Pendahuluan: Misteri Urutan Pewahyuan (Nuzul)
Surah Al-Kafirun (Orang-orang Kafir) adalah salah satu surah Makkiyah yang sangat penting, diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah. Surah ini dikenal sebagai penegasan absolut tentang pemisahan yang tegas antara tauhid (keesaan Allah) dan syirik (penyekutuan). Enam ayatnya merupakan deklarasi final penolakan terhadap segala bentuk kompromi teologis yang ditawarkan oleh kaum Quraisy saat itu.
Dalam studi keislaman, urutan pewahyuan (tartib an-nuzul) adalah subjek kajian yang kompleks dan krusial. Urutan ini tidak sama dengan urutan mushaf (tartib al-mushaf) yang kita baca sekarang. Mengetahui urutan nuzul membantu kita memahami tahapan perkembangan dakwah, konteks historis, dan urgensi ayat-ayat tersebut saat pertama kali diturunkan. Pertanyaan spesifik mengenai “Surah Al-Kafirun diturunkan setelah surah apa?” membawa kita pada analisis mendalam mengenai kronologi Makkiyah awal.
Para ulama tafsir dan sejarah Islam telah berusaha keras menyusun kronologi pewahyuan berdasarkan riwayat dari para sahabat, terutama daftar yang dikaitkan dengan Jābir ibn Zayd dan riwayat dari Ibn Abbas, yang kemudian dikembangkan menjadi daftar kronologi standar modern, seperti yang dipublikasikan oleh Universitas Al-Azhar, Mesir. Meskipun terdapat sedikit perbedaan penempatan antara beberapa surah pendek (al-qisar al-mufassal), Surah Al-Kafirun umumnya ditempatkan dalam kelompok pewahyuan awal hingga pertengahan Makkiyah.
Gambar: Representasi grafis pemisahan tegas antara Tauhid dan Syirik, inti dari Surah Al-Kafirun.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus merujuk kepada daftar kronologi yang paling diterima secara luas. Daftar ini menempatkan Al-Kafirun, yang merupakan surah ke-18 atau ke-19 dalam urutan pewahyuan, tepat setelah Surah Al-Ma’un. Dengan demikian, konteks sosial dan teologis Al-Ma’un yang berbicara tentang perilaku sosial yang munafik menjadi pendahulu langsung bagi deklarasi teologis total yang terdapat dalam Al-Kafirun. Mari kita telaah lebih lanjut Surah yang mendahuluinya dan mengapa penempatan ini sangat logis.
Jawaban Kronologis: Surah Al-Kafirun Diturunkan Setelah Surah Al-Ma’un
Berdasarkan urutan kronologi pewahyuan (tartib an-nuzul) yang paling sering dijadikan rujukan oleh para ulama klasik seperti Nöldeke (yang menyusun kronologi berdasarkan riwayat Jābir ibn Zayd), Surah Al-Kafirun (No. 109) diturunkan setelah Surah Al-Ma’un (No. 107).
Rincian Urutan Wahyu
Dalam daftar kronologi Makkiyah awal, Surah Al-Kafirun biasanya menempati urutan ke-18 atau ke-19. Jika kita mengikuti daftar yang menyebutkan Al-Ma’un sebagai pendahulu, urutannya di sekitar periode itu adalah sebagai berikut:
- Al-Quraisy (sekitar ke-16)
- Al-Ma’un (sekitar ke-17)
- Al-Kafirun (ke-18)
- Al-Fil (sekitar ke-19 atau sebelumnya, tergantung variasi)
- Al-Falaq dan An-Nas (diturunkan belakangan, di Madinah atau akhir Mekkah)
Penempatan Surah Al-Ma'un sebelum Al-Kafirun memberikan transisi tematik yang menarik. Al-Ma’un (Barang-barang yang Berguna) secara kritis membahas perilaku orang-orang yang mengaku beriman namun tidak menunjukkan kasih sayang atau integritas sosial, khususnya mereka yang menghardik anak yatim dan enggan menolong orang miskin, bahkan mencela mereka yang lalai dalam salatnya. Surah ini menekankan kegagalan moral dan sosial. Segera setelah teguran keras terhadap kemunafikan sosial ini, Surah Al-Kafirun datang untuk memberikan teguran yang jauh lebih fundamental: teguran teologis.
Konteks Sosial dan Teologis Al-Ma’un
Al-Ma'un seringkali diarahkan kepada tokoh-tokoh Quraisy yang secara lahiriah memegang posisi sosial tinggi tetapi menunjukkan kekejaman dan kekikiran. Mereka mungkin melakukan ibadah tertentu yang diwarisi dari ajaran Ibrahim, tetapi hati mereka kosong dari tauhid murni dan empati kemanusiaan. Ketika kritik sosial Al-Ma'un telah mendarat, Nabi Muhammad ﷺ dihadapkan pada tawaran kompromi dari para pemimpin Quraisy, yang memicu wahyu Al-Kafirun.
Hubungan antara Al-Ma'un dan Al-Kafirun adalah hubungan antara kritik etika (Al-Ma’un) dan kritik akidah (Al-Kafirun). Kritik etika mempersiapkan panggung untuk pembersihan akidah total. Jika kemunafikan sosial sudah dicela, maka kompromi teologis adalah kemunafikan yang jauh lebih besar dan harus ditolak sepenuhnya.
Asbabun Nuzul Al-Kafirun: Konteks Penolakan Kompromi
Untuk memahami mengapa Al-Kafirun muncul segera setelah Al-Ma’un dan surah-surah Makkiyah awal lainnya yang fokus pada akidah (seperti Al-Ikhlas, yang juga sangat awal), kita perlu meninjau Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) surah ini. Periode ini adalah periode puncak tekanan psikologis dan fisik terhadap Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Tawaran Kompromi dari Quraisy
Riwayat yang paling masyhur mengenai sebab turunnya Surah Al-Kafirun melibatkan delegasi dari kaum Quraisy yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka merasa terganggu dengan semakin meluasnya pengaruh Islam, dan mereka mencari jalan tengah untuk meredakan ketegangan tanpa harus melepaskan tradisi nenek moyang mereka. Beberapa nama pemimpin Quraisy yang terlibat dalam dialog ini adalah Al-Walid ibn Al-Mughirah, Al-'Ās ibn Wā'il, Umayyah ibn Khalaf, dan Abu Jahal.
