Surah Al-Lail Termasuk Golongan Surah Makkiyah: Kajian Mendalam Mengenai Klasifikasi, Tema, dan Tafsir

Pengantar dan Klasifikasi Awal

Surah Al-Lail (Arab: الليل, yang berarti Malam) adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan penting dalam Al-Qur'an, terutama karena kekuatannya dalam menanamkan prinsip dualitas moral dan konsekuensi perbuatan. Surah ini merupakan surah ke-92 dalam urutan mushaf Utsmani dan terdiri dari 21 ayat yang pendek namun padat makna.

Pertanyaan mendasar yang sering muncul dalam studi keislaman adalah mengenai waktu pewahyuannya, yang secara tradisional membagi surah-surah dalam Al-Qur'an menjadi dua golongan utama: **Makkiyah** dan **Madaniyah**. Pemahaman ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga kunci untuk menafsirkan konteks ayat, memahami gradualitas syariat, dan mengaitkan ayat dengan situasi sosio-historis masyarakat awal Islam.

Secara konsensus ulama tafsir dan ‘ulumul Qur’an, Surah Al-Lail termasuk golongan surah **Makkiyah**. Konsensus ini didasarkan pada berbagai kriteria internal dan eksternal surah, mulai dari gaya bahasa, pendeknya ayat, hingga tema sentral yang diusungnya.

Simbol Malam dan Surah Al-Lail

Kriteria Penentuan Golongan Surah Makkiyah

Untuk memahami mengapa Surah Al-Lail termasuk dalam golongan Makkiyah, penting untuk meninjau kriteria yang digunakan oleh ulama ‘ulumul Qur’an. Periode Makkiyah merujuk pada masa sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Mekah ke Madinah, sedangkan Madaniyah adalah periode setelah hijrah. Surah Makkiyah memiliki ciri-ciri tematik dan struktural yang khas:

1. Fokus pada Tauhid dan Keyakinan Dasar

Surah Makkiyah sebagian besar berfokus pada penanaman prinsip-prinsip dasar keimanan, seperti keesaan Allah (Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah), kenabian, hari kebangkitan (Al-Ba'ts), dan pembalasan (Al-Jaza'). Di Mekah, tantangan utama Nabi adalah meyakinkan masyarakat politeis terhadap konsep Tuhan Yang Esa, sehingga fokus surah-surah ini sangat eskatologis dan dogmatis. Surah Al-Lail, yang membahas pembalasan amal (memberi vs. bakhil) secara tajam, sangat sesuai dengan fokus ini.

2. Gaya Bahasa yang Singkat dan Berapi-api

Ciri khas Makkiyah adalah ayat-ayat yang pendek (qisar) dan frasa yang kuat, penuh sumpah (aqsam), dan retoris. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pendengar yang skeptis dan menyentuh hati mereka dengan irama dan kekuatan bahasa. Surah Al-Lail dimulai dengan tiga sumpah berturut-turut: demi malam, siang, dan Penciptaan, yang merupakan ciri khas gaya Makkiyah.

3. Tidak Ada Hukum Syariat yang Rinci

Surah Makkiyah jarang membahas hukum-hukum praktis (fiqih) yang rinci, seperti warisan, pernikahan, atau tata cara ibadah sosial, karena pada periode ini umat Islam masih merupakan minoritas yang teraniaya dan fokusnya adalah membangun fondasi keimanan. Hukum yang ditekankan bersifat universal dan etis, seperti kejujuran, keadilan, dan kedermawanan—tema sentral Al-Lail.

4. Penggunaan Panggilan Umum

Penggunaan panggilan "يا أيها الناس" (Wahai sekalian manusia) lebih dominan dibandingkan "يا أيها الذين آمنوا" (Wahai orang-orang yang beriman), yang lebih umum di Madaniyah. Meskipun Al-Lail tidak secara eksplisit menggunakan salah satu dari keduanya, nada surah ini bersifat universal dan ditujukan untuk menantang pandangan materialistis kaum Quraisy Mekah.

