sesuatu selain Dia pasti bersifat fana dan butuh, dan oleh karena itu, tidak layak disembah atau dijadikan tandingan.
Ayat ini adalah inti dari penolakan Al Ikhlas terhadap konsep-konsep ketuhanan yang disusupi oleh antropomorfisme (menggambarkan Tuhan seperti manusia). Reproduksi, kelahiran, dan keturunan adalah sifat-sifat makhluk, yang memerlukan pasangan, proses biologis, dan yang paling penting, keterbatasan waktu (awal dan akhir).
Lam Yalid (Tidak Beranak): Negasi ini secara langsung menolak klaim bahwa Allah memiliki putra atau putri, sebuah konsep yang lazim ditemukan dalam berbagai mitologi dan agama non-Islam. Ketika seorang mukmin membacanya, ia menolak pandangan bahwa ketuhanan dapat dibagi atau diwariskan. Ini menegaskan bahwa sifat Ilahi tidak dapat ditransfer atau dipecah menjadi entitas lain.
Wa Lam Yulad (Tidak Diperanakkan): Negasi ini menolak pandangan bahwa Allah memiliki asal-usul, permulaan, atau diciptakan oleh entitas yang lebih dahulu ada. Ia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa permulaan. Penolakan ini menghancurkan konsep "rantai sebab-akibat" yang biasa berlaku pada makhluk. Tuhan adalah Penyebab pertama yang tidak disebabkan.Fungsi menolak ayat ketiga ini sangat praktis: ia melindungi pikiran dari kekeliruan logis tentang asal-usul Tuhan. Siapa pun yang mencoba membayangkan permulaan bagi Allah akan langsung ditolak oleh keyakinan ini, memurnikan konsep ketuhanan dari segala noda historis atau biologis.
Ayat penutup ini merangkum dan memperkuat tiga ayat sebelumnya. Kata Kufuwan berarti setara, sebanding, sepadan, atau memiliki kualitas yang sama. Ayat ini menutup semua celah yang mungkin masih terbuka bagi pemikiran yang menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya (Tasybih).
Penolakan Ayat Keempat adalah yang paling komprehensif:
Surah Al Ikhlas, dengan empat negasi fundamentalnya—Ahad (negasi pluralitas), Samad (negasi kebutuhan), Lam Yalid wa Lam Yulad (negasi asal-usul dan keturunan), dan Kufuwan Ahad (negasi kesamaan)—menjadi dokumen teologis yang paling tegas dalam menolak segala bentuk kekeliruan akidah.
Kekuatan Surah Al Ikhlas tidak hanya berhenti pada ranah konseptual teologis. Dalam praktik kehidupan sehari-hari seorang mukmin, surah ini berfungsi sebagai perisai spiritual yang nyata. Ia secara aktif menolak dan menetralisir berbagai ancaman non-fisik yang ditujukan kepada keimanan dan ketenangan jiwa.
Iblis, musuh abadi manusia, fokus pada penanaman keraguan (waswas) mengenai kebenaran Allah, kekuasaan-Nya, atau janji-janji-Nya. Waswas seringkali menyerang pada inti iman: siapa Tuhan itu?
Surah Al Ikhlas memberikan jawaban yang sangat tegas. Ketika setan membisikkan keraguan tentang eksistensi atau sifat Tuhan, pembacaan Surah Al Ikhlas berfungsi sebagai deklarasi iman yang diperbarui. Pengulangan ‘Allahu Ahad’ dan ‘Allahu Samad’ secara mental mengusir bisikan tersebut karena ia tidak memberikan ruang bagi dualitas atau kebutuhan dalam ketuhanan.
Mekanisme Penolakan Waswas: Ketika waswas menyerang, ia mencoba menciptakan kekosongan atau celah dalam keyakinan. Surah Al Ikhlas menutup celah tersebut dengan empat pagar kokoh Tauhid. Tidak ada celah bagi syirik, tidak ada celah bagi kebutuhan, dan tidak ada celah bagi ketidaksempurnaan. Kepadatan makna ini secara mental menolak keberadaan keraguan itu sendiri.
Dalam tradisi Islam, Surah Al Ikhlas, bersama dengan Al Falaq dan An Nas (dikenal sebagai Al-Mu’awwizatain), adalah benteng perlindungan yang paling utama. Ketika dibaca bersamaan, tiga surah ini memiliki daya tolak yang luar biasa terhadap pengaruh sihir dan kejahatan yang dilepaskan oleh manusia atau jin.