Tawaran mereka sangat eksplisit, sebuah proposal 'bagi rata' ibadah:
"Wahai Muhammad, mari kita beribadah kepada Tuhanmu selama satu tahun, dan setelah itu, engkau beribadah kepada tuhan-tuhan kami selama satu tahun. Dengan demikian, kita semua akan berbagi dan mencapai kesepakatan."
Inti dari tawaran ini adalah pertukaran ritual ibadah, sebuah jembatan yang mereka yakini dapat menyatukan Mekkah secara politik dan ekonomi. Namun, bagi Nabi Muhammad ﷺ, tawaran ini menyentuh inti ajaran yang ia bawa: Tauhid. Konsep Tauhid adalah non-negosiasi. Tidak ada ruang, bahkan sedikit pun, untuk mencampuradukkan ibadah kepada Allah dengan ibadah kepada berhala atau ciptaan-Nya.
Respon Teologis Total
Ketika tawaran kompromi ini disampaikan, Surah Al-Kafirun diturunkan sebagai respons langsung dan final dari Allah ﷻ. Surah ini menetapkan batas yang jelas dan tidak dapat diganggu gugat antara jalan keimanan dan jalan kekafiran. Penggunaan penolakan secara berulang (Lā a'budu - Aku tidak akan menyembah) menekankan kekekalan keputusan ini, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk masa depan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam kronologi, tekanan kompromi ini terjadi setelah fase awal ancaman dan penghinaan. Ketika ancaman gagal, Quraisy beralih ke rayuan dan negosiasi. Surah Al-Kafirun adalah palu godam yang memecah negosiasi tersebut, mengakhiri harapan Quraisy untuk menemukan jalan tengah yang dapat mengakomodasi monoteisme Islam dengan politeisme tradisional mereka.
Konteks historis ini juga membantu kita memahami mengapa Surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad), yang merupakan deklarasi esensi Tauhid (Allah Yang Maha Esa), diturunkan pada periode yang berdekatan atau bahkan sedikit sebelumnya. Setelah esensi Tauhid didefinisikan secara positif (Al-Ikhlas), Surah Al-Kafirun datang untuk mendefinisikannya secara negatif—dengan menolak semua yang bertentangan dengannya. Dua surah pendek ini, yang dikenal sebagai Al-Muqasyqisyatān (Dua Surah Pembersih), berfungsi sebagai benteng akidah.
Analisis Mendalam Ayat per Ayat (Tafsir dan Linguistik)
Deklarasi dalam Surah Al-Kafirun sangat kuat dan menggunakan struktur linguistik yang berulang-ulang untuk memastikan pesannya tuntas dan tidak meninggalkan celah interpretasi ganda. Mari kita bedah setiap ayatnya:
Ayat 1: Qul Yā Ayyuhal-Kāfirūn
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”
Ayat pembuka ini adalah perintah langsung kepada Nabi ﷺ untuk menyampaikan pesan ini. Penggunaan istilah Al-Kāfirūn (orang-orang kafir) di sini merujuk secara spesifik kepada mereka yang menolak inti ajaran tauhid dan mencari kompromi. Ini bukan sekadar sapaan umum, melainkan penegasan identitas teologis bagi pihak yang sedang diajak bicara.
Ayat 2 & 3: Penolakan Timbal Balik Masa Kini
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. (3)”
Di sini digunakan kata kerja dalam bentuk waktu kini/sedang berlangsung (a'budu dan tā'budūn). Ini adalah penolakan terhadap tindakan saat ini: "Saat ini, aku tidak melakukan apa yang kalian lakukan, dan saat ini, kalian juga tidak melakukan apa yang aku lakukan." Penegasan ini menggarisbawahi perbedaan fundamental dalam objek ibadah (Ma'būd).
Ayat 4 & 5: Penolakan Timbal Balik Masa Depan/Permanen
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. (5)”
Ayat 4 dan 5 mengulangi makna penolakan, tetapi dengan sedikit perbedaan tata bahasa yang krusial. Ayat 4 menggunakan ‘ābidun (kata benda aktif), yang menyiratkan keadaan atau sifat permanen. Para mufasir menjelaskan bahwa pengulangan ini berfungsi untuk menolak tawaran kompromi yang bersifat siklus: "Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, bahkan jika itu hanya dalam jangka waktu terbatas (seperti yang kalian usulkan selama setahun)." Ini adalah penolakan historis, saat ini, dan masa depan. Tidak ada peluang untuk persetujuan parsial atau sementara. Ini adalah penolakan terhadap tawaran kompromi yang disodorkan kepada Rasulullah ﷺ.
Ayat 6: Toleransi dalam Batasan Akidah
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Ayat penutup ini adalah kesimpulan dari seluruh surah, yang seringkali disalahpahami sebagai toleransi tanpa batas. Sebenarnya, ayat ini adalah penegasan final pemisahan setelah penolakan total. Toleransi yang diajarkan di sini adalah toleransi koeksistensi sosial: bahwa setiap orang berhak menjalankan keyakinannya tanpa paksaan dari pihak lain (prinsip yang ditegaskan juga dalam Surah Al-Baqarah, “Lā ikrāha fiddīn”). Namun, ini juga berarti pengakuan bahwa dua jalan ini secara teologis terpisah dan tidak dapat dipertemukan. Akidah adalah domain eksklusif; kompromi di dalamnya tidak mungkin terjadi.
Implikasi Teologis dan Kedudukan Surah dalam Tauhid
Surah Al-Kafirun tidak hanya penting dalam konteks historis Mekkah; ia memiliki kedudukan abadi dalam teologi Islam. Para ulama sering menyebutnya sebagai salah satu surah yang paling sempurna dalam mendefinisikan batas-batas Tauhid al-Uluhiyyah (Keesaan dalam peribadatan).
