Surah Al-Lahab, atau yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah surah ke-111 dalam Al-Qur'an. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat pendek, dampak teologis, historis, dan spiritual surah ini sangatlah monumental. Surah ini diturunkan di Makkah, menjadikannya salah satu surah Makkiyah, yang berfokus pada Tauhid dan ancaman bagi mereka yang secara terbuka menentang pesan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad ﷺ. Surah ini unik karena merupakan satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara spesifik menyebut nama musuh Islam yang masih hidup pada saat pewahyuannya, yaitu Abu Lahab, paman Nabi sendiri. Pengungkapan identitas dan takdirnya yang pasti ini menjadi bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ dan kepastian janji Ilahi.
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Lahab bukan hanya sekadar memahami sejarah kuno, melainkan menyingkap prinsip abadi tentang pertarungan antara kebenaran (hak) dan kebatilan (bathil), serta konsekuensi mutlak dari kesombongan, kekayaan yang disalahgunakan, dan permusuhan yang terang-terangan terhadap utusan Allah. Surah ini menawarkan pelajaran universal yang melampaui batas waktu, menekankan bahwa ikatan darah tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari murka Ilahi jika hati telah dipenuhi dengan kebencian dan penolakan terhadap kebenaran yang datang dari Yang Maha Kuasa.
Untuk memahami kekuatan dan ancaman yang terkandung dalam Surah Al-Lahab, kita harus kembali pada momen krusial di awal dakwah Islam di Makkah. Rasulullah Muhammad ﷺ baru saja menerima perintah untuk menyampaikan dakwah secara terbuka, setelah sebelumnya berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Perintah tersebut tertuang dalam Surah Asy-Syu'ara' ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."
Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa, salah satu bukit tertinggi di Makkah saat itu, dan memanggil seluruh suku Quraisy. Tindakan ini adalah tradisi khas Arab saat itu, digunakan untuk menyampaikan berita yang sangat penting atau mengancam, seperti kedatangan musuh. Ketika semua suku, termasuk Bani Hashim dan Bani Abdul Muththalib, berkumpul, Nabi bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa di belakang gunung ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi Muhammad ﷺ kemudian menyampaikan pesan Tauhid, memperingatkan mereka tentang siksa Allah yang pedih jika mereka tidak beriman. Di tengah kerumunan itu, berdiri seorang tokoh berpengaruh yang merupakan paman Nabi sendiri, Abu Lahab (nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib). Abu Lahab adalah saudara kandung ayah Nabi, Abdullah, dan merupakan figur yang seharusnya menjadi pelindung terdekat Nabi sesuai tradisi suku.
Namun, respons Abu Lahab terhadap seruan kenabian ini sangatlah brutal dan merusak. Dia menyela dengan makian yang terkenal: "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Dalam riwayat lain: "Celakalah kamu hari ini!"). Abu Lahab kemudian mengambil batu dan berusaha melemparkannya kepada Rasulullah ﷺ. Tindakan ini bukan hanya penolakan, tetapi deklarasi permusuhan terbuka. Dalam sejarah Makkah, penolakan dan kutukan dari anggota keluarga terdekat seperti ini memiliki dampak sosial yang sangat menghancurkan terhadap status dakwah Nabi.
Sebagai respons langsung terhadap penghinaan dan permusuhan yang sangat keji ini, Allah ﷻ menurunkan Surah Al-Lahab, sebuah kutukan dan ramalan yang spesifik dan abadi terhadap Abu Lahab dan istrinya. Surah ini berfungsi sebagai pembenaran Ilahi atas kenabian Muhammad ﷺ dan sebagai hukuman yang segera dikirimkan melalui wahyu, sebelum hukuman akhirat menanti. Para ulama tafsir menegaskan bahwa fakta bahwa surah ini turun segera setelah peristiwa di Safa menunjukkan urgensi dan keseriusan permusuhan yang diwakili oleh Abu Lahab.
Kata kunci dalam ayat ini adalah تَبَّتْ (Tabbat), yang berasal dari kata dasar تَبَّ (tabba), yang berarti binasa, merugi, gagal total, atau hancur. Ini adalah bentuk kutukan yang kuat. Penggunaan frasa "kedua tangan Abu Lahab" (يَدَا أَبِي لَهَبٍ) adalah ekspresi metaforis yang sangat kuat dalam bahasa Arab. Tangan sering kali melambangkan usaha, kerja keras, kekuatan, dan daya upaya seseorang.