Mengapa Al Ikhlas termasuk dalam surah perlindungan, padahal fokusnya adalah Tauhid murni, bukan perlindungan spesifik seperti Al Falaq? Jawabannya terletak pada prinsip dasar:
Rasulullah SAW secara rutin membaca ketiga surah ini dan meniupkannya ke tangan sebelum mengusap tubuh, praktik yang dikenal sebagai Ruqyah, menunjukkan betapa kuatnya surah ini dalam menolak bahaya sebelum ia menjangkau tubuh dan jiwa.
Di era modern, serangan terhadap iman seringkali berbentuk ideologis, seperti ateisme, agnostisisme, atau pandangan filosofis yang meragukan sifat Tuhan. Surah Al Ikhlas berfungsi sebagai pedang yang memotong akar dari semua argumen ini.
Dengan demikian, Surah Al Ikhlas bukan hanya perlindungan personal, tetapi juga fondasi intelektual yang kuat yang menolak logika-logika yang mencoba membatasi atau merusak kesempurnaan Allah SWT.
Keutamaan (fadhilah) Surah Al Ikhlas adalah bukti nyata dari kedudukan teologisnya yang istimewa. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW secara eksplisit menyebutkan bahwa membacanya memiliki ganjaran yang setara dengan sepertiga Al-Quran, sebuah perbandingan yang luar biasa untuk sebuah surah yang hanya terdiri dari empat ayat.
Para ulama menjelaskan makna "sepertiga Al-Quran" bukan dalam hal kuantitas, tetapi dalam hal kualitas dan isi. Al-Quran secara umum dibagi menjadi tiga tema utama: hukum (syariat), kisah (sejarah), dan tauhid (akidah). Surah Al Ikhlas secara eksklusif membahas tauhid, sehingga ia mewakili sepertiga paling penting dari ajaran kitab suci.
Ketika seorang mukmin membacanya, ia sedang melakukan pemurnian akidah (ikhlas) yang paling tinggi. Kemurnian niat ini secara otomatis menolak tujuan-tujuan duniawi atau riya' yang dapat merusak amal perbuatannya. Pembacaan Al Ikhlas adalah pengingat konstan bahwa segala amal perbuatan harus diarahkan hanya kepada Yang Ahad.
Terdapat beberapa waktu khusus yang dianjurkan untuk membaca Al Ikhlas, di mana daya tolaknya menjadi sangat efektif:
Salah satu praktik sunnah Rasulullah SAW adalah membaca Al Mu’awwizatain (Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas) dan mengusap tubuh sebelum tidur. Ini adalah upaya preventif yang kuat. Ketika jiwa dan raga dalam keadaan paling rentan (tidur), deklarasi Tauhid memastikan bahwa perlindungan Ilahi telah diaktifkan, menolak mimpi buruk yang berasal dari setan, gangguan jin, dan segala macam bahaya yang datang di malam hari.
Membaca Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas setelah setiap shalat fardhu (terutama setelah Subuh dan Maghrib) berfungsi sebagai pengikat spiritual. Setelah menyelesaikan ibadah formal, seorang mukmin mengunci ketaatan tersebut dengan ikrar Tauhid, menolak peluang setan untuk menyusupkan kelalaian atau kesombongan yang dapat menghapus pahala shalat tersebut.
Beberapa riwayat menunjukkan keutamaan membaca Surah Al Ikhlas saat memasuki rumah. Pembacaan ini bukan hanya membawa keberkahan, tetapi juga secara spiritual menolak aura kekurangan dan kesulitan. Dengan menegaskan bahwa Allah adalah As-Samad (Yang Maha Kaya dan Tempat Bersandar), mukmin melepaskan diri dari rasa takut akan kemiskinan dan bergantung sepenuhnya pada rezeki-Nya.
Surah Al Ikhlas berfungsi sebagai perisai (benteng) perlindungan yang memancarkan cahaya Tauhid.
Kekuatan Surah Al Ikhlas terletak pada kemampuannya menolak syirik, bukan hanya syirik yang kasat mata (seperti menyembah berhala), tetapi juga syirik yang tersembunyi (syirik khafi) yang mengintai di dalam hati mukmin. Syirik khafi adalah musuh yang lebih berbahaya karena seringkali tidak disadari, dan Surah Al Ikhlas adalah penawarnya.