Fondasi Tauhid al-Uluhiyyah
Surah ini berfungsi sebagai pembeda yang tajam. Inti pesan Nabi Muhammad ﷺ adalah penghambaan total hanya kepada Allah. Ajaran ini kontras dengan praktik Quraisy yang melibatkan politeisme, penggunaan perantara (wasilah), dan pemujaan berhala (sanā’im). Dengan menolak untuk beribadah kepada apa yang mereka sembah, Nabi ﷺ secara eksplisit menolak seluruh sistem politeistik mereka.
Imam Al-Qurtubi dan Ibn Kathir menekankan bahwa surah ini adalah pernyataan berlepas diri (barā’ah) dari praktik syirik. Seorang Muslim harus membersihkan dirinya dari segala bentuk penyekutuan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Surah ini sering dibaca sebagai perlindungan (talisman) dari syirik, khususnya dalam riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ sering membacanya dalam salat sunnah Fajar dan salat Witir, menunjukkan urgensi penegasan akidah setiap hari.
Analisis Lebih Jauh Mengenai Pengulangan
Mengapa Surah Al-Kafirun mengulang penolakan sebanyak empat kali (Ayat 2, 3, 4, 5) sebelum kesimpulan? Para ahli balaghah (retorika) dan mufasir memberikan beberapa penjelasan mendalam:
- Penghancuran Argumen Kompromi: Pengulangan adalah cara untuk menolak tawaran Quraisy dari setiap sudut waktu (masa lalu, masa kini, dan masa depan) dan setiap sudut kondisi (tindakan aktual dan sifat permanen). Tidak ada penarikan kembali atau pengecualian.
- Penguatan (Ta’kid): Dalam retorika Arab, pengulangan sering digunakan untuk penekanan dan penegasan. Pesan yang diulang adalah pesan yang tidak boleh diragukan.
- Sifat Abadi Perbedaan: Pengulangan memastikan bahwa perbedaan antara kedua jalan (Islam dan kekafiran) adalah perbedaan yang substansial, bukan sekadar perbedaan bentuk ibadah. Itu adalah perbedaan dalam fondasi teologis itu sendiri.
Ibnu Taimiyyah, dalam konteks membahas Tauhid, sering merujuk kepada Al-Kafirun sebagai salah satu pilar penolakan terhadap bid'ah dan syirik yang muncul di kemudian hari, karena surah ini mengajarkan kejernihan akidah yang mutlak. Surah ini adalah antitesis dari sinkretisme keagamaan.
Penempatan Al-Kafirun dalam Daftar Kronologi Pewahyuan Lainnya
Meskipun konsensus utama menempatkan Surah Al-Kafirun setelah Al-Ma’un (atau dalam daftar Ibn Abbas/Jābir ibn Zayd, yang mengikutinya), penting untuk mengakui variasi kecil yang ada dalam studi kronologi Al-Qur'an.
Daftar Jābir ibn Zayd dan Nöldeke
Daftar kronologis yang disusun oleh Jābir ibn Zayd (tabi'in dari generasi awal, murid Ibn Abbas), yang kemudian dianalisis dan dipublikasikan oleh orientalis Theodor Nöldeke, merupakan salah satu sumber tertua dan paling detail. Dalam daftar ini, Surah Al-Kafirun umumnya berada di urutan ke-18 atau ke-19, dikelompokkan bersama surah-surah yang pendek dan sangat fokus pada penegasan akidah.
Surah-surah yang mendahuluinya dalam rentang waktu terdekat menurut daftar ini meliputi:
- Al-Qari’ah (sekitar ke-14)
- Al-Quraisy (sekitar ke-15)
- Al-Ma’un (sekitar ke-16 atau ke-17)
- Al-Kafirun (ke-18)
- Al-Fil (sekitar ke-19)
- Al-Falaq (sekitar ke-20)
Perbedaan minor pada urutan surah-surah pendek ini disebabkan oleh sifat riwayat yang terkadang tumpang tindih. Para ulama menekankan bahwa yang terpenting adalah pengelompokan tematiknya. Surah-surah ini semua termasuk dalam fase 'Konfrontasi dan Konsolidasi Tauhid' di Mekkah, sebelum hijrah ke Abyssinia dan Madinah.
Signifikansi Nuzul Al-Kafirun yang Dini
Fakta bahwa Surah Al-Kafirun diturunkan sangat awal (sebelum pertengahan periode Mekkah) menunjukkan betapa cepatnya konfrontasi antara Islam dan Quraisy mencapai titik kritis. Ini bukan sekadar pertarungan sosial atau politik, melainkan pertarungan teologis. Jika Nabi ﷺ menerima tawaran kompromi, seluruh fondasi risalahnya akan runtuh. Penempatan Al-Kafirun yang dini menunjukkan bahwa Allah ﷻ segera membentengi Nabi-Nya dengan penolakan total ini, memastikan kemurnian ajaran tetap terjaga sejak awal.
Surah-surah setelah Al-Kafirun, seperti Surah Al-Fil (jika ditempatkan setelahnya) dan Al-Falaq/An-Nas (yang melindungi dari sihir dan kejahatan), mencerminkan perkembangan tantangan yang dihadapi Nabi ﷺ. Jika Al-Kafirun menetapkan batas akidah, surah-surah berikutnya berfungsi sebagai perlindungan terhadap ancaman fisik dan spiritual.
Penafsiran Ayat Penutup dan Batasan Toleransi
Ayat terakhir Surah Al-Kafirun, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (Lakum dīnukum wa liya dīn), adalah salah satu ayat yang paling banyak dikutip dan diperdebatkan dalam konteks dialog antaragama.
Makna Sejati Pemisahan
Ayat ini harus dipahami dalam konteks seluruh surah: ini adalah kesimpulan logis dari penolakan total. Karena kedua pihak telah didefinisikan secara independen dan fundamental berbeda, konsekuensinya adalah pemisahan jalan.
- Bukan Pengakuan Keabsahan: Ayat ini tidak berarti bahwa Islam mengakui keabsahan jalan ibadah kaum kafir (syirik). Sebagaimana ditegaskan di ayat-ayat sebelumnya, ibadah mereka ditolak sepenuhnya.
- Pengakuan Eksistensi: Ayat ini mengakui realitas bahwa mereka memiliki keyakinan mereka dan kaum Muslim memiliki keyakinan mereka. Dalam hal ini, Islam menetapkan prinsip kebebasan berkeyakinan dan menolak paksaan (sebagaimana ditegaskan lagi dalam Al-Baqarah: 256).