Ayat pertama ini merupakan pukulan telak yang mengumumkan kegagalan total Abu Lahab di mata publik Makkah, sekaligus meramalkan kekalahannya yang abadi di akhirat. Ini adalah salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling menakjubkan, sebab Abu Lahab hidup selama beberapa tahun setelah surah ini diturunkan, namun ia tidak pernah memeluk Islam—sebuah tindakan yang jika ia lakukan, akan membatalkan ramalan dalam surah ini.
Ayat kedua ini langsung menyerang dua sumber kekuatan utama Abu Lahab di masyarakat Quraisy: kekayaan (مَالُهُ) dan status sosial/pengaruh yang ia dapatkan (مَا كَسَبَ). Dalam masyarakat Makkah, harta adalah segalanya, dan sering kali menjadi alat untuk menindas orang yang lemah atau melindungi diri dari musuh. Abu Lahab adalah seorang yang kaya raya dan memiliki banyak anak.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal kepada semua orang yang mengira bahwa kekayaan atau status sosial mereka dapat menjadi tameng melawan kebenaran. Dalam Islam, pertolongan hanya datang dari iman dan amal saleh, bukan dari akumulasi materi.
Ini adalah puncak ramalan yang mengerikan. Kata سَيَصْلَىٰ (sayasla) menunjukkan kepastian mutlak yang akan terjadi di masa depan (sin سَ menunjukkan masa depan yang dekat). Abu Lahab pasti akan merasakan panasnya api neraka.
Surah ini tidak berhenti pada Abu Lahab saja; ia juga mengutuk istrinya, Ummu Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan sebelum keislamannya. Ini menunjukkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran adalah kejahatan keluarga yang melibatkan kedua pasangan.
Ia adalah mitra kejahatan suaminya. Jika Abu Lahab menggunakan kekayaan dan statusnya untuk melawan Islam, Ummu Jamil menggunakan lidahnya yang tajam dan fitnahnya yang keji untuk tujuan yang sama. Hukuman yang ia terima pun sangat spesifik, terkait dengan kejahatannya di dunia.
Ayat penutup ini meramalkan hukuman Ummu Jamil di neraka, yang secara langsung berkaitan dengan perannya sebagai "pembawa kayu bakar" (penyebar fitnah). Kata جِيدِهَا (jidiha) berarti leher, dan مَسَدٍ (masad) berarti tali yang dipintal dengan serat, biasanya dari pelepah kurma atau ijuk, yang kasar dan menyakitkan.
Visualisasi metafora hukuman dalam Surah Al-Lahab.
Surah Al-Lahab memiliki nilai teologis yang luar biasa karena ia bertindak sebagai mukjizat kenabian (prophecy). Sifat mukjizat ini terletak pada dua aspek fundamental yang saling terkait:
Surah ini adalah sebuah ramalan absolut mengenai nasib Abu Lahab dan istrinya. Ia meramalkan bahwa: (a) Abu Lahab pasti binasa, (b) hartanya tidak akan menolongnya, dan (c) ia akan mati dalam keadaan kufur dan memasuki api neraka. Para ulama menekankan bahwa untuk membatalkan ramalan ini, Abu Lahab hanya perlu mengucapkan syahadat (Walaupun dengan niat pura-pura/hipokrit), karena syahadat, bahkan secara lisan, dapat mencegah seseorang disebut sebagai penghuni neraka di dunia ini. Namun, Abu Lahab tidak pernah mengucapkan syahadat.
Abu Lahab hidup selama sekitar delapan atau sepuluh tahun setelah Surah ini diturunkan. Dia menyaksikan keberhasilan dakwah Nabi, kekalahan Quraisy di beberapa pertempuran, dan dia memiliki setiap kesempatan untuk menyatakan keislamannya demi membuktikan Al-Qur'an salah. Kenyataan bahwa dia meninggal dalam keadaan kufur, dengan kematian yang menyedihkan dan terhina (menurut beberapa riwayat, ia meninggal karena penyakit menular yang menyebabkan keluarganya menjauhinya), menegaskan kebenaran 100% dari setiap kata dalam surah ini.
Kepastian ini memberikan keyakinan yang kokoh bagi umat Islam bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang Maha Tahu, yang mengetahui takdir masa depan seseorang sebelum takdir itu terwujud di dunia nyata. Ini bukan sekadar kutukan, tetapi penanda tanganan takdir abadi.
