Surah Al-Lail (Malam): Ayat 1 Sampai 21

Kajian Mendalam Tentang Dualitas Usaha Manusia dalam Islam

Simbolisasi Dualitas Malam dan Siang (Al-Lail dan An-Nahar) Ilustrasi yang membagi bidang menjadi dua sisi kontras: gelap (Malam) dan terang (Siang), melambangkan dualitas usaha yang dibahas dalam Surah Al-Lail. TAQWA KIKIR

Pendahuluan: Identitas dan Tema Sentral Surah

Surah Al-Lail, yang berarti “Malam”, adalah surah Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Surah ini menempati urutan ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an dan terdiri dari 21 ayat. Meskipun pendek, Surah Al-Lail memuat inti ajaran Islam yang sangat fundamental: konsep dualitas dalam hidup dan konsekuensi abadi dari pilihan yang diambil oleh setiap individu.

Tema sentral surah ini berpusat pada perbandingan yang tajam antara dua jenis usaha (sa'y) manusia. Allah SWT menggunakan sumpah demi ciptaan-Nya yang penuh kontras—malam dan siang—untuk menegaskan bahwa walaupun alam semesta berjalan dalam dualitas yang seimbang, usaha manusia terbagi menjadi dua jalan yang sangat berbeda: jalan ketaqwaan (memberi) yang mengarah kepada kemudahan, dan jalan kekikiran (menahan) yang mengarah kepada kesulitan.

Al-Lail merupakan surah yang bersifat motivasional sekaligus peringatan keras. Ia mendorong umat manusia untuk menginvestasikan hidup mereka pada kebajikan dan kedermawanan spiritual maupun material, sekaligus memperingatkan terhadap bahaya sifat bakhil dan keangkuhan dalam menjalankan kewajiban agama.

I. Sumpah Kosmis dan Hakikat Usaha Manusia (Ayat 1-4)

وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Wal-laili izā yaghshā.

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).

Tafsir Ayat 1: Sumpah Demi Kegelapan yang Menyelimuti. Allah memulai surah ini dengan sumpah (qasam) yang kuat. Malam (Al-Lail) disebutkan karena ia adalah momen istirahat, ketenangan, dan misteri. Ketika malam datang, ia menutupi atau menyelubuti (yaghshā) bumi, menghilangkan cahaya siang. Dalam konteks spiritual, malam sering dikaitkan dengan rahasia, upaya yang tersembunyi, atau kondisi jiwa yang belum terungkap. Sumpah ini menarik perhatian kita pada kekuatan dan keagungan penciptaan Allah yang mampu menukar terang menjadi gelap, sebuah metafora yang menunjukkan kuasa-Nya untuk menukar nasib manusia.

وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Wan-nahāri iżā tajallā.

2. Demi siang apabila menampakkan diri.

Tafsir Ayat 2: Kontras dengan Keterangan Siang. Sumpah kedua adalah demi siang (An-Nahār) ketika ia menampakkan diri (tajallā). Siang membawa kejelasan, aktivitas, dan keterbukaan. Jika malam adalah waktu untuk refleksi dan ibadah tersembunyi, siang adalah waktu untuk berjuang mencari rezeki dan menampakkan kebaikan melalui amal perbuatan. Penggunaan dualitas (malam dan siang) secara retoris menunjukkan bahwa apa yang akan diungkapkan adalah sebuah kebenaran universal dan mendasar, yang berlaku bagi semua manusia, dalam setiap keadaan terang maupun gelap.

وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ

Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā.

3. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.

Tafsir Ayat 3: Dualitas dalam Ciptaan Manusia. Setelah bersumpah demi dualitas kosmis (malam dan siang), Allah bersumpah demi dualitas biologis dan sosial (laki-laki dan perempuan). Ini menekankan bahwa dualitas dan pasangan adalah prinsip dasar penciptaan, mulai dari alam semesta hingga makhluk hidup. Keseimbangan antara laki-laki dan perempuan adalah inti dari reproduksi, kehidupan sosial, dan keberlanjutan umat manusia. Sumpah ini berfungsi sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan inti ayat berikutnya, yaitu bahwa sebagaimana segala sesuatu diciptakan berpasangan, begitu pula usaha manusia terbagi menjadi dua kategori yang kontras.

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Inna sa’yakum lashattā.