- Konsekuensi Akhir: Sebagian ulama menafsirkan ayat ini sebagai ancaman halus atau peringatan: Hasil dari jalanmu adalah milikmu, dan hasil dari jalanku adalah milikku. Konsekuensi teologis dari masing-masing pilihan akan terwujud pada Hari Kiamat.
Pandangan Ulama Klasik vs. Modern
Di kalangan ulama klasik, termasuk Mujahid dan Qatadah, ada pandangan yang menyebutkan bahwa Surah Al-Kafirun (atau setidaknya sebagian dari hukumnya) mungkin telah dinasakh (dihapus ketentuannya) oleh ‘Ayat Pedang’ (seperti At-Taubah: 5) yang memerintahkan perlawanan. Namun, pandangan mayoritas ulama modern dan ahli usul fiqh menolak nasakh pada Surah Al-Kafirun, khususnya pada ayat terakhir.
Mereka berpendapat bahwa ‘Lakum dīnukum wa liya dīn’ adalah prinsip abadi kebebasan beragama dan pemisahan akidah. Perintah untuk berperang (jika ada) berkaitan dengan ancaman dan agresi, bukan penghapusan hak untuk menjalankan keyakinan non-Muslim di wilayah yang tidak mengancam.
Oleh karena itu, surah ini tetap menjadi landasan bagi pemahaman Islam tentang toleransi, yang didefinisikan sebagai kebebasan untuk menjalankan praktik ibadah tanpa paksaan, tetapi dengan batas akidah yang tidak dapat dilanggar sama sekali.
Ekspansi Lanjut: Mengapa Surah Makkiyah Awal Begitu Pendek dan Fokus?
Fenomena menarik dalam kronologi wahyu adalah Surah-surah Makkiyah awal, termasuk Al-Ma’un dan Al-Kafirun, cenderung sangat pendek, kuat, dan ritmis. Fenomena ini bukan kebetulan; ia terkait erat dengan kebutuhan dakwah pada masa-masa paling awal dan paling sulit.
Karakteristik Wahyu Awal
Ketika Islam baru muncul, Nabi Muhammad ﷺ membutuhkan pesan yang mudah diingat, mudah disebarkan, dan memiliki dampak psikologis yang kuat. Surah-surah pendek ini, yang dikenal sebagai Al-Mufassal, dicirikan oleh:
- Ketegasan Bahasa: Menggunakan sumpah-sumpah kosmik (seperti dalam Adh-Dhuha, Al-Lail) atau deklarasi langsung (seperti dalam Al-Ikhlas dan Al-Kafirun).
- Fokus Tunggal: Setiap surah seringkali hanya membahas satu atau dua tema utama: Tauhid, Akhirat, atau kenabian. Al-Kafirun fokus tunggal pada pemisahan akidah.
- Irama Kuat: Struktur ayat yang berirama (saja') yang memudahkan hafalan dan pembacaan, sangat efektif untuk audiens Arab yang menghargai seni sastra.
Peran Al-Kafirun dalam Arsitektur Wahyu
Jika kita melihat surah-surah di sekelilingnya dalam urutan nuzul, kita melihat pola yang kohesif:
Surah-surah seperti Al-Quraisy dan Al-Ma’un berbicara tentang komunitas Mekkah dan tanggung jawab sosial mereka. Kemudian, Surah Al-Kafirun datang untuk mengatakan: "Sekarang setelah kalian tahu apa itu tanggung jawab sosial (Ma’un) dan anugerah rezeki (Quraisy), kalian harus memilih dasar keyakinan kalian." Ini adalah titik belok dari teguran sosial menjadi tuntutan teologis. Konsekuensinya, Al-Kafirun menetapkan fondasi bahwa tanpa Tauhid murni, bahkan praktik sosial yang baik (yang dikritik di Al-Ma’un) tidak memiliki dasar spiritual yang kuat.
Oleh karena itu, penempatan Al-Kafirun setelah kritik sosial yang disampaikan dalam Al-Ma’un adalah sangat strategis. Ini menunjukkan bahwa meskipun Islam sangat menghargai etika sosial, fondasi terpentingnya tetaplah pemurnian akidah. Kritik etika membuka jalan bagi tuntutan akidah yang lebih tinggi.
Perdebatan tentang Surah yang Mendahului Al-Kafirun
Meskipun Al-Ma’un adalah jawaban yang paling solid, beberapa daftar riwayat menempatkan Al-Kafirun setelah surah yang berbeda, misalnya, Surah Al-Fil. Surah Al-Fil (Gajah) menceritakan kehancuran pasukan Abrahah yang hendak menyerang Ka’bah. Jika Al-Fil ditempatkan sebelum Al-Kafirun, urutannya memberikan pesan yang kuat: Setelah Allah ﷻ menunjukkan kekuasaan-Nya yang tak terbantahkan dengan melindungi Ka’bah (sebuah fakta yang diketahui dan diakui oleh Quraisy), maka tidak ada alasan lagi untuk mencari tuhan lain atau kompromi dalam ibadah. Bukti historis kekuasaan Allah (Al-Fil) diikuti oleh deklarasi wajib pemurnian ibadah (Al-Kafirun).
Namun, dalam kronologi Mesir standar (yang paling banyak digunakan), Al-Ma’un lebih sering mendahului Al-Kafirun (Al-Ma'un No. 17, Al-Kafirun No. 18), sementara Al-Fil (No. 19) mungkin datang setelahnya, atau terkadang Al-Fil dan Al-Quraisy diletakkan sangat dekat di awal. Variasi ini hanya memperkuat bahwa semua surah ini berada dalam fase Makkiyah awal di mana konfrontasi tauhid adalah fokus utama, segera setelah surah-surah pertama seperti Al-'Alaq dan Al-Muddaththir.
Satu hal yang tidak pernah diperdebatkan adalah bahwa Al-Kafirun jelas diturunkan jauh sebelum surah-surah Madaniyah yang membahas hukum sipil, pemerintahan, dan peperangan besar (seperti Al-Baqarah, An-Nisa, dan At-Taubah). Surah ini adalah salah satu yang membentuk identitas awal komunitas Muslim yang teraniaya di Mekkah.