Argumentasi Khusus Surah Al-Lail sebagai Makkiyah

Selain kriteria umum di atas, Al-Lail memiliki bukti-bukti spesifik yang memperkuat statusnya sebagai surah Makkiyah, khususnya dalam kelompok Al-Mufassil (surah-surah pendek di akhir mushaf):

1. Sumpah Kosmik (Al-Aqsām)

Surah Al-Lail dibuka dengan sumpah-sumpah kosmik (Ayat 1-3): وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ . وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ . وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ

Bersumpah demi fenomena alam (malam, siang, penciptaan) adalah teknik retorika khas periode Makkiyah. Sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian pada keagungan Pencipta (Tauhid) sebelum menyampaikan pesan moral yang ingin disampaikan (kontras perbuatan).

2. Tema Kontras Moral dan Asbabun Nuzul

Meskipun klasifikasi Makkiyah/Madaniyah umumnya didasarkan pada waktu, beberapa ulama juga melihat pada konteks historis (Asbabun Nuzul). Para mufassir menyebutkan bahwa beberapa ayat dalam Al-Lail, khususnya yang membahas tentang orang yang memberi dan orang yang bakhil (Ayat 5-11), terkait dengan perbandingan antara:

Peristiwa perbandingan ini, di mana kaum beriman di Mekah mulai menunjukkan keunggulan moral mereka atas para bangsawan Quraisy, terjadi sebelum hijrah, saat kaum muslimin masih berjuang secara etika dan sosial di Mekah. Hal ini semakin mengukuhkan Al-Lail sebagai **surah Makkiyah**.

Studi Mendalam: Tafsir Ayat per Ayat Surah Al-Lail

Analisis mendalam terhadap setiap ayat sangat penting untuk menangkap seluruh kedalaman pesan surah ini, yang merupakan kunci bagi pencapaian volume pembahasan yang memadai. Surah Al-Lail dibagi menjadi tiga segmen utama: Sumpah Kosmik, Kontras Aksi Manusia, dan Konsekuensi Akhirat.

Segmen I: Sumpah Kosmik dan Dualitas Penciptaan (Ayat 1-4)

Ayat 1: وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Terjemah: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).

Tafsir Linguistik dan Tematik: Kata يَغْشَىٰ (yaghsyā) berarti menutupi, menyelimuti. Malam di sini diambil sebagai sumpah karena ia adalah fenomena besar yang secara rutin menelan siang. Ini adalah simbol ketenangan, kegelapan, dan misteri. Dalam konteks Makkiyah, sumpah ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah dalam mengatur alam semesta, sebuah konsep yang ditentang oleh kaum musyrikin.

Ayat 2: وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Terjemah: Dan siang apabila terang benderang.

Tafsir Linguistik dan Tematik: Kata تَجَلَّىٰ (tajallā) berarti menyingkap atau menjadi jelas. Siang adalah lawan mutlak malam; simbol aktivitas, kejelasan, dan cahaya. Dualitas (malam dan siang) yang muncul berulang kali dalam surah-surah pendek Makkiyah (seperti Ad-Dhuha dan Ash-Shams) menunjukkan bahwa alam semesta ini dibangun atas dasar pasangan yang kontras, yang mempersiapkan pembaca untuk menerima kontras moral berikutnya: kebajikan vs. keburukan.

Ayat 3: وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ

Terjemah: Dan demi (penciptaan) laki-laki dan perempuan.

Tafsir Linguistik dan Tematik: Ada dua interpretasi utama untuk وَمَا خَلَقَ (wa mā khalaqa):

  1. Demi Dia yang menciptakan laki-laki dan perempuan (menafsirkan 'mā' sebagai 'man' - Dia Yang).
  2. Demi penciptaan laki-laki dan perempuan (menafsirkan 'mā' sebagai 'al-mashdariyyah' - sumber/proses penciptaan).
Kedua tafsir mengarah pada kesimpulan yang sama: sumpah demi Pencipta dan ciptaan yang berpasangan. Setelah bersumpah demi dualitas kosmik (Malam/Siang), Allah bersumpah demi dualitas biologis (Pria/Wanita). Ini menegaskan bahwa segala sesuatu dalam keberadaan ini didasarkan pada dualisme, yang puncaknya adalah dualisme amal manusia.

Ayat 4: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Terjemah: Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan.