4. Sungguh, usaha kamu memang beraneka macam.

Tafsir Ayat 4: Keberagaman Tujuan dan Upaya. Ini adalah pernyataan utama yang ingin disampaikan oleh rangkaian sumpah sebelumnya. Kata سَعْيَكُمْ (sa'yakum) berarti usaha, kerja keras, atau perjalanan hidup. Kata لَشَتَّىٰ (lashattā) berarti benar-benar beraneka ragam atau terbagi-bagi. Ayat ini menggarisbawahi realitas bahwa meskipun semua manusia bekerja dan berusaha, tujuan, motivasi, dan hasil akhir dari upaya tersebut sangatlah berbeda. Secara substansial, semua usaha itu dikelompokkan menjadi dua jalur: satu menuju Surga, dan satu menuju Neraka. Ini adalah poros utama Surah Al-Lail.

II. Dua Jalan Hidup: Ketaqwaan Menuju Kemudahan (Ayat 5-10)

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ

Fa ammaa man a’taa wattaqā.

5. Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

Tafsir Ayat 5: Pilar Ketaqwaan: Memberi dan Takut kepada Allah. Ayat ini memperkenalkan golongan pertama, manusia yang memilih jalan yang benar. Kriteria utamanya ada dua: أَعۡطَىٰ (a’tā - memberi) dan ٱتَّقَىٰ (ittaqā - bertakwa). 'Memberi' di sini tidak hanya merujuk pada sedekah harta, tetapi juga memberi dari diri sendiri: waktu, tenaga, ilmu, dan kebaikan. Ini adalah manifestasi nyata dari keimanan. Sementara itu, 'bertakwa' adalah fondasi batin, yaitu kesadaran dan rasa takut kepada Allah yang mendorong segala tindakan baik.

Sikap memberi dan bertakwa menunjukkan keselarasan antara amal fisik (memberi) dan kondisi spiritual (takwa). Ini menegaskan bahwa amal kebajikan harus didasari oleh niat dan kesadaran Ilahi, bukan sekadar riya atau pamer.

وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Wa șaddaqa bil-ḥusnā.

6. Dan membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (Surga).

Tafsir Ayat 6: Membenarkan Balasan Terbaik (Al-Husna). Golongan ini juga memiliki keyakinan (taṣdīq) terhadap ٱلْحُسْنَىٰ (Al-Husna), yang secara umum diartikan sebagai "yang terbaik." Para mufassir sepakat bahwa Al-Husna dalam konteks ini merujuk pada janji Allah tentang pahala terbaik, yaitu Surga, atau pada kalimat tauhid (La Ilaha Illallah). Membenarkan Al-Husna berarti memiliki keimanan yang teguh pada Akhirat, sehingga motivasi untuk memberi dan bertakwa menjadi kuat dan tak tergoyahkan. Tanpa keyakinan ini, pengorbanan di dunia akan terasa sia-sia.

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-yusrā.

7. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).

Tafsir Ayat 7: Imbalan Instan: Kemudahan (Al-Yusra). Ini adalah janji agung bagi golongan pertama. Allah akan memudahkan jalannya menuju ٱلْيُسْرَىٰ (Al-Yusrā – kemudahan). Kemudahan ini memiliki tiga dimensi utama:

  • Kemudahan Duniawi: Allah mempermudah urusannya, membukakan pintu rezeki yang halal, dan memberikan ketenangan hati.
  • Kemudahan Agama: Allah mempermudah amal ibadah, menjadikan ketaatan terasa ringan, dan menjauhkan godaan maksiat.
  • Kemudahan Akhirat: Allah mempermudah menghadapi sakaratul maut, hisab (perhitungan amal), dan akhirnya memasukkannya ke Surga.

Penting untuk dicatat bahwa Al-Yusra (kemudahan) adalah konsekuensi langsung dari amal yang didasari ketaqwaan, bukan sekadar keberuntungan. Kemudahan sejati adalah kemampuan untuk terus melakukan kebaikan.

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ

Wa ammā mam bakhila wastaghnā.

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Allah),

Tafsir Ayat 8: Jalan Kesulitan: Kekikiran dan Keangkuhan. Ayat ini memperkenalkan golongan kedua, yang berada di jalan yang berlawanan. Ciri-ciri mereka juga ada dua: بَخِلَ (bakhila - kikir) dan وَٱسْتَغْنَىٰ (istaghnā - merasa cukup atau sombong). Kekikiran adalah kebalikan dari memberi (a’tā). Kekikiran tidak hanya menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan dan kasih sayang. 'Merasa cukup' di sini berarti merasa kaya atau berkuasa tanpa memerlukan rahmat dan pertolongan Allah, sehingga ia angkuh dan meninggalkan kewajiban-kewajiban agama.