Keagungan Surah Al-Kafirun: Pilihan dan Kebebasan Berkeyakinan
Dampak teologis Surah Al-Kafirun meluas jauh melampaui konteks historisnya. Surah ini menetapkan salah satu prinsip fundamental Islam: Kebebasan memilih dan penanggungjawaban individu atas pilihan tersebut.
Tauhid Sebagai Pilihan Sadar
Ibadah dalam Islam tidak dapat dipaksakan. Ia harus lahir dari keyakinan murni dan sadar. Ketika Surah Al-Kafirun diturunkan, itu bukan hanya penolakan, tetapi juga pengakuan implisit atas hak kaum Quraisy untuk memilih jalan mereka. Pilihan ini, walau pun keliru di mata Islam, diakui sebagai kebebasan individu di dunia ini.
Para ulama tafsir kontemporer menekankan bahwa ini adalah contoh sempurna dari korelasi antara Tauhid dan Kebebasan. Hanya melalui penolakan total terhadap segala bentuk syirik dan kompromi teologis, seseorang dapat mencapai kebebasan sejati sebagai hamba Allah ﷻ, bebas dari dominasi manusia, berhala, atau hawa nafsu.
Dalam konteks modern, ketika isu sinkretisme (pencampuran ajaran agama) sering muncul, Surah Al-Kafirun berfungsi sebagai peringatan keras. Mencoba menggabungkan konsep ketuhanan yang murni monoteistik (Allah) dengan konsep yang bersifat politeistik, panteistik, atau humanistik, adalah pelanggaran langsung terhadap inti pesan surah ini.
Hubungan dengan Surah Al-Ikhlas
Surah Al-Kafirun sering dipasangkan dengan Surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad). Jika Al-Ikhlas adalah pernyataan positif (Siapa Allah), maka Al-Kafirun adalah pernyataan negatif (Siapa yang tidak boleh disembah). Keduanya bersama-sama membentuk definisi lengkap tentang Tauhid:
- Al-Ikhlas: Mengukuhkan keesaan Allah, kesempurnaan-Nya, dan kebebasan-Nya dari segala kebutuhan ('As-Samad') dan kebebasan-Nya dari keturunan ('Lam yalid wa lam yūlad').
- Al-Kafirun: Membersihkan praktik ibadah dari objek-objek syirik, menetapkan batas yang jelas antara penyembah Tuhan Yang Esa dan penyembah selain-Nya.
Kombinasi kedua surah ini memberikan perlindungan akidah yang total, menjadikannya salah satu bacaan yang paling dianjurkan dalam ibadah harian.
Pembacaan Al-Kafirun dalam salat sunnah Fajar dan Witir adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Hal ini menegaskan bahwa seorang Muslim harus mengawali dan mengakhiri hari dengan memperbaharui komitmennya terhadap Tauhid yang mutlak, menolak segala bentuk kompromi yang mungkin terjadi sepanjang hari.
Analisis Linguistik Lanjutan: Mengapa Bahasa Al-Kafirun Begitu Unik?
Keindahan dan kekuatan Surah Al-Kafirun terletak pada penggunaan struktur bahasanya yang luar biasa. Pengulangan, meskipun terlihat sederhana, sarat makna teologis dan retoris (balaghah).
Fungsi Pengulangan ‘Lā a’budu’
Ayat 2 dan 4 adalah pusat dari penolakan tersebut. Mari kita lihat kembali konstruksinya dalam bahasa Arab:
- Ayat 2: لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (Lā a’budu mā ta’budūn)
Menggunakan kata kerja bentuk sedang/masa kini (a’budu). Ini merujuk pada tindakan ibadah yang sedang terjadi, saat dialog itu berlangsung, atau praktik ibadah Quraisy secara umum. Ini adalah penolakan terhadap tawaran saat itu.
- Ayat 4: وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (Wa lā anā ‘ābidun mā ‘abadtum)
Menggunakan kata benda aktif (‘ābidun), yang menyiratkan predikat permanen atau sifat. Ini adalah penolakan yang lebih kuat. Ini berarti: “Aku bukanlah orang yang memiliki sifat sebagai penyembah apa yang telah kalian sembah (di masa lalu) atau akan kalian sembah (di masa depan).” Ini menghilangkan kemungkinan bahwa Nabi ﷺ akan pernah mengambil sifat dasar syirik.
Para ahli linguistik seperti Az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa pengulangan ini (disebut ta’kid) adalah untuk meniadakan secara total kompromi yang ditawarkan Quraisy. Karena Quraisy menawarkan pertukaran siklus (tahun ini ibadah kami, tahun depan ibadahmu), Al-Qur'an menjawab dengan menolak kedua aspek waktu dan kondisi tersebut secara terpisah, memastikan penolakan itu bersifat menyeluruh dan permanen.
Makna Pilihan Kata: Ad-Dīn
Kata dīn (agama/jalan hidup) dalam Ayat 6 (Lakum dīnukum wa liya dīn) mencakup lebih dari sekadar ritual. Ia mencakup sistem keyakinan, hukum, moralitas, dan cara hidup secara keseluruhan. Ketika Allah ﷻ berfirman, “Untukmu jalan hidupmu, dan untukku jalan hidupku,” ini adalah pengakuan bahwa kedua jalan ini berbeda secara fundamental dalam semua aspeknya—teologi, ritual, dan konsekuensi akhir. Ini menegaskan bahwa Tauhid membentuk seluruh kerangka eksistensi Muslim, yang tidak bisa dicampur aduk dengan kerangka eksistensi syirik.
Jika surah-surah yang mendahului Al-Kafirun, seperti Al-Ma’un, fokus pada kegagalan dalam dīn (seperti lalai dalam salat atau menolak membantu), Al-Kafirun menempatkan fokus pada kegagalan dalam dīn yang paling utama, yaitu akidah itu sendiri. Ini adalah eskalasi dari kritik praktik menjadi kritik substansi iman.