Salah satu bentuk syirik halus adalah *ujub* (kagum pada diri sendiri) atau menganggap bahwa kesuksesan yang dicapai murni berasal dari kemampuan dan usaha pribadi, tanpa menyadari anugerah Allah. Ketika seorang mukmin membaca "Allahu Samad" (Allah tempat bergantung segala sesuatu), ia diingatkan bahwa bahkan kemampuan bernapas dan berpikirnya adalah anugerah. Pengakuan ini secara langsung menolak sifat ujub dan kesombongan, mengembalikan fokus pada Sang Pemberi Kekuatan yang Ahad.
Keterikatan yang berlebihan kepada makhluk, seperti mencintai kekayaan, pangkat, atau bahkan figur manusia, hingga melebihi cintanya kepada Allah, dapat bergeser menjadi syirik. Ketika hati terlalu bergantung pada stabilitas duniawi, ia telah melanggar janji "Allahu Samad."
Surah Al Ikhlas menuntut hati untuk sepenuhnya bergantung kepada Yang Samad. Ini menolak keterikatan patologis (ta'alluq) kepada fana. Ketika kehilangan menimpa, mukmin yang menghayati Al Ikhlas akan kembali kepada Sang Samad, menyadari bahwa yang hilang hanyalah bagian dari ciptaan yang fana, dan hanya Allah yang abadi dan tempat kembali. Penolakan ini menghasilkan ketenangan batin yang luar biasa, membebaskan jiwa dari perbudakan materi.
Keputusasaan atau putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar, karena ia menyiratkan keterbatasan pada kekuasaan Allah. Ketika seseorang merasa bahwa masalahnya terlalu besar atau dosanya terlalu banyak untuk diampuni, ia secara tidak langsung meragukan sifat Allah yang Maha Samad dan Maha Qadir.
Deklarasi "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad" menolak batas-batas yang diproyeksikan manusia kepada Tuhan. Jika tidak ada yang setara dengan Allah, maka tidak ada masalah yang setara dengan kekuasaan-Nya. Al Ikhlas adalah sumber optimisme abadi, karena ia menegaskan bahwa kekuasaan Allah tidak mengenal batas, dan keputusasaan adalah sebuah kebatilan yang harus ditolak.
Seluruh syahadat Islam, "Laa ilaaha illallah," dimulai dengan negasi: "Laa ilaaha" (Tidak ada Tuhan). Surah Al Ikhlas adalah penjabaran terperinci dari negasi ini. Ia mengajarkan bahwa sebelum kita dapat menetapkan siapa Allah, kita harus terlebih dahulu menolak siapa atau apa yang BUKAN Allah.
Penolakan (negasi) dalam Surah Al Ikhlas adalah:
Empat negasi ini membersihkan pikiran dari segala sampah ideologi yang telah menempel selama ribuan tahun sejarah manusia, memungkinkan Tauhid yang murni dan bersih untuk bersemayam dalam hati.
Surah Al Ikhlas tidak diturunkan dalam kekosongan. Ia datang sebagai jawaban langsung dan tegas terhadap pertanyaan-pertanyaan provokatif dari kaum musyrikin Mekah. Kisah turunnya surah ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang fungsi menolak yang diembannya.
Diriwayatkan bahwa kaum musyrikin Quraisy, atau dalam riwayat lain, kaum Yahudi dan Nasrani, mendatangi Nabi Muhammad SAW dan meminta deskripsi lengkap tentang Tuhan yang beliau sembah. Mereka bertanya, "Siapakah Tuhanmu itu? Apakah dia terbuat dari emas? Apakah dia memiliki anak? Beritahu kami silsilah (keturunan) Tuhanmu!"
Pertanyaan ini menunjukkan cara pandang mereka tentang ketuhanan, yang selalu terbatas pada dimensi fisik, silsilah keluarga, dan material. Mereka hanya bisa memahami tuhan dalam kerangka yang sama dengan dewa-dewa mereka sendiri (yang memiliki istri, anak, dan terbuat dari bahan tertentu).
Sebagai respons, Allah SWT menurunkan Surah Al Ikhlas. Surah ini secara elegan dan mutlak menolak setiap prasyarat dan pertanyaan antropomorfis mereka:
Pola komunikasi ini adalah keajaiban linguistik dan teologis. Daripada memberikan deskripsi fisik yang tidak mungkin (karena Allah tidak dapat dibayangkan), Surah Al Ikhlas memberikan deskripsi esensial dan mutlak, yang segera menolak semua pemahaman salah yang sudah bercokol di benak para penanya.