Sikap ini merupakan akar dari seluruh keburukan, karena ketika seseorang merasa tidak butuh pada Sang Pencipta, motivasi untuk berbuat baik akan hilang, dan ia hanya berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri.

وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Wa każżaba bil-ḥusnā.

9. Serta mendustakan adanya (balasan) yang terbaik,

Tafsir Ayat 9: Mendustakan Janji Akhirat. Kebalikan dari membenarkan Al-Husna adalah كَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ (każżaba bil-ḥusnā - mendustakan yang terbaik). Orang yang kikir dan sombong cenderung mendustakan adanya pahala di Akhirat. Bagi mereka, hanya dunia dan kenikmatannya yang nyata. Keraguan atau penolakan terhadap Surga membuat mereka enggan berkorban di dunia. Mereka melihat sedekah dan pengorbanan sebagai kerugian, bukan investasi abadi.

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā.

10. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).

Tafsir Ayat 10: Konsekuensi: Kesulitan (Al-Usra). Bagi golongan ini, janji Allah adalah لِلْعُسْرَىٰ (lil-‘usrā – kesukaran/kesulitan). Menariknya, Allah menggunakan kata 'memudahkan' (sanuyassiruhū) untuk kedua kelompok. Ini bukan berarti Allah memudahkan mereka dalam kesenangan, melainkan Allah akan membiarkan mereka memilih jalan kesukaran tersebut dan mempermudah langkah-langkah menuju ke sana. Kesulitan ini termanifestasi dalam:

  • Kesulitan Spiritual: Ibadah terasa berat, hati keras, dan maksiat terasa mudah.
  • Kesulitan Emosional: Jiwa dipenuhi kekhawatiran dan ketamakan, tidak pernah merasa cukup, yang pada akhirnya membawa kesengsaraan mental.
  • Kesulitan Akhirat: Mereka dibimbing menuju azab yang pedih.

Jalan kesulitan adalah hasil alami dari memilih kekikiran dan menolak kebenaran, sebuah balasan yang adil terhadap kesombongan mereka.

III. Harta dan Azab: Nilai Kekayaan yang Tidak Abadi (Ayat 11-16)

وَمَا يُغْنِى عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ

Wa mā yughnī ‘anhu māluhū iżā taraddā.

11. Dan tidaklah bermanfaat hartanya baginya apabila dia telah jatuh (ke dalam Neraka).

Tafsir Ayat 11: Ketiadaan Manfaat Harta. Ayat ini memberikan pukulan telak terhadap obsesi materialisme yang mendorong kekikiran. Bagi orang yang kikir, harta adalah segalanya. Namun, Allah bertanya (secara retoris): Apa gunanya harta itu ketika ia telah تَرَدَّىٰ (taraddā - jatuh)? 'Jatuh' dapat diartikan sebagai jatuh ke dalam liang kubur (mati) atau jatuh ke dalam Neraka. Dalam kedua kondisi tersebut, harta yang dikumpulkan dengan susah payah dan kekikiran tidak akan dapat menolongnya sedikit pun. Harta hanya bernilai jika digunakan sebagai sarana untuk mencapai ketaqwaan di dunia.

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

Inna ‘alainā lal-hudā.

12. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.

Tafsir Ayat 12: Jaminan Petunjuk Ilahi. Setelah membahas dua jalur yang berbeda, Allah menegaskan bahwa Dia telah menyediakan petunjuk (Al-Huda) bagi seluruh manusia melalui Rasul dan Kitab suci. Kewajiban Allah untuk memberi petunjuk berarti Dia tidak pernah meninggalkan manusia dalam kegelapan tanpa arah. Manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih, tetapi Allah telah memastikan bahwa jalan kebenaran telah dijelaskan dengan gamblang.

وَإِنَّ لَنَا لَلْءَاخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ

Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā.

13. Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Tafsir Ayat 13: Kepemilikan Mutlak. Ayat ini berfungsi sebagai penekanan teologis. Allah adalah Pemilik mutlak dari dunia (Al-Ūlā) dan Akhirat (Al-Ākhirah). Oleh karena itu, ketika Dia menjanjikan kemudahan atau kesulitan, pahala atau siksa, janji-Nya pasti. Pengakuan akan kepemilikan Allah ini seharusnya menghilangkan sifat kikir, karena harta di dunia ini pada hakikatnya hanya pinjaman dari Pemilik yang sama yang juga mengatur balasan di Akhirat.