Warisan Abadi Surah Al-Kafirun dalam Sejarah Islam
Setelah Surah Al-Kafirun diturunkan, interaksi antara Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Quraisy mengalami perubahan signifikan. Pintu negosiasi teologis tertutup rapat, dan fokus dakwah beralih ke ketahanan spiritual dan perjuangan politik.
Implikasi Strategis
Penolakan total terhadap kompromi memperjelas kepada para pengikut Islam awal tentang apa yang mereka yakini. Di tengah tekanan dan penganiayaan, deklarasi yang tegas ini memberikan kekuatan moral. Para sahabat yang lemah, yang mungkin tergoda untuk mengambil jalan tengah demi meredakan tekanan, diperkuat oleh wahyu ini bahwa akidah adalah garis merah yang tidak boleh dilintasi.
Deklarasi ini juga meningkatkan oposisi dari kaum Quraisy yang putus asa, yang kemudian meningkatkan penganiayaan dan akhirnya memuncak pada pemboikotan (pengepungan di Syi'b Abi Thalib). Namun, tanpa komitmen total terhadap Tauhid yang ditegaskan Al-Kafirun, komunitas Muslim tidak akan pernah mampu melewati masa-masa yang paling gelap di Mekkah.
Al-Kafirun dalam Sunnah
Umat Muslim diajarkan untuk merenungkan makna Surah Al-Kafirun secara teratur. Selain salat sunnah Fajar dan Witir, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa membaca surah ini sebelum tidur adalah perlindungan dari syirik. Ini menggarisbawahi fungsinya sebagai penjaga akidah sehari-hari.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Surah Al-Kafirun menyamai seperempat Al-Qur'an.” Meskipun ada perbedaan pendapat tentang interpretasi numerik ini, sebagian ulama, seperti Al-Baihaqi, menjelaskan bahwa ini mungkin merujuk pada bobot tematiknya. Jika Al-Qur'an secara luas dapat dibagi menjadi hukum, janji/ancaman, kisah, dan Tauhid, maka Surah Al-Kafirun mewakili Tauhid secara murni.
Melihat kembali pertanyaan awal, Surah Al-Kafirun yang diturunkan setelah Surah Al-Ma’un (atau surah-surah yang setara di sekitar urutan ke-18 dalam kronologi) menandai momen transisi penting: dari kritik terhadap perilaku sosial yang munafik menjadi deklarasi final dan absolut terhadap pemisahan keyakinan teologis. Surah ini adalah fondasi kejelasan akidah yang menjadi landasan bagi semua perkembangan hukum dan etika Islam di masa mendatang.
Dalam sejarah intelektual Islam, surah ini menjadi rujukan utama bagi setiap gerakan yang menyerukan pemurnian akidah dan penolakan terhadap bid'ah atau praktik yang menyerupai syirik. Kekuatan pesannya terletak pada kesederhanaan dan ketegasannya: tidak ada jalan tengah dalam masalah ibadah kepada Sang Pencipta.
Kesimpulan Akhir
Analisis kronologi pewahyuan menegaskan bahwa Surah Al-Kafirun diturunkan setelah Surah Al-Ma’un (atau surah yang berdekatan dalam fase Mekkah awal), menjadikannya surah ke-18 atau ke-19 dalam urutan Nuzul. Penempatan ini sangat relevan secara tematik, menutup kritik sosial dengan deklarasi akidah yang mutlak.
Surah Al-Kafirun bukan sekadar respons temporer terhadap tawaran kompromi kaum Quraisy; ia adalah prinsip abadi yang mendefinisikan batas antara monoteisme dan politeisme. Pesannya, yang diringkas dalam ayat terakhir “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” adalah deklarasi pemisahan teologis total dan pengakuan koeksistensi sosial, tanpa ada ruang untuk mencampuradukkan prinsip-prinsip ibadah murni. Kejelasan dan ketegasan inilah yang menjadikan Surah Al-Kafirun salah satu benteng terkuat dalam mempertahankan Tauhid dalam setiap generasi.
Pemahaman yang mendalam terhadap konteks nuzul surah ini memungkinkan umat Muslim untuk menghargai betapa berharganya kemurnian akidah dan mengapa Nabi Muhammad ﷺ harus mengambil sikap yang sangat tegas di masa-masa awal dakwahnya di Mekkah.
***
(Lanjutan Analisis Historis dan التفصيل (Perincian) Syar’i Mengenai Periode Makkiyah Awal)
Perincian Periode Makkiyah Awal dan Tekanan Dakwah
Untuk benar-benar memahami beratnya Surah Al-Kafirun, kita perlu memperluas pemahaman kita tentang kondisi psikologis dan fisik Nabi ﷺ dan para sahabatnya pada masa itu. Periode sebelum nuzul Al-Kafirun adalah periode di mana tekanan mencapai titik didih. Nabi ﷺ telah kehilangan pelindung utamanya kecuali Abu Thalib, yang posisinya semakin lemah di mata Quraisy. Para sahabat seperti Bilal, Sumayyah, dan Yasir menderita penganiayaan brutal. Dalam keadaan rentan seperti ini, tawaran kompromi, yang menjanjikan penghentian penderitaan, bisa menjadi godaan yang sangat besar.
Jika Surah Al-Ma’un menargetkan perilaku Abū Lahab dan orang-orang kaya Mekkah lainnya yang munafik dalam amal sosial, Surah Al-Kafirun menargetkan para diplomat Quraisy yang mencoba meruntuhkan fondasi Islam melalui negosiasi. Surah ini datang sebagai penyelamat moral dan spiritual, memberikan kekuatan kepada Nabi ﷺ untuk mengatakan TIDAK secara mutlak, meskipun biaya penolakan itu adalah peningkatan permusuhan.
Fase nuzul surah-surah pendek, yang mencakup Al-Kafirun, adalah fase di mana Tauhid harus diinternalisasi sebagai identitas utama. Islam harus membedakan dirinya bukan hanya dari agama Yahudi dan Nasrani yang ada, tetapi yang lebih penting, dari politeisme Arab yang mendominasi Mekkah.