Tafsir Kontekstual: Ayat ini adalah inti dari sumpah sebelumnya. Setelah bersumpah demi fenomena yang berpasangan dan berlawanan, Allah menyatakan bahwa upaya dan amal manusia (سَعْيَكُمْ, sa’yakum) juga terbagi menjadi dua kelompok yang berlawanan (لَشَتَّىٰ, lasyattā). Ini menetapkan premis moral: tidak ada netralitas; setiap tindakan pasti akan diklasifikasikan sebagai jalan menuju kebenaran atau jalan menuju kesesatan.

Simbol Dualitas Tindakan Memberi (Taqwa) Bakhil (Dzalim)

Segmen II: Kontras Aksi Manusia dan Jalan yang Berbeda (Ayat 5-11)

Ayat-ayat berikut ini merinci dua kelompok manusia yang disebutkan dalam Ayat 4. Jalan pertama adalah jalan kebaikan (Ahli At-Taqwa) dan jalan kedua adalah jalan keburukan (Ahli Al-Bukhul).

Kelompok I: Orang yang Memberi dan Bertakwa (Ayat 5-7)

Ayat 5: فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

Terjemah: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.

Tafsir: أَعْطَىٰ (a'thā) berarti memberi, tidak hanya sedekah, tetapi juga mencakup pengorbanan waktu, tenaga, dan harta. Tindakan memberi ini digandengkan dengan وَاتَّقَىٰ (wa-ittaqā), yaitu bertakwa. Ini menunjukkan bahwa kedermawanan yang sejati tidak dapat dipisahkan dari kesadaran ilahiah. Seseorang memberi bukan karena pamer (riya’), melainkan karena takut dan hormat kepada Allah (Taqwa).

Ayat 6: وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

Terjemah: Dan membenarkan adanya (balasan) yang terbaik.

Tafsir: Kata الْحُسْنَىٰ (al-husnā) secara umum ditafsirkan sebagai:

  1. Kalimat Tauhid (Laa Ilaaha Illallah).
  2. Pahala terbaik di akhirat (Surga).
  3. Janji Allah yang benar (mempercayai bahwa memberi akan diganti dengan yang lebih baik).
Membenarkan 'al-husna' adalah tanda keimanan yang sempurna. Orang ini yakin bahwa meskipun pengorbanan terasa berat di dunia, balasan Allah jauh lebih besar dan lebih kekal.

Ayat 7: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

Terjemah: Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Tafsir: Ayat ini menjanjikan kemudahan (لِلْيُسْرَىٰ, lil-yusrā). Ini bukan berarti hidupnya bebas masalah, tetapi Allah akan mempermudah jalannya menuju kebaikan, ketaatan, dan yang paling utama, menuju Surga. Ketaatan akan terasa ringan, dan peluang untuk beramal saleh akan terbuka lebar. Kedermawanan dan ketakwaan membuka pintu-pintu kemudahan ilahiah (tawfiq).

Kelompok II: Orang yang Bakhil dan Mendustakan (Ayat 8-11)

Ayat 8: وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

Terjemah: Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup.

Tafsir: بَخِلَ (bakhila) adalah kikir, menahan harta yang seharusnya dikeluarkan. Sikap kikir ini dipicu oleh وَاسْتَغْنَىٰ (wastaghnā), merasa cukup. Dia merasa kekayaan dan kekuatan pribadinya sudah menjamin masa depannya, sehingga ia tidak merasa butuh kepada Allah atau tidak takut akan pembalasan-Nya. Keangkuhan ini adalah akar dari penolakan terhadap tanggung jawab sosial dan ilahiah.

Ayat 9: وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

Terjemah: Dan mendustakan (balasan) yang terbaik.

Tafsir: Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok ini mendustakan الْحُسْنَىٰ (balasan terbaik/Surga). Karena mereka hanya melihat duniawi, mereka menganggap bahwa mengeluarkan harta adalah kerugian murni. Mereka menolak kebenaran tauhid dan janji akhirat, yang merupakan motivasi utama kaum mukminin Mekah untuk berkorban.

Ayat 10: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Terjemah: Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.