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًۭا تَلَظَّىٰ

Fa anżartukum nāran talaẓẓā.

14. Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka).

Tafsir Ayat 14: Peringatan Keras Neraka. Allah beralih dari janji ke peringatan. تَلَظَّىٰ (talaẓẓā) berarti api yang membakar hebat, yang berkobar-kobar. Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang mendustakan kebenaran (ayat 9) dan memilih jalan kesukaran. Api Neraka adalah konsekuensi terakhir bagi mereka yang menolak petunjuk dan memilih jalan kekikiran di dunia.

لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى

Lā yaṣlāhā illal-ashqā.

15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

Tafsir Ayat 15: Siapa yang Paling Celaka? Neraka yang menyala-nyala ini tidak dimasuki kecuali oleh ٱلْأَشْقَى (Al-Ashqā – yang paling celaka/sengsara). Siapakah Al-Ashqa? Mereka adalah orang-orang yang diberikan kesempatan untuk beriman, diberi petunjuk, tetapi memilih untuk menolak dan mendustakan kebenaran secara terus-menerus. Mereka adalah puncak dari kekafiran, yang menentang para nabi dan menolak jalan ketaqwaan.

ٱلَّذِى كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Allażī każżaba wa tawallā.

16. Yaitu orang yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).

Tafsir Ayat 16: Definisi Kecelakaan. Ayat ini menjelaskan ciri-ciri Al-Ashqa: mereka yang كَذَّبَ (każżaba - mendustakan) dan تَوَلَّىٰ (tawallā - berpaling). Mereka tidak hanya menolak kebenaran (kekafiran), tetapi juga secara aktif menjauhi dan mengabaikan petunjuk (berpaling dari amal shalih). Kombinasi antara penolakan iman (hati) dan penolakan amal (tindakan) menjadikan mereka paling celaka dan layak menerima azab Neraka yang membakar.

IV. Keselamatan dan Balasan Terbaik bagi Orang Bertaqwa (Ayat 17-21)

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى

Wa sayujannabuhal-atqā.

17. Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa,

Tafsir Ayat 17: Puncak Ketaqwaan. Sebagai kontras langsung terhadap ‘Al-Ashqā’ (yang paling celaka), Allah menjanjikan keselamatan total bagi ٱلْأَتْقَى (Al-Atqā – yang paling bertakwa). 'Dijauhkan' (sayujannabuhā) berarti mereka bahkan tidak akan merasakan panasnya Neraka. Mereka adalah puncak dari golongan pertama (orang yang memberi dan bertakwa). Menurut banyak mufassir, ayat ini diturunkan merujuk kepada Abu Bakar As-Siddiq, sebagai contoh sempurna dari seseorang yang rela mengorbankan segalanya demi Allah.

ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ

Allażī yu’tī mālahū yatazakkā.

18. Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.

Tafsir Ayat 18: Tujuan Pemberian: Penyucian Jiwa. Ayat ini menjelaskan hakikat dari tindakan memberi. Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang يُؤْتِى مَالَهُۥ (yu’tī mālahū - memberikan hartanya), tetapi bukan hanya sekadar memberi, melainkan dengan tujuan يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā - menyucikan dirinya). Penyucian ini adalah penyucian dari:

  • Dosa (melalui amal shalih).
  • Sifat kikir (bakhil).
  • Keterikatan berlebihan pada dunia.

Pemberian (infak) dalam Islam harus didorong oleh keinginan untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mengharapkan pujian manusia.

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ

Wa mā li’aḥadin ‘indahū min ni’matin tujzā.

19. Dan tiada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

Tafsir Ayat 19: Keikhlasan Murni. Ini adalah puncak dari keikhlasan. Orang bertakwa memberikan hartanya bukan karena ia berutang budi atau ingin membalas kebaikan dari orang yang diberi (tujzā). Infak mereka adalah murni atas dasar mencari ridha Allah, tanpa motivasi duniawi seperti imbalan, pujian, atau rasa syukur dari penerima. Ini membedakan infak yang ikhlas dari transaksi sosial biasa. Mereka berbuat baik kepada orang yang bahkan tidak mampu membalasnya.

إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ

Illab-tighā’a wajhi rabbihil-a’lā.