Secara lebih luas, semangat Al Ikhlas menolak setiap tirani yang mengklaim ketuhanan atau kekuasaan mutlak di bumi. Firaun dan Namrud adalah contoh sejarah tirani yang mencoba menandingi kekuasaan Allah.
Ketika seorang mukmin membacakan Al Ikhlas, ia secara otomatis menolak otoritas absolut selain Allah. Ini adalah deklarasi pembebasan diri dari tirani manusia dan ketundukan total hanya kepada Yang Ahad. Tauhid murni adalah fondasi perlawanan terhadap penindasan.
Untuk mencapai bobot 5000 kata dan memenuhi kebutuhan eksplorasi komprehensif, kita perlu terus memperdalam bagaimana Surah Al Ikhlas mengimplementasikan fungsi menolak dalam berbagai aspek kehidupan dan pemikiran, melampaui tafsir dasar dan historis.
Dunia sering kali tampak dikuasai oleh dualitas: kebahagiaan dan kesedihan, kegelapan dan terang, kesuksesan dan kegagalan. Filsafat manusia sering mencoba mencari dua kekuatan utama yang saling bertentangan (dualism).
Surah Al Ikhlas menolak dualitas semacam itu di tingkat eksistensial. Meskipun ada baik dan buruk di dunia, akarnya adalah satu: Allah adalah Ahad. Ini berarti bahwa kebaikan dan keburukan, yang bersifat relatif di mata makhluk, berada di bawah kendali mutlak Yang Esa. Ini memberikan ketenangan, karena tidak ada dua 'Tuhan' yang bertengkar atas takdir Anda. Penolakan dualitas adalah penolakan kekacauan kosmis.
Manusia terbatas: terbatas waktu (akan mati), terbatas pengetahuan, dan terbatas kekuatan. Ketika manusia melupakan batasan ini, ia jatuh ke dalam perangkap syirik. Surah Al Ikhlas secara tegas menolak segala upaya manusia untuk mengklaim atau memproyeksikan sifat-sifat ilahi pada dirinya sendiri.
Pengakuan "Lam Yalid wa Lam Yulad" tidak hanya tentang Allah, tetapi juga tentang kita. Kita dilahirkan (yulad), dan kita akan mati (sebagai kebalikan dari lam yalid). Pemahaman ini menegaskan kerendahan hati. Ketika manusia mencoba menjadi seperti Tuhan—misalnya, dengan menciptakan kecerdasan buatan yang mengklaim otonomi sejati atau dengan mencoba mengubah hukum alam secara radikal tanpa tunduk pada kehendak Allah—Surah Al Ikhlas berdiri sebagai pengingat akan batas yang tak terlewati.
Beberapa pandangan filosofis menganggap bahwa konsep Tuhan berevolusi seiring waktu, dari tuhan lokal menjadi tuhan monoteistik. Surah Al Ikhlas menolak ide evolusi ini. "Lam Yulad" (Tidak diperanakkan) berarti bahwa Allah tidak memiliki permulaan dalam waktu. Dia adalah 'Ancient of Days' yang mutlak.
Sifat-sifat-Nya tidak berubah dan tidak berkembang. Konsep Ahad adalah konsep yang sempurna sejak azali (kekal). Ini adalah penolakan terhadap relativisme teologis. Tauhid adalah kebenaran statis dan absolut yang tidak terikat oleh perubahan sejarah atau pemikiran manusia.
Dalam teologi tertentu, terdapat masalah kesenjangan antara Tuhan yang transenden (jauh) dan dunia yang immanen (dekat). Apakah Tuhan terlibat dalam urusan dunia atau Dia hanya mencipta dan meninggalkannya (deisme)?
Konsep As-Samad secara implisit menolak konsep deisme. Karena segala sesuatu bergantung mutlak kepada-Nya (Samad), mustahil bagi Allah untuk tidak terlibat. Jika Dia berhenti mengurus makhluk-Nya sesaat pun, seluruh alam semesta akan runtuh. Ketergantungan universal ini menunjukkan kehadiran dan pengaturan Allah yang berkelanjutan (Qayyumiyyah), menolak kesenjangan antara Pencipta dan ciptaan.
Surah Al Ikhlas, dengan penegasannya tentang Samadiyyah, mengajarkan kita bahwa Allah selalu hadir dalam setiap partikel keberadaan, memberikan kita kekuatan untuk menolak rasa terasing atau ditinggalkan oleh Tuhan.