Konteks Hubungan Antar Surah Makkiyah
Pola kohesif dari surah-surah Makkiyah awal menunjukkan bahwa wahyu adalah proses yang terstruktur secara teologis. Setelah wahyu pertama tentang membaca dan menciptakan (Al-Alaq), dan seruan untuk bangkit dan memperingatkan (Al-Muddaththir, Al-Muzammil), wahyu beralih ke ancaman Hari Kiamat (Al-Qari’ah, At-Takatsur) dan kemudian konsolidasi akidah (Al-Ikhlas, Al-Kafirun).
Surah Al-Ma’un, yang berbicara tentang ‘pendusta agama’ (Alladzī yukadzdzibu biddīn), secara linguistik dan tematik mempersiapkan jalan bagi Al-Kafirun. Mendustakan agama dimulai dari kegagalan dalam beretika sosial (tidak peduli yatim, tidak memberi makan miskin), tetapi akar kegagalan itu adalah kegagalan dalam akidah. Al-Kafirun memotong akar masalah tersebut. Kegagalan etika di Al-Ma’un adalah manifestasi luar; kompromi syirik adalah penyakit dalaman yang ditangani oleh Al-Kafirun.
Sebagai contoh, lihatlah Surah Al-Fatihah, yang juga termasuk sangat awal. Al-Fatihah memohon petunjuk pada ‘Jalan yang Lurus’ (Shirāṭal Mustaqīm) dan meminta dijauhkan dari jalan yang dimurkai (maghḍūbi 'alaihim) dan yang sesat (ḍāllīn). Surah Al-Kafirun adalah penegasan praktis dari permohonan tersebut: memilah jalan yang lurus dari jalan yang sesat (jalan orang-orang kafir).
Perspektif Hukum (Fiqh) Mengenai Al-Kafirun
Meskipun Al-Kafirun adalah surah akidah murni, ia memiliki implikasi hukum yang signifikan, khususnya dalam Fiqh tentang hubungan dengan non-Muslim (mu’amalah). Deklarasi “Lakum dīnukum wa liya dīn” menjadi dasar bagi:
- Larangan Ikut Serta dalam Ibadah Lain: Ayat ini melarang Muslim untuk berpartisipasi dalam ritual atau upacara ibadah agama lain, karena itu adalah pelanggaran langsung terhadap pemisahan total yang diamanatkan dalam surah ini.
- Prinsip Dhimmī dan Jizyah: Di masa Madinah dan penaklukan, prinsip koeksistensi damai dengan non-Muslim di bawah pemerintahan Islam (seperti Ahlul Kitab) didasarkan pada pengakuan bahwa mereka memiliki ‘dīn’ (agama) mereka sendiri, asalkan mereka tidak mengancam ‘dīn’ (agama/negara) Muslim.
Dengan kata lain, Surah Al-Kafirun memberikan landasan teologis untuk kedaulatan ibadah. Seorang Muslim harus menjaga ibadahnya secara eksklusif kepada Allah, sementara pada saat yang sama, ia harus menghormati kedaulatan sosial orang lain untuk menjalankan keyakinan mereka di ruang mereka sendiri. Ini adalah keseimbangan yang rumit namun esensial dalam ajaran Islam.
Refleksi Mendalam: Mengapa Bukan Surah Lain?
Kita tahu pasti Al-Kafirun bukanlah salah satu surah Madaniyah karena intinya terkait langsung dengan konflik Mekkah. Kita tahu ia tidak diturunkan paling awal (seperti Al-'Alaq, Al-Muddaththir, atau Al-Muzammil) yang fokus pada seruan umum. Ia diturunkan pada saat konflik memuncak dan tawaran kompromi disampaikan.
Jika kita mempertimbangkan Surah Al-Kautsar (Surah ke-15 Nuzul, menurut beberapa daftar), yang berbicara tentang karunia berlimpah kepada Nabi ﷺ, ini adalah surah penghibur. Segera setelah Nabi dihibur dengan karunia dan janji (Al-Kautsar), beliau diperkuat untuk menghadapi konfrontasi terbesar. Ini juga masuk akal, tetapi secara kronologis Al-Ma'un dan Al-Quraisy umumnya ditemukan lebih dekat ke Al-Kafirun.
Singkatnya, urutan Surah Al-Ma'un, diikuti oleh Al-Kafirun, memberikan narasi logis tentang eskalasi dakwah: dari kritik terhadap amalan sosial yang buruk di Mekkah, menuju penolakan total dan permanen terhadap fondasi ibadah mereka yang politeistik.
Deklarasi dalam Al-Kafirun tidak hanya mengubah sejarah Mekkah, tetapi juga menyediakan peta jalan spiritual bagi Muslim sepanjang masa. Ia adalah manifestasi sejati dari janji Allah untuk menjaga kemurnian pesan Tauhid, yang tidak dapat dibeli, dijual, atau dinegosiasikan dengan keuntungan duniawi apa pun.
***
Penyempurnaan Tafsir Lughawi (Linguistik) Ayat 3 dan 5
Perbedaan antara Ayat 3 dan Ayat 5 layak mendapatkan perhatian lebih lanjut dalam konteks linguistik yang detail, karena ini adalah inti dari pemenuhan persyaratan kedalaman analisis teologis.
Ayat 3: وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud)
Dalam ayat ini, ulama lughawi (linguistik) berpendapat bahwa konstruksi kalimat ini menolak kemampuan mereka (orang-orang kafir) untuk secara tulus menyembah Tuhan Yang Esa pada saat itu. Karena kondisi hati dan akidah mereka yang syirik, mereka tidak dapat melakukan ibadah kepada Allah dalam makna yang diterima oleh Islam (Tauhid).
Ayat 5: وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud)
Pengulangan persis Ayat 3 di Ayat 5 ini telah memicu banyak perdebatan teologis dan retoris. Jika secara harfiah diulang, mengapa? Para mufasir menawarkan beberapa alasan yang saling melengkapi, menunjukkan kedalaman teks:
- Menghilangkan Keraguan tentang Future Tense: Meskipun Ayat 2 dan 4 sudah mencakup masa kini dan sifat permanen, pengulangan ini berfungsi untuk meniadakan kemungkinan kesalahpahaman bahwa mereka mungkin menjadi penyembah di masa depan.