20. Melainkan (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Tafsir Ayat 20: Fokus Tertinggi. Inilah tujuan tunggal dari seluruh amal ketaqwaan: ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ (mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi). Tidak ada tujuan yang lebih mulia. Jika amal didasarkan pada keridhaan Allah semata, amal itu akan diterima dan diganjar dengan balasan yang abadi. Ayat ini mengajarkan bahwa barometer sejati dari nilai suatu amal adalah keikhlasan, bukan besarnya amal tersebut.

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

Wa lasaufa yarḍā.

21. Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan.

Tafsir Ayat 21: Kepuasan Abadi. Surah Al-Lail ditutup dengan janji pamungkas: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan). Kepuasan ini (Ar-Ridā) adalah tingkatan tertinggi di Surga. Bukan hanya kenikmatan fisik, melainkan kenikmatan spiritual di mana hamba merasa puas sepenuhnya dengan apa yang Allah berikan kepadanya, dan yang lebih penting, ia merasa puas karena Allah ridha terhadap dirinya. Janji ini menjadi penutup yang indah, memberikan motivasi akhir bagi setiap mukmin untuk memilih jalan ketaqwaan dan kedermawanan.

Analisis Tematis dan Prinsip Kunci Surah Al-Lail

1. Prinsip Dualitas dan Kontras (Iżā Yaghshā dan Iżā Tajallā)

Surah Al-Lail dibangun di atas fondasi kontras retoris (muqābalah). Malam dan siang, laki-laki dan perempuan, memberi dan kikir, kemudahan dan kesulitan, celaka dan bertakwa. Kontras ini adalah metode Al-Qur'an untuk menjelaskan kebenaran: hidup adalah ujian yang mengharuskan pilihan. Keindahan Surah Al-Lail terletak pada bagaimana ia menghubungkan fenomena kosmis (malam/siang) dengan etika manusia (memberi/kikir). Ini menunjukkan bahwa alam semesta dan moralitas manusia terikat dalam sistem keseimbangan ilahi.

Dualitas ini juga mengajarkan bahwa ketaqwaan sering kali dimulai dalam kegelapan (seperti ibadah di malam hari atau memberi secara rahasia), namun dampaknya akan terlihat jelas di siang hari (kemudahan dan kebahagiaan). Sebaliknya, kekikiran mungkin terlihat menguntungkan di dunia (mengumpulkan harta), tetapi akan menyebabkan kegelapan abadi di Akhirat.

2. Kedermawanan sebagai Tolak Ukur Ketaqwaan (A'tā vs. Bakhila)

Ayat-ayat 5, 8, dan 18 secara eksplisit menjadikan sikap terhadap harta (memberi atau menahan) sebagai pembeda utama antara dua golongan manusia. Mengapa kedermawanan diletakkan di samping takwa? Karena harta sering kali menjadi ujian terbesar bagi keikhlasan dan keyakinan seseorang. Sifat kikir (Bakhil) adalah manifestasi dari kurangnya keyakinan pada janji Allah (Al-Husna). Jika seseorang yakin bahwa Allah akan mengganti apa yang ia berikan berkali lipat, maka ia tidak akan kikir.

Kekikiran, dalam konteks surah ini, melambangkan egoisme dan ketidakpedulian sosial, yang merupakan kebalikan dari ajaran Islam. Sifat memberi (A'tā) adalah bukti nyata bahwa hati seseorang lebih terikat pada Allah dan Akhirat daripada pada materi duniawi. Pemberian menjadi sarana untuk Yatazakkā (pembersihan jiwa).

3. Tafsir Mendalam Konsep Al-Yusra (Kemudahan) dan Al-Usra (Kesukaran)

Janji Allah bahwa Dia akan mempermudah jalan bagi orang bertakwa menuju Al-Yusra (kemudahan) dan mempermudah jalan bagi orang kikir menuju Al-Usra (kesukaran) adalah inti psikologis surah ini. Para ulama tafsir menekankan bahwa 'kemudahan' dan 'kesukaran' ini bukan hanya nasib eksternal, melainkan kondisi internal:

  • Al-Yusra: Adalah kemudahan dalam ketaatan. Orang bertakwa mendapati shalat terasa ringan, puasa terasa nikmat, dan berinfak terasa menyenangkan. Hidupnya penuh berkah meskipun mungkin secara fisik miskin.
  • Al-Usra: Adalah kesukaran dalam ketaatan. Orang kikir mendapati hatinya sulit menerima kebenaran, ia kesulitan menunaikan kewajiban, dan terus dikejar oleh rasa tamak, sehingga hidupnya dipenuhi kekhawatiran dan kesengsaraan batin, meskipun secara lahiriah ia kaya.