Tafsir: Ini adalah balasan yang setimpal. Jika orang bertakwa dimudahkan jalannya menuju Surga (yusrā), maka orang kikir akan dimudahkan jalannya menuju kesulitan (الْعُسْرَىٰ, al-‘usrā). Kesulitan di sini mencakup kesulitan dalam beribadah, kesulitan hidup, dan yang paling mengerikan, kesulitan di Hari Kiamat. Allah membiarkan mereka tenggelam dalam kesibukan duniawi yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam Neraka.

Ayat 11: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ

Terjemah: Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

Tafsir: تَرَدَّىٰ (taraddā) secara harfiah berarti jatuh ke jurang atau binasa. Ayat ini adalah peringatan keras bahwa harta yang dikumpulkan dengan kikir, yang menjadi sumber keangkuhannya di dunia, sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari Neraka. Pada hari kehancuran dan kebinasaan (kematian atau Hari Kiamat), hartanya tidak memiliki nilai apa pun di hadapan Allah.

Segmen III: Kepemilikan dan Peringatan Akhirat (Ayat 12-21)

Setelah membandingkan kedua jalan, surah ini beralih ke penegasan kekuasaan Allah dan konsekuensi akhirat yang definitif.

Ayat 12: إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

Terjemah: Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.

Tafsir: Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah Pemilik mutlak hidayah. Walaupun manusia diberi pilihan untuk memilih jalannya (Ayat 4), Allah telah menetapkan dua jalur yang jelas. Kewajiban Allah di sini ditafsirkan sebagai penetapan dan penjelasan jalan yang benar (jalan hidayah) dan jalan yang sesat (jalan kesesatan), sehingga manusia tidak punya alasan untuk tersesat.

Ayat 13: وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ

Terjemah: Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Tafsir: Penegasan Tauhid Rububiyyah. Karena Allah memiliki dunia (الْأُولَىٰ) dan akhirat (الْآخِرَةَ), maka penilaian dan pembalasan atas amal perbuatan manusia adalah hak prerogatif-Nya. Ini memperkuat ancaman dan janji yang disebutkan sebelumnya; jika Allah menguasai segalanya, maka janji Surga dan ancaman Neraka adalah pasti.

Ayat 14: فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

Terjemah: Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala.

Tafsir: Kata تَلَظَّىٰ (talaẓẓā) secara harfiah berarti berkobar-kobar, sangat panas, atau menjulang tinggi. Ini adalah peringatan Neraka yang ditujukan khusus kepada kaum musyrikin Mekah yang mendustakan hari pembalasan. Penggunaan kata kerja yang intensif menekankan kengerian sanksi bagi mereka yang memilih jalan kesulitan (‘usrā).

Ayat 15: لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى

Terjemah: Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka.

Tafsir: الْأَشْقَى (al-ashqā) berarti yang paling celaka. Para mufassir menafsirkan orang yang paling celaka ini sebagai orang yang secara permanen menolak kebenaran (Tauhid) dan mendustakan Hari Pembalasan. Dalam konteks Asbabun Nuzul, ini sering dikaitkan dengan para pemimpin Quraisy yang secara aktif menentang dan menyakiti Nabi, seperti Umayyah bin Khalaf atau Uqbah bin Abi Mu'aith, yang menjadi kontras moral bagi Abu Bakar.

Ayat 16: الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Terjemah: Yaitu orang yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).

Tafsir: Ayat ini mendefinisikan sifat الْأَشْقَى. Mereka bukan hanya sekadar berdosa, tetapi mereka كَذَّبَ (mendustakan) kebenaran yang datang dari Allah dan تَوَلَّىٰ (berpaling) dari ketaatan. Kombinasi antara penolakan hati (mendustakan) dan penolakan fisik (berpaling dari amal) adalah ciri khas penghuni abadi Neraka.

Ayat 17: وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

Terjemah: Dan kelak akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa.

Tafsir: Sekarang fokus beralih ke kelompok yang berlawanan. الْأَتْقَى (al-atqā) adalah orang yang paling bertakwa. Ini adalah gelar tertinggi bagi orang-orang yang memilih jalan kemudahan (yusrā). Dalam tradisi Tafsir, meskipun maknanya umum, para ulama sering mengaitkan ayat ini secara khusus dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena ia dikenal sebagai orang yang paling dermawan dan paling takut kepada Allah di masa-masa awal Islam.