Surah ini secara tegas memisahkan ikatan darah dari ikatan akidah. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, anggota terdekat dari Bani Hashim. Dalam tradisi Arab, paman memiliki kedudukan setara dengan ayah dan harus memberikan perlindungan. Namun, Surah Al-Lahab mengajarkan bahwa di hadapan keadilan Ilahi, ikatan keluarga tidak akan memberi manfaat sedikit pun jika ada penentangan terhadap kebenaran. Yang dihitung adalah keimanan dan ketakwaan, bukan silsilah keturunan.
Pesan ini menguatkan ajaran Tauhid, di mana fokus utama adalah hubungan vertikal antara hamba dan Penciptanya, melampaui segala hubungan horizontal di dunia ini. Jika paman Nabi sendiri tidak dapat diselamatkan, maka tidak ada seorang pun yang bisa merasa aman dari murka Allah hanya berdasarkan garis keturunan atau status sosial mereka.
Perbedaan dengan Surah Lain: Surah Al-Lahab unik karena menyebut nama spesifik musuh yang masih hidup. Ini berbeda dari Surah Al-Kafirun (Orang-orang Kafir), yang bersifat umum. Penyebutan nama ini secara permanen menempatkan Abu Lahab sebagai simbol universal kebencian yang sia-sia terhadap kebenaran.
Meskipun singkat, Surah Al-Lahab adalah mahakarya retorika (balaghah) dan linguistik Arab. Pemilihan kata-kata dan struktur kalimatnya penuh dengan ironi, penekanan, dan keseimbangan yang sempurna.
Inti keindahan Surah ini terletak pada tautologi yang ironis antara nama Abu Lahab dan takdirnya:
Pengulangan kata تَبَّتْ (binasa) pada ayat pertama memberikan penekanan yang mutlak. Ini bukan sekadar penghancuran sementara, tetapi kerugian yang menyeluruh dan abadi. Selain itu, surah ini menggunakan struktur paralel untuk mengutuk pasangan suami istri tersebut secara terpisah namun setara dalam dosa dan hukuman.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ummu Jamil sangat metaforis dan spesifik: "Pembawa Kayu Bakar" (penyebar fitnah) dan "Tali dari Sabut" (hukuman yang menghinakan). Tali sabut (masad) juga memberikan nama alternatif surah ini, Al-Masad. Metafora ini memastikan bahwa pembaca dapat memvisualisasikan dosa (kayu bakar) dan hukuman yang setimpal (tali kasar di leher) secara jelas.
Surah Al-Lahab, meskipun ditujukan kepada dua individu spesifik, menyimpan pelajaran universal yang relevan bagi setiap generasi Muslim.
Dosa terbesar Abu Lahab adalah kesombongannya yang mengalahkan akal sehat. Meskipun ia mengakui kejujuran Nabi, kebenciannya terhadap Islam karena alasan status sosial dan ketakutan akan hilangnya kekuasaan (jahiliyyah) membuatnya menolak kebenaran secara terang-terangan. Surah ini mengingatkan bahwa penentangan terhadap kebenaran yang datang dari Allah, terutama jika dilakukan dengan niat jahat dan kesombongan, akan membawa kehancuran mutlak.
Pernyataan "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan" adalah penolakan terhadap materialisme buta. Surah ini mengajarkan bahwa kekayaan yang diperoleh tanpa keimanan atau digunakan untuk menentang kebenaran adalah beban yang memberatkan di akhirat. Kekuatan sejati terletak pada ketakwaan, bukan kekayaan yang fana.
Dalam konteks modern, ini dapat diartikan bahwa status ekonomi, jabatan tinggi, atau jumlah pengikut di media sosial tidak akan menyelamatkan siapa pun dari keadilan Allah jika platform atau sumber daya tersebut digunakan untuk menyebarkan fitnah, kebohongan, atau permusuhan terhadap ajaran agama yang benar.
Hukuman terhadap Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" menyoroti betapa berbahayanya peran seorang penyebar fitnah. Fitnah dan gosip adalah bahan bakar yang membakar komunitas dan menghancurkan reputasi. Islam memandang fitnah sebagai kejahatan serius, dan surah ini memberikan gambaran visual yang kuat tentang balasan yang menunggu mereka yang menggunakan lidah mereka untuk kejahatan.
