Surat Al-Qur'an merupakan sumber petunjuk dan hikmah bagi seluruh umat manusia. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang merangkum kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keajaiban ciptaan-Nya. Salah satu ayat yang seringkali menjadi perenungan mendalam adalah ayat kedua dari Surat At-Tin, yang berbunyi:
"Wal-tin wa al-zaytun."
Ayat ini, meskipun singkat, sarat makna. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, frasa "wal-tin wa al-zaytun" berarti "Demi (buah) tin dan zaitun." Allah bersumpah dengan dua jenis buah yang memiliki khasiat dan makna simbolis yang kuat. Pertanyaannya, mengapa Allah memilih sumpah ini? Dan apa hubungannya dengan keagungan penciptaan manusia yang sering dikaitkan dengan surat ini? Mari kita selami lebih dalam.
Buah tin (Ficus carica) dan zaitun (Olea europaea) bukanlah buah sembarangan. Keduanya telah dikenal sejak zaman dahulu kala karena nilai gizi, medis, dan filosofisnya.
Buah tin adalah salah satu buah tertua yang dibudidayakan oleh manusia. Pohon tin dikenal subur, mampu tumbuh di berbagai kondisi tanah, dan menghasilkan buah yang lezat serta kaya nutrisi. Dalam berbagai tradisi dan peradaban, buah tin sering diasosiasikan dengan kesuburan, kemakmuran, dan kesehatan. Ia mengandung serat, vitamin (seperti vitamin B6, vitamin K), mineral (potasium, kalsium, magnesium), dan antioksidan. Keberlimpahannya menggambarkan karunia ilahi dan nikmat yang diberikan kepada manusia. Banyak penelitian modern pun mengonfirmasi berbagai manfaat kesehatan dari buah tin, menjadikannya sebagai simbol dari kesehatan yang diberikan Allah.
Sama halnya dengan tin, pohon zaitun juga merupakan pohon yang berumur panjang dan terus berbuah. Buah zaitun dan minyaknya telah digunakan selama ribuan tahun untuk keperluan pangan, pengobatan, serta penerangan (sebagai bahan bakar lampu). Zaitun seringkali melambangkan perdamaian, kebijaksanaan, dan keberkahan. Minyak zaitun dikenal sebagai salah satu minyak nabati paling sehat di dunia, kaya akan lemak tak jenuh tunggal dan antioksidan. Dalam konteks spiritual, minyak zaitun bahkan digunakan dalam ritual keagamaan tertentu. Keberadaan zaitun dalam sumpah Allah menunjukkan betapa istimewanya buah ini dan segala manfaat yang terkandung di dalamnya, sebagai wujud rahmat dan karunia-Nya.
Surat At-Tin diawali dengan sumpah atas empat hal yang sangat fundamental dan mulia: buah tin, zaitun, Gunung Sinai (Thur sinin), dan negeri yang aman (al-balad al-amin). Keempat sumpah ini tampaknya merujuk pada berbagai aspek penting dalam kehidupan dan penciptaan. Namun, fokus utama surat ini, yang ditegaskan pada ayat-ayat berikutnya, adalah tentang penciptaan manusia itu sendiri.
Allah berfirman dalam ayat ketiga dan keempat: "Dan demi negeri yang aman ini (Mekkah). Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 3-4).
Sumpah atas buah tin dan zaitun, dengan segala kebaikan, kesempurnaan, dan keberkahannya, menjadi latar belakang dan penekanan bagaimana Allah menciptakan manusia. Kebaikan yang terkandung dalam tin dan zaitun, kesuburan, kesehatan, serta cahaya yang terpancar darinya, adalah refleksi dari kesempurnaan penciptaan manusia.
Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling indah, paling sempurna, dan memiliki potensi luar biasa. Allah membekali manusia dengan akal untuk berpikir, hati untuk merasakan, dan fisik yang proporsional serta mampu melakukan berbagai aktivitas. Kesempurnaan fisik dan mental ini adalah nikmat yang sangat besar. Allah tidak menciptakan manusia dalam bentuk yang hina atau lemah, melainkan dalam bentuk yang mulia lagi gagah. Sumpah atas tin dan zaitun menegaskan bahwa penciptaan manusia adalah puncak dari keindahan dan kesempurnaan yang bisa dibayangkan. Keindahan ini bukan hanya fisik semata, tetapi juga mencakup potensi spiritual, intelektual, dan emosional.
Setelah mengetahui betapa agungnya penciptaan manusia, seorang Muslim diajak untuk merenungkan lebih jauh. Allah mengingatkan dalam ayat selanjutnya: "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (QS. At-Tin: 5). Ayat ini seringkali diinterpretasikan sebagai kondisi manusia ketika ia durhaka dan menyalahgunakan karunia penciptaan yang sempurna itu, sehingga ia terjatuh ke dalam kehinaan.
Namun, ayat yang menyusul memberikan harapan: "Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (QS. At-Tin: 6). Ini menunjukkan bahwa kesempurnaan penciptaan manusia tidaklah sia-sia jika diikuti dengan keimanan yang benar dan amal perbuatan yang saleh. Keimanan akan membimbing manusia untuk menggunakan potensi terbaiknya sesuai dengan tujuan penciptaan, yaitu beribadah kepada Allah.
Oleh karena itu, ayat "wal-tin wa al-zaytun" tidak hanya sekadar sumpah. Ia adalah pengingat akan betapa Allah memberikan anugerah yang luar biasa dalam bentuk penciptaan manusia yang paling sempurna. Sumpah ini menjadi landasan untuk memahami keagungan ciptaan tersebut. Kita sebagai manusia, yang diciptakan dalam bentuk terbaik, memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga kesempurnaan ini, menggunakannya untuk kebaikan, dan menempatkannya di jalan yang diridhai Allah. Dengan merenungkan ayat ini, diharapkan kita semakin bersyukur, menjaga amanah penciptaan, dan berupaya menggapai pahala yang tiada putus-putusnya dengan beriman dan beramal saleh.