Ayat 18: الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ

Terjemah: Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.

Tafsir: Ayat ini menjelaskan ciri utama الْأَتْقَى: mereka memberikan harta (يُؤْتِي مَالَهُ, yu’tī mālahu) dengan tujuan يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā), yaitu menyucikan dirinya. Pemberian ini bukan untuk keuntungan duniawi, bukan untuk pujian, melainkan untuk pembersihan jiwa dari penyakit kikir dan riya', dan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Ini adalah esensi dari zakat dan sedekah dalam Islam.

Ayat 19: وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ

Terjemah: Padahal tidak ada bagi seseorang pun pemberian yang patut diberikan pembalasan kepadanya.

Tafsir: Ayat ini sangat penting. Pemberian yang dilakukan oleh الْأَتْقَى bukanlah untuk membalas budi (تُجْزَىٰ, tujzā) kepada orang yang diberi. Mereka tidak memberi kepada orang yang sudah berjasa besar kepada mereka sehingga mereka harus membalas. Sebaliknya, mereka memberi karena murni mencari Wajah Allah. Ini adalah standar tertinggi dalam kedermawanan, di mana motivasi terlepas dari kalkulasi sosial atau ekonomi.

Ayat 20: إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ

Terjemah: Tetapi (ia memberikan itu) semata-mata mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Tafsir: Ayat ini adalah penutup dari motivasi amal saleh. Tujuan satu-satunya adalah ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ (mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). Ini adalah definisi Ikhlas: menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Pembersihan diri (Ayat 18) dan ketiadaan motif balasan budi (Ayat 19) semuanya bermuara pada keinginan untuk mencapai keridhaan Ilahi.

Ayat 21: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

Terjemah: Dan kelak dia benar-benar akan puas.

Tafsir: Surah ditutup dengan janji penuh kepuasan (يَرْضَىٰ, yarḍā). Kepuasan di sini bersifat menyeluruh, mencakup kepuasan di dunia (ketenangan hati), saat kematian, dan yang terpenting, di Surga. Puas karena melihat janji Allah terpenuhi, puas karena mendapatkan tempat abadi, dan yang paling mulia, puas karena mendapatkan keridhaan Allah.

Simbol Keadilan dan Pembalasan Kikir Taqwa

Implikasi Tematik Al-Lail dalam Konteks Makkiyah

Sebagai surah Makkiyah, Al-Lail berfungsi sebagai alat dakwah yang sangat efektif di tengah masyarakat Mekah yang materialistis. Implikasi tematiknya mencakup beberapa hal penting:

1. Menggugat Materialisme Quraisy

Kaum Quraisy sangat bangga dengan kekayaan dan status sosial mereka. Al-Lail secara langsung menantang pandangan ini dengan menegaskan bahwa kekayaan bukanlah jaminan keselamatan (وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ). Yang bernilai adalah niat dan pengorbanan ikhlas yang didorong oleh takwa, bukan volume harta.

2. Peletakan Pilar Akhlak (Kedermawanan)

Di Mekah, belum ada syariat wajib seperti Zakat yang terstruktur. Namun, Al-Lail menetapkan kedermawanan sebagai pilar akhlak dan bukti keimanan sejati. Ini mengajarkan bahwa pengorbanan harta secara sukarela adalah manifestasi tertinggi dari kepercayaan terhadap janji Allah.

3. Pilihan Bebas dan Konsekuensi

Tema dualitas yang kuat—malam/siang, pria/wanita, memberi/kikir—menegaskan prinsip kebebasan berkehendak (Ikhtiyar) dan tanggung jawab pribadi. Manusia bebas memilih, tetapi setiap pilihan memiliki jalur konsekuensi yang pasti (yusrā atau ‘usrā).

Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa Al-Lail bukan hanya sebuah surah yang membandingkan dua jenis orang; ia adalah cetak biru Makkiyah yang menggunakan sumpah kosmik untuk menarik perhatian pada keesaan dan kekuasaan Allah, kemudian mengaplikasikan keesaan itu pada prinsip etika dan moral yang esensial: motivasi di balik kedermawanan. Surah ini secara tegas memperingatkan bahwa mereka yang menyombongkan diri dengan harta dan menolak kebenaran akan menemui kesulitan, sementara mereka yang berkorban dengan ikhlas akan memperoleh kemudahan dan keridhaan Allah.