Metafora kayu bakar juga mengajarkan tentang pentingnya memilih perkataan dan informasi yang kita sebarkan. Kita harus berhati-hati agar tidak menjadi 'pembawa kayu bakar' di era digital, di mana informasi palsu dan kebencian menyebar dengan sangat cepat.
Penyebutan Ummu Jamil bersama suaminya menegaskan prinsip tanggung jawab kolektif dalam kejahatan. Istri Abu Lahab adalah pendukung aktif permusuhannya. Hal ini menjadi peringatan bagi setiap pasangan Muslim bahwa pernikahan harus menjadi wadah untuk saling mendukung dalam kebaikan (taqwa), dan bahwa dukungan terhadap kejahatan pasangan akan menjadikan keduanya terhukum bersama-sama.
Penting untuk mengulas secara mendalam kata مَسَدٍ (Al-Masad), yang merupakan nama lain surah ini. Masad berarti tali yang dipintal dengan kuat dari serat yang kasar. Mengapa Allah memilih deskripsi yang begitu detail untuk hukuman Ummu Jamil?
Ummu Jamil adalah seorang wanita bangsawan Quraisy, terbiasa dengan perhiasan emas, kalung mahal, dan pakaian sutra. Hukuman yang dijanjikan, yaitu diikat dengan tali sabut kasar di lehernya, adalah sebuah penghinaan terhadap status sosialnya. Di neraka, ia akan diperlakukan layaknya budak rendahan yang disiksa. Tali kasar ini akan mencekik, menggesek, dan menjadi simbol kehinaan abadi. Ini adalah antitesis dari kalung mutiara yang mungkin ia kenakan di dunia.
Tali yang terbuat dari serat kasar dan kering (sabut kurma atau ijuk) adalah materi yang menyakitkan jika digunakan untuk memikul beban berat. Setiap kali ia membawa kayu bakar neraka, tali itu akan menyiksanya. Ini mengingatkan kita bahwa hukuman di akhirat adalah kesakitan fisik yang mendalam dan sekaligus kehinaan spiritual yang tak terhingga.
Beberapa mufassir kontemporer juga melihat *masad* sebagai pengingat akan keengganan Ummu Jamil untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, atau mungkin sebagai simbol ikatan duniawi yang kaku dan menyakitkan yang membelenggunya dari kebenaran.
Representasi visual tali sabut kasar (Masad) yang menjadi bagian dari hukuman Ummu Jamil.
Para mufassir sepanjang sejarah Islam telah memberikan interpretasi yang kaya terhadap surah ini. Meskipun mereka sepakat pada makna dasar, fokus penekanannya sedikit berbeda.
Ibn Katsir sangat menekankan aspek *Asbabun Nuzul* (sebab turunnya surah) di Bukit Safa. Beliau fokus pada fakta bahwa Abu Lahab adalah paman Nabi dan bahwa kutukan ini ditujukan langsung padanya sebagai balasan atas penolakan terbuka dan penghinaannya. Ibn Katsir menguatkan pandangan bahwa مَا كَسَبَ (apa yang diusahakan) merujuk kepada anak-anaknya yang tidak akan mampu menolongnya.
Imam Al-Qurthubi lebih berfokus pada implikasi hukum dan akhlak. Beliau membahas mengapa Allah memilih untuk mengutuk tangan Abu Lahab secara spesifik, yang dia kaitkan dengan tindakan fisik Abu Lahab yang hendak melempar batu. Al-Qurthubi juga mendalami hukuman Ummu Jamil, menekankan bahwa hukuman neraka mencerminkan secara langsung dosa duniawi (fitnah). Beliau menggunakan surah ini sebagai dalil tentang perlunya umat Islam menjauhi fitnah secara ekstrem.
Dalam tafsir *Fi Zhilalil Quran*, Sayyid Qutb menafsirkan Surah Al-Lahab dalam kerangka perjuangan ideologis. Beliau melihat Abu Lahab dan istrinya sebagai representasi dari otoritas duniawi yang korup dan arogan. Qutb menyoroti bahwa takdir yang ditetapkan bagi pasangan ini adalah penguatan moral bagi komunitas Muslim yang tertindas di Makkah; bahwa kekuatan kebenaran pada akhirnya akan mengalahkan kekuatan materi dan politik. Beliau menekankan bahwa kehancuran mereka adalah kehancuran moral, psikologis, dan spiritual sebelum kehancuran fisik.