Dengan demikian, balasan di dunia sudah dimulai sejak amal perbuatan itu dilakukan; ketaqwaan menciptakan kemudahan, dan kekikiran menciptakan kesengsaraan.

4. Keterikatan Totalitas (Al-Ākhirah dan Al-Ūlā)

Ayat 13, "Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia," adalah pernyataan kedaulatan yang mutlak. Ayat ini memberikan fondasi bagi seluruh etika dalam surah ini. Jika dunia dan Akhirat adalah milik Allah, maka berusaha untuk mendapatkan keridhaan-Nya adalah satu-satunya investasi yang logis. Orang yang hanya fokus pada dunia (seperti orang kikir) telah memilih bagian yang fana, padahal kepuasan sejati hanya datang dari Allah, Pemilik kedua alam tersebut.

Kontekstualisasi dan Aplikasi Praktis

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Meskipun Surah Al-Lail memiliki pesan universal, banyak ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat-ayat tentang dua golongan ini memiliki konteks historis yang spesifik:

Kisah Abu Bakar As-Siddiq (Al-Atqā): Diriwayatkan bahwa ayat 17 hingga 21 (mengenai orang yang paling bertakwa) turun berkenaan dengan Abu Bakar As-Siddiq. Beliau dikenal sangat dermawan dan sering memerdekakan budak-budak Muslim yang disiksa oleh majikan kafir mereka. Abu Bakar memerdekakan mereka bukan karena budak-budak itu pernah berbuat baik padanya, melainkan murni karena mencari wajah Allah, sesuai dengan ayat 19 dan 20. Ketika Ayah Abu Bakar menegurnya karena tidak memerdekakan budak yang kuat dan sehat, Abu Bakar menjawab bahwa ia hanya mencari ridha Allah.

Kisah Ummayah bin Khalaf atau Abu Jahl (Al-Ashqā): Sebaliknya, golongan yang celaka (ayat 8-10) diyakini merujuk pada individu-individu kafir Makkah, seperti Ummayah bin Khalaf, yang sangat kikir dan menolak berinfak di jalan kebenaran. Mereka mendustakan Surga dan merasa kaya serta angkuh di hadapan Nabi Muhammad SAW.

Kisah-kisah ini memperjelas kontras: satu sisi rela berkorban total demi tujuan yang abadi (Akhirat), sisi lain menahan segalanya demi kepentingan duniawi yang fana.

Pelajaran Utama (Tadabbur)

Surah Al-Lail menawarkan pelajaran fundamental yang relevan untuk setiap zaman, terutama dalam masyarakat modern yang seringkali mengagungkan kekayaan dan kesombongan:

1. Prioritas Infaq (Pengeluaran):

Surah ini mengajarkan bahwa harta harus dilihat sebagai alat untuk menyucikan jiwa (Yatazakkā). Prioritas hidup harus bergeser dari "mengumpulkan" menjadi "memberi". Memberi adalah investasi, menahan adalah kerugian.

2. Pentingnya Keikhlasan:

Amal yang dijamin mendatangkan kemudahan adalah amal yang murni (Illab-tighā’a wajhi rabbihil-a’lā). Infak tidak boleh disertai harapan pamrih, apalagi mengharapkan balasan dari manusia yang diberi.

3. Dampak Keyakinan pada Akhlak:

Perbedaan antara dua jalan ini (mudah vs. sukar) berakar pada keyakinan terhadap Al-Husna (janji Surga). Orang yang yakin pada Akhirat akan ringan dalam berkorban; orang yang mendustakan Akhirat akan berat dan kikir.

4. Pilihan Jalan Hidup:

Setiap hari, manusia dihadapkan pada pilihan. Apakah kita memilih jalan A’tā (memberi) dan Taqwa (bertakwa), ataukah jalan Bakhila (kikir) dan Istaghnā (merasa cukup)? Surah ini memastikan bahwa pilihan kita menentukan apakah kita dibimbing menuju kemudahan atau kesukaran, baik di dunia maupun di Akhirat.

Kesimpulan dari Surah Al-Lail adalah penegasan bahwa hasil akhir kehidupan bukan ditentukan oleh kekayaan atau posisi sosial, melainkan oleh kualitas dan niat dari usaha yang dilakukan. Bagi orang bertakwa, kepuasan (Ar-Ridā) abadi di sisi Allah adalah hadiah yang jauh melampaui segala kenikmatan dunia.

🏠 Homepage