Perbandingan dengan Surah Mufassil Lain

Surah Al-Lail berada dalam kelompok Al-Mufassil (surah-surah pendek), yang dikenal memiliki gaya bahasa yang serupa dan diwahyukan dalam periode Makkiyah. Membandingkannya dengan surah-surah terdekat seperti Ash-Shams (91) dan Ad-Dhuha (93) semakin memperkuat klasifikasinya:

Kesamaan dalam sumpah kosmik, pendeknya ayat, dan fokus pada Tauhid serta etika moral yang mendasar membuktikan bahwa Surah Al-Lail termasuk golongan surah **Makkiyah** yang diwahyukan di awal periode dakwah, saat fondasi akidah sedang dibangun.

Analisis Lanjutan: Konsep Ikhlas dan Tazkiyatun Nafs dalam Al-Lail

Al-Lail memberikan pelajaran spiritual yang sangat mendalam, terutama tentang konsep ikhlas (ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ) dan penyucian jiwa (يَتَزَكَّىٰ). Dalam masyarakat Mekah yang didominasi oleh sistem kesukuan dan reputasi, kedermawanan sering kali dilakukan demi status sosial dan pujian (riya’).

Al-Lail datang untuk mendefinisikan ulang kedermawanan. Ia memisahkan pemberian yang didorong oleh motivasi duniawi dari pemberian yang didorong oleh motivasi ilahiah. Seseorang yang الْأَتْقَى (yang paling bertakwa) adalah orang yang telah mencapai tingkat keikhlasan di mana ia memberi tanpa mengharapkan balasan apa pun dari manusia (Ayat 19). Ini adalah landasan spiritual bagi seluruh praktik ibadah dalam Islam.

Kedermawanan sebagai Bukti Keimanan

Surah Al-Lail mengajarkan bahwa iman sejati tidak hanya diucapkan, tetapi juga ditunjukkan melalui pengorbanan harta. Bagi kaum muslimin awal di Mekah, mengeluarkan harta untuk membebaskan budak atau membantu sesama adalah risiko besar, karena mereka sendiri sering kali miskin atau teraniaya. Kesiapan mereka untuk berkorban membuktikan kebenahan mereka terhadap ‘al-husna’ (janji Surga). Sebaliknya, kaum musyrikin yang kikir dan menahan harta mereka membuktikan bahwa mereka hanya percaya pada dunia fana, bukan pada Hari Pembalasan.

Penutup: Penegasan Klasifikasi dan Makna Abadi

Setelah meninjau struktur, gaya bahasa, konteks historis, dan tafsir mendalam ayat per ayat, kesimpulan yang kokoh tetap tegak: **Surah Al-Lail termasuk golongan surah Makkiyah**. Ia diwahyukan di Mekah, sebelum Hijrah, dan berfungsi untuk menegakkan tiga pilar utama dakwah Makkiyah:

  1. Penegasan Tauhid melalui sumpah kosmik.
  2. Penanaman prinsip etika dasar (kedermawanan vs. kebakhilan).
  3. Peringatan keras mengenai Hari Pembalasan dan pemisahan nasib manusia (Surga dan Neraka).

Pesan abadi Surah Al-Lail tetap relevan bagi setiap individu: setiap usaha kita, besar maupun kecil, diarahkan pada salah satu dari dua jalur yang kontras. Pilihan antara memberi dengan ikhlas atau menahan dengan angkuh adalah pilihan yang menentukan apakah jalan hidup kita akan menuju kemudahan (يُسْرَىٰ) atau kesulitan (عُسْرَىٰ), yang puncaknya adalah keridhaan Allah di akhirat.

Surah ini mendorong para pembacanya untuk terus-menerus mengevaluasi motivasi di balik amal perbuatan mereka, memastikan bahwa setiap tindakan berasal dari ketakwaan yang murni dan diarahkan semata-mata untuk mencari wajah Allah Yang Mahatinggi.

🏠 Homepage