Para mufassir modern sering kali mengaitkan pelajaran "pembawa kayu bakar" (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) dengan bahaya media massa yang menyebarkan kebohongan dan informasi yang membakar. Mereka menegaskan bahwa penyebaran informasi yang merusak atau fitnah di era digital saat ini adalah bentuk modern dari membawa kayu bakar tersebut, dan ancaman hukuman Ilahi tetap berlaku bagi siapa saja yang melakukan dosa serupa.
Kisah Surah Al-Lahab juga berfungsi sebagai cermin bagi integritas dan keberanian Rasulullah Muhammad ﷺ. Peristiwa di Bukit Safa adalah momen paling krusial di mana ikatan darah dipertaruhkan demi risalah. Mendapat penolakan dan kutukan dari paman sendiri di hadapan seluruh suku Quraisy adalah penghinaan publik yang dapat mengakhiri dakwahnya saat itu juga. Namun, Nabi ﷺ tetap teguh.
Dengan turunnya Surah Al-Lahab, Allah ﷻ mengambil alih perlindungan dan pembelaan Nabi-Nya. Ini adalah pelajaran bahwa ketika seorang Muslim berjuang di jalan kebenaran dan menghadapi permusuhan dari orang-orang terdekat atau paling berkuasa, pembelaan dan kemenangan sejati datang dari Allah semata. Nabi tidak perlu membalas kutukan Abu Lahab dengan kata-kata; Allah menurunkannya dalam bentuk wahyu abadi yang dibaca hingga Hari Kiamat.
Kisah ini menegaskan bahwa setiap utusan Allah akan menghadapi permusuhan dari anggota keluarga mereka sendiri. Nabi Nuh menghadapi anaknya, Nabi Ibrahim menghadapi ayahnya, dan Nabi Muhammad menghadapi pamannya. Ini menunjukkan bahwa jalan para nabi bukanlah jalan yang mudah, dan bahwa iman harus menjadi prioritas di atas segalanya.
Bagaimana Surah Al-Lahab, yang mengutuk dua individu yang hidup 14 abad yang lalu, dapat relevan dalam kehidupan kita sehari-hari? Surah ini mengajarkan tentang arketipe karakter yang harus kita hindari, yaitu karakter "Abu Lahab" dan "Ummu Jamil."
Karakter Abu Lahab adalah simbol:
Karakter Ummu Jamil adalah simbol:
Surah Al-Lahab adalah Surah peringatan yang sangat keras dan definitif. Ia adalah deklarasi yang jelas bahwa musuh Allah akan selalu binasa, tidak peduli seberapa kuat posisi sosial, kekayaan, atau ikatan keluarga yang mereka miliki. Lima ayat ini berfungsi sebagai pilar yang mengukuhkan beberapa prinsip fundamental:
Pertama, Kekuatan Ilahi melampaui segala kekuatan manusiawi. Kedua, Kekayaan duniawi tidak menjamin keselamatan spiritual. Ketiga, Balasan setimpal akan menanti mereka yang menggunakan lidah dan pengaruh mereka untuk menentang Islam dan menyebarkan fitnah. Keempat, Surah ini adalah salah satu bukti kenabian yang paling terang, karena ramalannya terpenuhi secara sempurna di depan mata para penentang Nabi.
Pada akhirnya, Surah Al-Lahab menantang kita untuk merefleksikan diri: Apakah kita bertindak dengan keimanan dan kerendahan hati, atau apakah kita tanpa sadar mempraktikkan kesombongan yang serupa dengan Abu Lahab, mengira bahwa harta atau status kita dapat menjadi perisai? Apakah lidah kita menjadi sumber kebaikan atau sumber api yang membakar, seperti Ummu Jamil? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah kita termasuk dalam golongan yang beruntung atau golongan yang binasa, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Surah yang pendek namun mendalam ini.
Pelajaran dari kehancuran Abu Lahab adalah pelajaran yang keras namun mutlak. Ia mengingatkan kita bahwa jalan menuju keselamatan adalah jalan yang lurus, dipenuhi dengan ketakwaan, kerendahan hati, dan menjauhi segala bentuk permusuhan terhadap kebenaran yang diturunkan oleh Allah ﷻ.