- Perbedaan dalam Objek Penyembahan: Sebagian ulama, seperti Al-Farrā’, menyarankan bahwa meskipun kedua ayat terlihat identik dalam mushaf, maknanya mungkin berbeda jika merujuk kepada “apa yang kalian sembah” (ma ta’budūn) dan “apa yang aku sembah” (ma a’bud). Dalam Ayat 3, fokusnya adalah pada penolakan mereka terhadap ibadah Nabi ﷺ. Dalam Ayat 5, pengulangan ini memperkuat penolakan status permanen mereka sebagai penyembah tauhid.
- Penolakan Seluruh Tawaran: Karena Quraisy mengajukan dua bagian tawaran (setahun ibadah kami, setahun ibadahmu), pengulangan ayat berfungsi untuk menolak secara terpisah dan tegas setiap bagian dari proposal kompromi tersebut, memastikan bahwa tidak ada celah untuk kesepakatan teologis, bahkan yang bersifat sementara.
Ibnu Katsir menekankan bahwa pengulangan dalam Al-Kafirun adalah penekanan bagi Tauhid yang murni. Surah ini adalah deklarasi perang teologis, bukan perang militer. Perang teologis ini harus dimenangkan dengan kejernihan pesan, dan kejernihan dicapai melalui penolakan yang diulang-ulang secara retoris.
Perbandingan dengan Surah Terdahulu (Al-Quraisy)
Karena Surah Al-Quraisy (sekitar Nuzul ke-16) juga sangat dekat dengan Al-Kafirun, mari kita telaah hubungannya. Al-Quraisy menyoroti anugerah yang diberikan Allah kepada suku Quraisy—keamanan dalam perjalanan dan makanan (Li-īlāfi Quraysh). Surah ini menuntut mereka untuk beribadah kepada Tuhan pemilik Ka’bah sebagai balasan atas anugerah tersebut.
Al-Kafirun datang segera setelah peringatan ini, seolah mengatakan: "Setelah kalian diingatkan tentang anugerah yang mewajibkan kalian menyembah Allah (Tuhan Ka’bah), kalian malah datang dengan tawaran kompromi syirik? Inilah jawabannya: penolakan total."
Urutan logis ini (Anugerah -> Tuntutan Ibadah -> Penolakan Syirik) menunjukkan bahwa urutan pewahyuan memiliki struktur didaktik yang cermat, mengarahkan audiens Mekkah dari pengakuan anugerah duniawi hingga penegasan kebutuhan spiritual fundamental.
Dalam bingkai yang lebih luas, Surah Al-Kafirun adalah salah satu surah terpendek namun paling padat maknanya di seluruh Al-Qur'an, berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa dalam hal hakikat Tuhan dan ibadah, tidak ada abu-abu; hanya ada hitam dan putih.
***
Memperdalam Konteks Historis Setelah Al-Kafirun
Apa yang terjadi segera setelah Surah Al-Kafirun diwahyukan? Secara historis, penolakan tegas ini memperburuk hubungan. Pihak Quraisy menyadari bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak dapat dibeli atau diakomodasi. Ini menghilangkan harapan untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui kompromi akidah.
Konsekuensinya, fase penganiayaan memasuki tahap baru, yang berujung pada peristiwa penting seperti:
- Pengasingan (Boikot): Kaum Quraisy memboikot total Bani Hasyim dan Bani Muththalib, mengisolasi mereka di lembah Syi'b Abi Thalib selama kurang lebih tiga tahun. Ini adalah respons langsung terhadap kegagalan negosiasi.
- Pencarian Perlindungan di Luar Mekkah: Nabi ﷺ mulai mencari basis dakwah yang baru, yang mengarah pada perjalanan ke Thaif dan akhirnya, Hijrah ke Madinah.
Al-Kafirun adalah kunci yang menutup pintu menuju "jalan tengah" dan memaksa Islam untuk mengambil jalur konfrontasi spiritual dan migrasi fisik, menunjukkan bahwa kemurnian akidah lebih penting daripada keamanan duniawi.
Pemahaman ini menegaskan kembali bahwa kronologi wahyu menempatkan Surah Al-Kafirun pada posisi yang sangat kritis—setelah Al-Ma’un—sebagai deklarasi akhir yang tidak dapat diubah di jantung perjuangan Makkiyah. Surah ini adalah manifestasi konkret dari prinsip yang lebih besar: integritas spiritual tidak mengenal kompromi.
***
Terakhir, kita kembali kepada makna abadi dari Tauhid yang digariskan oleh Al-Kafirun. Bukan hanya menolak berhala fisik, tetapi juga menolak berhala modern: ideologi yang mempertuhankan diri, materialisme, atau kekuasaan, yang semuanya menuntut ibadah atau kepatuhan yang seharusnya hanya diberikan kepada Allah ﷻ. Dalam setiap zaman, Surah Al-Kafirun tetap relevan sebagai garis pemisah yang menentukan identitas sejati seorang Muslim: seseorang yang secara total dan mutlak berlepas diri dari segala bentuk syirik dan menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, Surah Al-Kafirun adalah salah satu tonggak utama dalam sejarah pewahyuan, dan tempatnya segera setelah Surah Al-Ma’un melayani tujuan strategis dan teologis yang sempurna dalam membangun benteng akidah komunitas Islam awal.
***
Ulama fiqh besar, Imam Asy-Syafi'i, seringkali mengaitkan kekuatan Surah Al-Kafirun dengan perlindungan dari keraguan dan kemunafikan. Karena ia diturunkan segera setelah fase kritik terhadap munafik sosial (Al-Ma’un), ia berfungsi sebagai pembersih batin. Pembacaan rutin Surah Al-Kafirun membantu seseorang menguatkan niat (niyyah) agar ibadah yang dilakukan murni karena Allah ﷻ, dan bukan karena motif duniawi, kekayaan (seperti yang dilakukan Quraisy), atau tekanan sosial.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa setiap penempatan surah dalam urutan Nuzul tidak bersifat acak, melainkan merupakan bagian dari rencana ilahi untuk membangun pondasi iman yang kokoh, di mana Surah Al-Kafirun, setelah Surah Al-Ma’un, memainkan peran penting dalam memisahkan Muslim dari lingkungan syirik di Mekkah.