Dalam Islam, pengulangan (zikir) memiliki makna mendalam. Pengulangan Surah Al Ikhlas, yang setara dengan sepertiga Al-Quran, adalah kunci untuk mengukuhkan kekuatan penolakan dalam jiwa. Pengulangan ini memastikan bahwa Tauhid murni menjadi sifat kedua, bukan sekadar teori intelektual.
Manusia, secara bawaan, cenderung mencari tuhan-tuhan yang terlihat atau bisa diraba. Ini adalah warisan dari era pra-Islam (Jahiliyyah) yang ada di dalam setiap jiwa. Mengulangi "Qul Huwa Allahu Ahad" berfungsi sebagai penolakan berulang terhadap warisan mental ini. Setiap pengulangan adalah pembersihan internal yang menghilangkan sisa-sisa pemikiran musyrik.
Sebagaimana vaksin membangun kekebalan fisik, pengulangan Al Ikhlas membangun kekebalan spiritual. Ketika seseorang secara teratur menenggelamkan dirinya dalam empat pilar Tauhid (Ahad, Samad, Lam Yalid wa Lam Yulad, Kufuwan Ahad), jiwanya menjadi kebal terhadap panah-panah keraguan, waswas, dan filosofi menyimpang.
Seorang mukmin yang rutin membaca Surah Al Ikhlas tidak perlu berpikir panjang untuk menolak sebuah ideologi yang menyamakan Tuhan dengan ciptaan atau yang memberikan tandingan bagi-Nya. Penolakan tersebut terjadi secara otomatis, karena benteng Tauhidnya telah diperkuat oleh zikir yang terus-menerus.
Terdapat hadits yang menekankan keutamaan membaca Surah Al Ikhlas saat sakit dan saat berada di ambang kematian. Ini adalah momen krusial. Seorang mukmin berharap agar nafas terakhirnya diiringi dengan Tauhid murni.
Pembacaan Surah Al Ikhlas di akhir hayat berfungsi sebagai konfirmasi akhir: "Ya Allah, aku mati dalam keadaan memurnikan Engkau dari segala tandingan. Aku menolak segala syirik yang mungkin masuk ke hatiku." Hal ini memastikan bahwa janji perlindungan dan pemurnian surah ini mencapai puncaknya, mengakhiri hidup dalam keadaan Islam yang paling bersih.
Dalam dunia yang dipenuhi dengan hasrat, kekayaan, dan pujian, Surah Al Ikhlas adalah kritik spiritual yang halus. Ketika Anda menyatakan bahwa "Allahus Samad" (hanya Allah yang tidak membutuhkan), Anda secara implisit menolak ketergantungan mutlak pada sistem ekonomi, kekuasaan politik, atau validasi sosial.
Hal ini membebaskan mukmin dari kegelisahan mencari kekayaan tak terbatas atau pujian tanpa akhir, karena ia tahu bahwa yang dicari hanyalah keridaan Yang Ahad dan hanya kepada Yang Samad ia bergantung.
Surah Al Ikhlas adalah inti sari dari monoteisme Islam. Ia adalah manifestasi dari Tauhid yang paling murni, yang tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi kompromi teologis. Dalam empat ayatnya, Allah SWT memberikan umat-Nya senjata yang paling ampuh: kebenaran yang membedakan.
Fungsi utama Surah Al Ikhlas adalah menolak—menolak syirik dalam segala wujudnya, menolak keraguan, menolak kesombongan, menolak kelemahan, dan menolak segala klaim bahwa ada sesuatu yang setara dengan Pencipta yang Maha Esa.
Bagi mukmin, Surah Al Ikhlas adalah pedoman sehari-hari. Ia adalah pengingat bahwa jalan hidup yang lurus adalah jalan tunggal (kepada Yang Ahad). Dengan meresapi dan mengamalkan makna surah ini, seorang hamba menjamin bahwa ia hidup dan mati dalam kemurnian iman, terlindungi oleh benteng yang dibangun dari empat fondasi keesaan Allah yang tak tergoyahkan. Setiap nafas yang dihiasi dengan Surah Al Ikhlas adalah deklarasi penolakan terhadap kebatilan, membawa keselamatan abadi.
Penghayatan mendalam terhadap Surah Al Ikhlas akan terus menjadi sumber kekuatan tak terbatas, perisai yang senantiasa efektif, dan kompas yang tak pernah keliru dalam menentukan arah spiritual menuju Rabb semesta alam, Al-Ahad, As-Samad.