Membaca dan merenungkan Surah Al-Lahab adalah pengingat harian akan konsekuensi abadi dari penolakan iman yang dilakukan dengan kesombongan dan kebencian. Setiap kata di dalamnya adalah janji Allah yang pasti, dan setiap Muslim diwajibkan untuk mengambil pelajaran darinya, menjauhi karakter yang dikutuk, dan berusaha menjadi hamba yang beriman sejati.
Surah ini juga memberikan penghiburan yang mendalam bagi mereka yang berjuang di jalan Allah dan menghadapi permusuhan dari orang-orang terdekat atau berkuasa. Surah ini adalah jaminan bahwa Allah ﷻ adalah Pembela terbaik, dan bahwa rencana-rencana orang yang jahat pada akhirnya akan kembali kepada mereka sendiri, menyebabkan kehancuran total bagi mereka dan usaha mereka, sebagaimana yang terjadi pada kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia telah binasa.
Kehancuran Abu Lahab adalah bukti bahwa kesombongan di dunia ini hanya akan mendatangkan kehinaan yang lebih besar di akhirat. Kekuasaan dan harta benda yang dimilikinya tidak mampu membendung arus kebenaran, dan kutukan yang diucapkan kepadanya oleh Allah ﷻ melalui wahyu telah terukir abadi sebagai pelajaran bagi umat manusia hingga akhir zaman. Semoga kita semua dijauhkan dari sifat-sifat yang serupa dengan Abu Lahab dan Ummu Jamil, dan diberikan kekuatan untuk selalu berdiri di sisi kebenaran, walau seberat apapun ujian dan tantangannya.
Surah Al-Lahab akan terus dibacakan oleh miliaran manusia, sebuah monumen abadi yang mengisahkan kegagalan mutlak dari kesombongan melawan kehendak Ilahi. Ini adalah Surah yang menanamkan harapan bagi orang-orang yang tertindas dan memberikan kepastian akan keadilan yang akan ditegakkan pada Hari Kiamat. Setiap kali seorang Muslim membaca surah ini, nama Abu Lahab tidak lagi dikenang sebagai seorang paman terhormat dari klan Quraisy, melainkan sebagai simbol kebinasaan yang pasti, diikat oleh takdirnya sendiri dalam api neraka yang menyala-nyala. Pelajaran tentang مَسَدٍ (tali sabut) dan لَهَبٍ (api yang menyala) adalah penutup yang definitif dan tidak terbantahkan bagi setiap narasi permusuhan terhadap cahaya kebenaran. Ini adalah akhir yang menyedihkan bagi dua individu yang memilih jalan kehancuran padahal kebenaran telah disajikan di depan mata mereka.
Dalam refleksi mendalam, surah ini mengajarkan tentang urgensi pertobatan dan pentingnya memanfaatkan setiap detik kehidupan untuk beramal saleh. Kematian Abu Lahab yang mendadak, setelah beberapa tahun surah ini diturunkan, adalah penegasan bahwa waktu untuk bertaubat sangat terbatas, dan keputusan untuk menerima atau menolak kebenaran memiliki konsekuensi yang jauh melampaui batas kehidupan duniawi. Ia meninggal tanpa sempat membatalkan ramalan Allah, terperangkap dalam kutukan yang ia pilih sendiri sejak awal. Oleh karena itu, bagi setiap pembaca, Al-Lahab adalah seruan untuk introspeksi yang mendalam: apakah fondasi kehidupan kita dibangun di atas kekayaan yang fana atau di atas keimanan yang abadi? Jawaban yang jujur terhadap panggilan ini akan menentukan nasib kita, sebagaimana telah ditentukan nasib Abu Lahab dan istrinya dalam Surah Al-Masad yang penuh makna.
Kajian komprehensif ini menegaskan bahwa Surah Al-Lahab, meskipun terfokus pada tokoh sejarah, adalah peta jalan teologis dan moral bagi umat Islam. Ia menyajikan model hukuman Ilahi yang spesifik dan adil, di mana dosa lisan (fitnah) dan dosa kesombongan (penolakan) dibalas dengan hukuman yang setara dalam simbolisme dan kehinaan. Setiap generasi harus mengambil pelajaran dari "pembawa kayu bakar" dan "bapak api yang menyala," memastikan bahwa tangan kita hanya melakukan kebaikan, harta kita digunakan di jalan Allah, dan lidah kita hanya mengucapkan kebenaran.
***